Quantcast
Channel: Konsultasi Islam
Viewing all 374 articles
Browse latest View live

Seputar Pandangan Manusia Terhadap Gharizah an-Nau’

$
0
0

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Di kitab Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islâm halaman 16 cetakan 1424 H – 2004 M dinyatakan sebagai berikut:

(Dan tujuan dari eksistensinya tidak lain adalah keturunan untuk kelangsungan jenis. Karena itu, pandangan manusia terhadap gharizah ini harus dijadikan terfokus pada tujuan yang menjadi alasan keberadaannya di dalam diri manusia, yaitu kelangsungan jenis; tidak ada perbedaan dalam yang demikian itu antara laki-laki dan perempuan).

Dan di halaman 148 dinyatakan:

(dan ‘azl adalah boleh secara mutlak, apapun maksud dari ‘azl itu. Baik darinya dimaksudkan mengontrol keturunan, atau mempersedikit anak, atau dimaksudkan sebagai rasa kasihan terhadap istri karena kelemahannya untuk kehamilan dan persalinan, atau dimaksudkan agar tetap awet muda yang dia bisa merasakan kenikmatan dengannya, atau dimaksudkan untuk tujuan lainnya, maka suami berhak melakukan ‘azl apapun maksudnya. … Dan tidak dikatakan bahwa mengurangi keturunan itu menyalahi anjuran untuk memperbanyak keturunan, sebagaimana sabda Nabi saw:

«تَنَاكَحُوْا تَنَاسَلُوْا تَكَثَّرُوْا»

“Menikahlah kalian, berketurunanlah kalian, perbanyaklah jumlah kalian”.

Tidak dikatakan demikian, sebab kebolehan ‘azl tidak menyalahi dorongan memperbanyak keturunan. Yang itu dorongan memperbanyak keturunan dan yang ini kebolehan melakukan ‘azl.)

Pertanyaannya adalah, bahwa kebolehan maksud mendapatkan kenikmatan atau mengontrol keturunan itu bertentangan dengan kelangsungan keturunan padahal itu adalah tujuan yang menjadi sebab keberadaan gharizah tersebut. Dan bagaimana mempertemukan diantara ucapan kita: “pandangan manusia terhadap gharizah ini harus dijadikan terfokus pada tujuan yang menjadi alasan keberadaannya di dalam diri manusia, yaitu kelangsungan jenis” dengan “dan ‘azl adalah boleh secara mutlak apapun maksud dari ‘azl itu”? Dengan ungkapan lain, apakah boleh seseorang berpaling dari tujuan yang menjadi sebab keberadaan gharizah tersebut, misalnya ia melakukan ‘azl? Balasan Anda ada di tangan Allah SWT.

Penanya: Muhibbu ar-Rasul – Lahore Pakistan

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Perlu diketahui, apa yang Anda kutip menurut cetakan baru ada di halaman 17 dan halaman 161…

Menjadikan pandangan manusia terhadap gharizah an-nau’ terfokus pada tujuan yang menjadi sebab keberadaan gharizah an-nau’ itu dalam diri manusia yaitu keturunan dan kelangsungan jenis manusia, maksudnya adalah membatasi pemenuhan gharizah ini diantara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan suami isteri, atau yang ada dalam makna itu berupa kepemilikan hamba sahaya. Sebab kehidupan suami isteri tidak terjadi kecuali antara laki-laki dan perempuan. Dan kehidupan suami isteri itulah yang membentuk poros yang benar bagi eksistensi keturunan dan anak-anak serta pemeliharaan mereka di bawah belaian ibu bapak mereka untuk menjaga nasab mereka… Berbeda dengan menjadikan pandangan kepada gharizah itu terfokus pada kenikmatan dan kesenangan. Sebab hal itu berarti memutlakkan gharizah, dimana manusia memenuhinya dengan cara apapun. Maka laki-laki memenuhinya dengan laki-laki dan wanita dengan wanita, manusia memenuhinya dengan hewan dan laki-laki memenuhinya dengan wanita di luar kehidupan suami isteri… Hal itu seperti yang terjadi sekarang di negeri Barat, dimana pandangan mereka terfokus pada kenikmatan dan kesenangan sehingga di tengah mereka tersebar berbagai macam penyakit seksual, tukar menukar isteri, perzinaan dan prostitusi, hubungan seksual dengan hewan …

Semua ini tidak memperhatikan tujuan yang menjadi sebab keberadaan gharizah an-nau’ yaitu kelangsungan jenis, dalam kerangka yang benar. Ini adalah makna tidak difokuskannya pandangan terhadap gharizah an-nau’ itu pada kenikmatan dan kesenangan, dan keharusan menjadikan pandangan itu terfokus pada tujuan yang menjadi sebab keberadaan gharizah tersebut yatu keturunan dan kelangsungan jenis manusia.

Adapun ‘azl maka itu adalah masalah lain. ‘Azl secara syar’iy adalah masih dalam cakupan pandangan yang benar ini, sebab hal itu berada dalam kerangka kehidupan suami istri atau dengan hamba sahaya. ‘Azl itu berkaitan dengan hubungan seksual laki-laki dengan istri, bukan berkaitan dengan tujuan dari eksisteni gharizah. Tujuan dari laki-laki mendatangi istri tidak harus keturunan. Laki-laki mendatangi istri pada masa kehamilan tidak dimaksudkan mendapat keturunan. Seorang istri ketika sudah terputus haidhnya (sudah menopause) mendatanginya tidak dengan maksud keturunan. Dan semisalnya, seperti mendatangi istri yang mandul yang tidak bisa melahirkan, dll…

Semua itu realitanya serupa dengan ‘azl dari sisi tidak adanya keturunan. Karena itu, tidak ada kontradiksi antara ucapan bolehnya ‘azl dan ucapan bahwa pandangan terhadap gharizah an-nau’ wajib terfokus pada tujuan yang menjadi sebab keberadaan gharizah itu, yaitu keturunan dan kelangsungan jenis sebab hal itu terealisasi dengan istri meski di dalamnya ada ‘azl.

Ini dari satu sisi. Dari sisi yang lain, telah dinyatakan hadits-hadits tentang kebolehan ‘azl. Diantaranya:

Ibn Hibban telah mengeluarkan di dalam Shahih Ibn Hibban dari Jabir bin Abdullah bahwa seorang laki-laki dari Anshar datang kepada Rasulullah saw, lalu ia berkata: “saya punya seorang hamba sahaya perempuan dan saya melakukan ‘azl darinya. Maka Beliau saw bersabda:

«إِنَّهُ سَيَأْتِيهَا مَا قُدِّرَ لَهَا»

“Sungguh apa yang telah ditetapkan untuknya akan mendatanginya.”

Kemudian ia datang lagi setelah itu, lalu ia berkata: “sungguh dia telah hamil”. Maka Rasulullah saw bersabda:

«مَا قَدَّرَ اللَّهُ نَسَمَةً تَخْرُجُ إِلَّا هِيَ كَائِنَةٌ»

“Tidaklah Allah telah menetapkan manusia keluar kecuali pasti dia jadi.”

 

Ringkasnya, tidak ada kontradiksi antara apa yang ada di halaman 17 dan yang ada di halaman 161.

 

Saudaramu

 

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

Link facebook Amir Hizbut Tahrir:

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/images_topics/Image/ameer%20banner/AAA/AF2.gif

 

22 Rabiuts Tsani 1436 H

11 Februari 2015 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_44008

 

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fikriyun”
Jawaban Pertanyaan: Seputar Pandangan Manusia terhadap Gharizah an-Nau’
Kepada Faisal Kazmi


Filed under: Pergaulan Pria-Wanita Tagged: azl, nau

Seputar Syiah dan Taqiyyah

$
0
0

Soal:

Ada yang menyatakan bahwa Nabi saw. telah mempraktikkan “taqiyyah” dan “taqiyyah” ini telah dinyatakan dalam al-Quran dan al-Hadis. Benarkah demikian? Ada juga yang membedakan “taqiyyah” yang dibenarkan syariah dengan “taqiyyah” versi Syiah yang dianggap bagian dari ushuluddin. Bagaimana sesungguhnya? Bisakah kita vonis Syiah ini semuanya kafir karena mereka mengubah al-Quran, melaknat Sahabat serta menuhankan Ali?

Jawab:

Pertama: Dalam al-Quran Allah SWT berfirman:

إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً

…kecuali jika kalian benar-benar merasa takut terhadap mereka (QS Ali Imran [3]: 28).

إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ

…kecuali orang yang dipaksa [untuk murtad], sementara hatinya masih tetap yakin dengan keimanannya (QS an-Nahl [16]: 106).

Abu Bakar al-Baihaqi (w. 458 H) dalam kitabnya, Sya’b al-Iman, dari Mutharrif bin ‘Abdillah, berkata: Kami bersama ‘Imran bin Hushain berangkat dari Bashrah menuju ke Kufah. Ketika itu ia berkata:

إِنَّ فِي الْمَعَارِيضِ مَنْدُوحَةً عَنِ الْكَذِبِ

Sesungguhnya di dalam penggunaan ma’aridh itu terhindar dari kebohongan.

Hadis ini sahih, tetapi mawquf. Hadis ini telah dikeluarkan oleh Ibn al-‘Arabi (w. 340 H) dalam kitabMu’jam-nya secara marfu’. Dawud bin az-Zibriqan menuturkan kepada kami dari Said, dari Qatadah, dari Zurarah bin Abi Aufa, dari ‘Imran bin Hushain, bahwa Nabi pernah saw. bersabda:

إِنَّ فِي الْمَعَارِيضِ مَنْدُوحَةً عَنِ الْكَذِبِ

Sesungguhnya di dalam penggunaan ma’aridh itu terhindar dari kebohongan.

Nas atau dalil di atas mempunyai konteksnya sendiri-sendiri. Masing-masing tidak boleh dijadikan satu. Nah, untuk memperjelan masalah ini, kami perlu memberIkan penjelasan. Pertama: “Taqiyyah” yang dibolehkan menurut syariah adalah “taqiyyah” antara seorang Muslim dan kaum kafir. Ini berlaku saat orang Muslim hidup di tengah-tengah mereka, di bawah kekuasaan (pemerintahan) mereka, dan sedang menghadapi ancaman penganiayaan yang luar biasa jika dia tidak menampakkan loyalitas dan kecintaannya kepada mereka. Jika faktanya demikian, seorang Muslim ini boleh menampakkan kecintaannya kepada mereka dengan lisannya, tetapi tidak dengan hatinya.

Sebaliknya, seorang Muslim tidak boleh menampakkan kepada sesama Muslim sikap yang berbeda dengan isi hatinya, siapapun orangnya, baik kaum Muslim biasa maupun istimewa, seperti penguasa yang zalim, misalnya, maka ini tetap tidak boleh.

Dalilnya adalah nas al-Quran yang menyatakan:

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

Kaum Mukmin tidak boleh menjadikan kaum kafir sebagai teman setia [pelindung] selain orang Mukmin. Siapa saja yang melakukan itu tidak berhak mendapatkan sedikitpun [perlindungan] dari Allah, kecuali jika kalian benar-benar merasa ketakutan terhadap mereka. Allah memperingatkan kalian dengan Diri-Nya. Hanya kepada Allahlah tempat kembali (QS Ali ‘Imran [3]: 28).

Konteks ayat ini jelas, yaitu kaum Mukmin yang melakukan “muwalah” dengan orang-orang kafir atau menampakkan persahabatan dengan mereka.

Jika ada satu ayat atau hadis menyatakan konteks pembahasan tertentu, maka ayat atau hadis tersebut khusus membahas konteks pembahasan tersebut, dan tidak bisa digunakan untuk yang lain. Sebab, ayat ini turun dalam kondisi ketika kaum Muslim belum hijrah, dan masih menetap di Makkah di bawah kekuasaan kaum Kafir Quraisy. Urusan mereka kalah sehingga ketika mereka menampakkan permusuhan dan tidak bersahabat dengan mereka, mereka pasti akan menghadapi penganiayaan yang keras. Maka dari itu, ayat ini mengecualikan mereka dalam kondisi seperti ini, yaitu kondisi kaum Muslim yang belum hijrah dari Makkah, dan berada di bawah kekuasaan kaum Kafir Quraisy. Mereka lemah sehingga mereka khawatir akan penganiayaan terhadap diri mereka jika mereka menampakkan permusuhan dan tidak bersahabat. Inilah satu kondisi yang dikecualikan.

Karena itu menampakkan kecintaan kepada penguasa Muslim, karena takut terhadap penganiayaannya, sementara dia zalim, fasik dan menerapkan hukum kufur, jelas haram. Begitu juga menampakkan kecintaan kepada seorang Muslim yang berbeda pendapat dengan Anda, lalu menyembunyikan ketidaksukaan dalam hati, juga haram. Menampakkan diri tidak terikat dengan Islam, atau tidak peduli terhadap Islam di depan orang kafir atau fasik dan zalim juga tidak boleh. Pasalnya, semuanya ini merupakan bentuk kemunafikan yang diharamkan oleh syariah bagi kaum Muslim. Allah SWT berfirman:

إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً

…kecuali jika kalian benar-benar merasa takut terhadap mereka (QS Ali ‘Imran [3]: 28).

Konteks ayat ini terbatas dalam satu kondisi kaum Muslim, yang ketika itu ada di Makkah, tengah kaum kafir; terbatas ketika kaum Muslim berada di bawah kekuasaan kaum kafir. Dengan kata lain, ketika mereka lemah dan kondisinya kalah.

Terkait ayat di atas, ath-Thabari (w. 310 H) dalam Tafsir-nya menyatakan bahwa Abu Ja’far berkomentar,“Ini merupakan larangan dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada orang Mukmin untuk menjadikan kaum kafir sebagai penolong, pelindung dan pendukung; kecuali jika kalian berada di bawah kekuasaan mereka, kemudian kalian mengkhawatirkan diri kalian terhadap mereka sehingga kalian menampakkan loyalitas kepada mereka dengan lisan kalian. Kalian jangan bersahabat dengan mereka dengan kekufuran yang ada pada mereka dan jangan melakukan tindakan menolong mereka untuk mengalahkan orang Muslim.”

Karena itu, apa yang mereka sebut dengan “taqiyyah” itu dengan sendirinya ternafikan. Tindakan orang Mukmin menampakkan sesuatu yang berbeda di hadapan penguasa yang zalim dan fasik yang mempunyai kekuatan, atau orang yang berbeda pendapat, atau yang lain, adalah haram dilakukan, karena merupakan sikap nifaq. Sikap nifaq itu semuanya haram.

Kedua: Allah SWT berfirman:

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ

Siapa saja yang mengkufuri Allah setelah beriman, kecuali orang yang dipaksa [untuk murtad], sementara hatinya masih tetap yakin dengan keimanannya (QS an-Nahl [16]: 106).

Ayat di atas terkait dengan konteks kufur, setelah beriman. Dengan kata lain, konteksnya murtad, sementara kondisinya dalam kondisi takut mati. Kondisi ini disebut oleh fuqaha’ dengan istilah, ikrah mulji’; satu-satunya bentuk paksaan yang secara syar’i diakui dalam segala kondisi, dimana hukum asal dicabut dari orang yang dipaksa. Jadi, bentuk paksaan yang dikecualikan oleh syariah adalah ikrah mulji’, yaitu kondisi takut dibunuh secara meyakinkan.

Ayat ini diturunkan kepada ‘Ammar bin Yasir ra. Mereka menangkap dan menyiksa dia serta membunuh ibu dan bapaknya karena keduanya menolak untuk murtad. Mereka menyiksa ‘Ammar bin Yasir dengan siksaan yang keras, hingga nyaris mati, seperti ibu dan bapaknya. Pada saat itulah, ‘Ammar menyatakan kalimat kufur tadi. At-Thabari berkomentar: Kami diberitahu oleh Ibn ‘Abdi al-A’la, dia berkata, Kami diberitahu oleh Muhammad bin Tsaur dari Ma’mar dari ‘Abd al-Karim al-Jaziri dari Abi ‘Ubaid bin Muhammad bin ‘Ammar bin Yasir, berkata, ‘Orang musyrik telah menangkap ‘Ammar bin Yasir dan menyiksa dia sampai dia menuruti mereka dalam sebagian perkara yang mereka inginkan. Dia kemudian menuturkan itu kepada Nabi saw. Lalu, Nabi saw. Bertanya, “Bagaimana kamu mendapati hatimu?” Dia berkata, “Tetap yakin dengan keimanan.” Nabi saw. bersabda, “Jika mereka mengulanginya lagi, maka ulangilah.”

Jadi, begitulah sebab turunnya ayat ini, yaitu peristiwa ‘Ammar. Konteksnya adalah murtad dari Islam. Kondisi tertentu yang terkait dengannya adalah takut dibunuh secara meyakinkan. Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menegaskan, bahwa ayat ini tidak ada kaitanya dengan firman Allah SWT: illa an tattaqaw.

Selain itu, ayat di atas juga Makkiyah yang diturunkan dalam konteks keimanan. Sedangkan ayat sebelumnya adalah Madaniyyah yang diturunkan dalam konteks keharaman orang Mukmin ber-muwalahdengan orang kafir, kemudian dikecualikan dalam satu kondisi, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Karena itu, konteks ayat ini berbeda dengan ayat sebelumnya. Masing-masing tidak bisa dicampuradukkan. Satu dengan yang lain juga tidak terkait, karena kondisi dan konteksnya berbeda.

Ketiga: Nabi saw. bersabda:

إِنَّ فِي الْمَعَارِيضِ مَنْدُوحَةً عَنِ الْكَذِبِ

Sesungguhnya di dalam penggunaan ma’aridh itu terhindar dari kebohongan.

Hadis ini dinyatakan dalam konteks “tawriyyah”. Ini tidak termasuk berbohong atau menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang disembunyikan, tetapi tetap bagian dari kejujuran. Jadi, ini terkait dengan penggunaan satu kata dengan dua makna. Satu maknanya jauh, sedangkan yang lain bermakna dekat. Lalu orang yang mendengar terlintas makna yang dekat. Padahal yang dimaksud adalah makna yang jauh. Inilah yang dimaksud ma’aridh.

Dalam kamus Mukhtar ash-Shihhah, dinyatakan, “At-Ta’ridh [ungkapan kiasan] lawan at-tashrih [pernyatan tegas]. Dari kata itu lahir ma’aridh [kiasan] dalam ungkapan, yaitu tawriyyah dengan menggunakan sesuatu tentang sesuatu.”

Makna “Manduhah” menurut Abu Ubaid adalah si’ah dan fashah (kelapangan). Jadi, maksudnya, penggunaan ma’aridh atau tawriyyah merupakan jalan untuk menjauhkan dari berbohong. Jawaban Nabi saw. kepada orang tua yang bertanya kepada beliau, “Dari mana Anda?” Lalu Nabi saw. menjawab, “Kami dari air.” adalah bentuk “tawriyyah”, bukan “taqiyyah”. Jadi, apa yang disampaikan Nabi saw. kepada orangtua tersebut sebagai jawaban atas pertanyaannya adalah penggunaan tawriyyah, dan ungkapanma’aridh. Kata ma’ (air) mempunyai konotasi air biasa atau air sperma. Orangtua tersebut menangkap, bahwa Nabi saw. berasal dari suatu kampung atau kawasan yang ada sumber air tertentu, sebagaimana yang lazim dilakukan bangsa Arab ketika singgah di sumber air tertentu. Jadi, Nabi saw. tidak melakukan “taqiyyah” karena taqiyyah tersebut tidak boleh digunakan, kecuali dalam satu kondisi. Ketika lemah dan kalah, yaitu saat berada di bawah pemerintahan kaum kafir, untuk menghindari keburukan dan penganiayaan mereka. Di luar itu, tidak boleh karena termasuk bohong dan munafik. Tentu, Nabi saw. terhindar dari hal itu karena baginda adalah orang yang benar dan dibenarkan.

Karena itu siapa saja yang menuduh Nabi saw. melakukan taqiyyah harus bertobat kepada Allah SWT; mengakui kesalahannya, menyesal dan tidak akan mengulanginya lagi. Nabi saw. bersabda:

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Setiap anak Adam pasti bersalah. Sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertobat (HR at-Tirmidzi)

Tentang Syiah yang mengikuti mazhab Ja’fari, atau Zaidi, pada dasarnya mereka adalah Muslim. Namun, siapa saja yang mengubah al-Quran dan menjadikan ‘Ali bin Abi Thalib sebagai tuhan, maka jelas kafir. Tidak lagi diakui sebagai Muslim. [KH. Hafidz Abdurrahman] (www.konsultasi.wordpress.com)

Tulisan terkait :

1. Bagaimana Pandangan Hizbut Tahrir Terhadap Syiah?

2. Hizbut Tahrir akan Membaiat Ulama Syiah sebagai Khalifah ?

3. Seputar Taqiyah.


Filed under: Dakwah, Harakah Tagged: syiah, taqiyah

Kesamaan Status Pasangan “Kafa’ah” dalam Pernikahan

$
0
0

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Status Hadits Kafa’ah

Dalam kitab Makarim al-Akhlaq, karya Radhiyuddin Abi an-Nashr al-Hasan bin al-Fadhal at-Thabrasi, terdapat hadits yang berbunyi:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَتَزَوَّجُ فِيْكُمْ وَأُزَوِّجُكُمْ إِلاَّ فَاطِمَةَ فَإِنَّ تَزْوِيْجَهَا نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ، وَنَظَرَ رَسُوْلُ الله إِلَى أَوْلاَدِ عَلِي وَجَعْفَر فَقَالَ بَنَاتُنَا لِبَنِيْنَا وَبَنُوْنَا لِبَنَاتِنَا

“Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa seperti kalian. Aku kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku dengan kalian, kecuali Fatimah. Karena, perkawinannya ditetapkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah SWT). Rasulullah pun memandang kepada anak-anak Ali dan Ja’far, seraya bersabda: ‘Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami’.”

Dalam kitab tersebut tidak disebutkan sanadnya. Tetapi, hadits ini diriwayatkan oleh al-Kulaini, dalam kitabnya al-Kafi, Juz V/568, dengan sanad yang majhul [tidak diketahui]. Karena itu, hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai hujah untuk menetapkan hukum wajibnya kafa’ah.

Dalam riwayat lain disebutkan:

كُلُّ بَنِي آدَمَ يَنْتَمُونَ إِلَى عَصَبَةِ أَبِيهِمْ إِلا وَلَدَ فَاطِمَةَ، فَإِنِّي أَنَا أَبُوهُمْ وَأَنَا عَصَبَتُهُمْ [الطبراني في الكبير من طريق عثمان بن أبي شيبة عن جرير عن شيبة بن نعامة عن فاطمة ابنة الحسين عن جدتها فاطمة الكبرى به مرفوعا]

“Semua anak Adam bernasab kepada orang tua lelaki (ayah mereka), kecuali anak Fatimah. Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka.” [Hr. At-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dari ‘Utsman bin Abi Syibah dari Jarir bin Syibah bin Nu’amah dari Fatimah binti al-Husain dari neneknya, Fatimah al-Kubra diriwayatkan secara marfu’].

Status hadits ini menurut Ibn al-Jauzi, dalam al-‘Ilal al-Mutanahiyyah, “Innahu la yashihhu, laisa bi jayyid[in]. (Hadits tersebut tidak shahih, dan tidak jayyid [baik]).” Di dalam sanad-nya juga terdapat Syibah, yang dinyatakan lemah. Namun, hadits ini mempunyai banyak pendukung (syawahid). Jika pun maknanya sahih, maka hadits ini menjelaskan kekhususan Nabi saw. dan keturunannya. Namun, hadits ini tidak menjelaskan tentang wajibnya kafa’ah bagi pasangan suami-isteri, khususnya keluarga Nabi saw.

Mengenai hadits dari Ibn ‘Umar:

اَلْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكِفَّاءُ لِبَعْضٍ قَبِيْلَةٌ لِقَبِيْلَةٍ وَحَيٌّ لِحَيٍّ وَرَجُلٌ لِرَجُلٍ

“Orang-orang Arab setaraf satu dengan yang lain. Kabilah satu dengan kabilah lain, satu kampung dengan kampung yang lain, laki-laki yang satu dengan yang lain…”

 

Hadits ini palsu, tidak ada dasarnya. Ibn Abi Hatim berkomentar, “Aku telah bertanya kepada ayahku tentang hadits ini, beliau mengatakana, “Munkar”.” Sedangkan Ibn ‘Abd al-Barr berkomentar, “Hadits ini Munkar dan palsu [maudhu’].”. Dalam isnad-nya terdapat orang yang majhul, yaitu perawi yang meriwayatkan dari Ibn Juraij. Ad-Daruquthni berkomentar, dalam kitab al-‘Ilal, “La yashihhu [Tidak sahih].”

 

Begitu juga hadits al-Bazzar dari Mu’adz bin Jabal:

اَلْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكِفَّاءُ بَعْضٍ، وَالْمَوَالِيْ بَعْضُهُمْ أَكِفَّاءُ بَعْضٍ

“Orang-orang Arab sekufu’ satu dengan yang lain. Begitu juga kaum Mawali sekufu satu dengan yang lain.”

Isnad hadits ini juga lemah.

Mengenai tindakan Nabi saw. menikahkan putrinya, Fatimah al-Kubra dengan saudara sepupunya, ‘Ali bin Abi Thalib, ini tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk mewajiban pernikahan antara sesama syarifdengan syarifah. Sebaliknya, mengharamkan pernikahan syarif dengan bukan syarifah, atau syarifahdengan bukan syarif. Karena, ada tindakan Nabi saw. yang lain, yang berbeda dengan ini. Ketika Nabi saw. menikahkan putri bibinya, Zainab binti Jahsy al-Asadiyyah dengan Zaid bin Haritsah. Padahal, Zainah adalah syarifah, sedangkan Zaid bin Haritsah bekas budak yang telah dimerdekakan.

Bukan hanya dalam bentuk tindakan, tetapi Nabi juga memerintahkan Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, putra dari bekas budaknya, Zaid bin Haritsah. Maka, Usamah bin Zaid pun menikahinya atas titah Nabi saw [Hr. Muttafaq ‘alaih]. Begitu juga Abu Hudzaifah bin Rabi’ah bin ‘Utbah telah mengadopsi Salim, bekas budak wanita Anshar, sehingga dikenal sebagai Salim “Maula” [bekas budak] Abi Hudzaifah. Salim dinikahkan oleh Abu Hudzaifah dengan keponakannya, putri saudara lelakinya, Hindun binti al-Walid bin Utbah. [Hr. Bukhari].

Mengenai perkataan ‘Umar bin al-Khatthab:

لَأَمْنَعُنَّ فُرُوْجَ ذَوَاتِ الأحْسَابِ إِلاَّ مِنَ الأَكِفَّاءِ

 “Aku melarang kemaluan wanita-wanita dari keturunan mulia, kecuali untuk lelaki yang setaraf dengannya.”

Perkataan ‘Umar ini bukan hadits. Apa yang dinyatakan ‘Umar ini merupakan pendapatnya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan kafa’ah, atau melarang pernikahan karena tidak kafa’ah.

Begitu juga pendapat Salman al-Farisi, sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Qudamah:

 

بَلْ أَنْتَ تَقَدَّمْ فَإِنَّكُمْ مَعْشَرَ الْعَرَبِ لاَ يُتَقَدَّمُ عَلَيْكُمْ فِي صَلاَتِكُمْ وَلاَ تُنْكَحُ نِسَاؤُكُمْ إِنّ اللهَ فَضَّلَكُمْ عَلَيْنَا بِمُحَمَّدٍ صلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعَلَ فِيْكُمْ

 “Anda [Jarir] yang harus maju. Kalian kalian, wahai orang-orang Arab, kalian tidak boleh dipimpin dalam shalat kalian [oleh non-Arab]. Perempuan kalian juga tidak boleh dinikahi, sesungguhnya Allah memuliakan kalian atas kami karena Muhammad saw. Dia juga dijadikan di antara kalian.” [HR. al-Baihaqi]

Perkataan Salman ini juga bukan hadits. Apa yang dinyatakan Salman ini merupakan pendapatnya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan kafa’ah, atau melarang pernikahan karena tidakkafa’ah. Kalau pun ini dijadikan sebagai syarat, hanya syarat afdhaliyyah saja, baik dalam imamah shalat maupun pernikahan.

Karena itu, tidak ada satu dalil pun yang bisa digunakan untuk mewajibkan kafa’ah bagi pasangan suami isteri, baik dari kalangan Arab dengan Arab, Arab dengan non-Arab, maupun syarifah dengan bukansyarifah. Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani menyatakan, karena itu, maka nash-nash yang menyatakankafa’ah adalah nash yang batil, atau tidak bisa digunakan untuk berhujah. Mensyaratkan kafa’ah juga bertentangan dengan sabda Nabi saw:

لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

 “Tidak ada kelebihan bagi bangsa Arab terhadap non-Arab kecuali dengan ketakwaannya.” [Hr. Ahmad]

 

Syarat tersebut juga bertentangan dengan nash al-Qur’an:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

 “Sesungguhnya di antara kalian yang paling mulia di sisi Allah, adalah kalian yang paling bertakwa.” [Q.s. al-Hujurat: 13]

 

Karena itu, hadits-hadits tentang syarat kafa’ah, atau bahkan yang mewajibkan kafa’ah jelas harus ditolak, dari aspek riwayat maupun dirayah. Maka, Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani menegaskan, bahwa hadits-hadits yang menyatakan tentang kafa’ah ini adalah hadits-hadits makdzubah [bohong/palsu] [Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani, an-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, hal. 104].

Perbedaan Kafa’ah di Kalangan Ulama’

Sebagian fuqaha’, seperti Imam Ahmad, menggunakan sebagian hadits di atas sebagai argumen untuk menyatakan, bahwa kafa’ah merupakan syarat sahnya pernikahan. Jika tidak terpenuhi, maka kedua mempelai yang tidak sederajat itu harus dipisahkan. Ini juga merupakan pendapat Sufyan at-Tsauri. Dasar yang digunakan, selain hadits yang telah dinyatakan lemah di atas, juga pendapat ‘Umar dan Salman. Mengenai penggunaan kedua pendapat sahabat, ‘Umar dan Salman, bisa dimengerti, karena Imam Ahmad mengakui Mazhab Sahabat sebagai dalil.

Namun, ini bukan pendapat Imam Ahmad satu-satunya. Karena, Imam Ahmad juga mempunyai pendapat kedua, yang berbeda dengan riwayat pertama. Menurutnya, kafa’ah bukan syarat sahnya pernikahan. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama’, bukan hanya pendapat Imam Ahmad. Pendapat ini ternyata juga merupakan pendapat ‘Umar, Ibn Mas’ud, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ‘Ubaid bin ‘Umair, Hammad bin Sulaiman, Ibn Sirin, Ibn ‘Aun, Imam Malik, as-Syafii dan Ashhab ar-Ra’y [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/387-388].

Dalam riwayat lain, Imam Ahmad menyatakan, bahwa bangsa Arab non-Quraisy tidak kafa’ah dengan Quraisy. Non-Bani Hasyim juga tidak kafa’ah dengan Bani Hasyim. Pendapat Imam Ahmad ini bisa dimengerti, karena menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil. Ini juga merupakan pendapat pengikut mazhab Syafii, berdasarkan sabda Nabi saw:

 

إنَّ اللهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ، وَاصْطَفَى مِنْ كِنَانَةَ قُرَيْشًا، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِيْ مِنْ بَنِيْ هَاشِمٍ.

 “Sesungguhnya Allah mengangkat Kinanah dari putra Ismail, mengangkat dari Kinanah Quraisy, mengangkat dari Quraisy Bani Hasyim, dan mengangkat aku dari Bani Hasyim.” [HR. Muslim]

Pendapat pengikut mazhab Syafii ini sama dengan pendapat Abu Hanifah. Beliau berkata, “Orang non-Arab tidak kafa’ah dengan orang Arab. Orang Arab tidak kafa’ah dengan Quraisy. Semua kaum Quraisy itu kafa’ah.”

Namun, sekali lagi, dalam riwayat lain, Imam Ahmad menyatakan sebaliknya, bahwa bangsa Arab satu dengan yang lain sama-sama kafa’ah. Bangsa non-Arab juga demikian, satu dengan yang lain, juga sama-sama kafa’ah. Alasannya, karena Nabi saw. telah menikahkan kedua putrinya dengan ‘Utsman. Baginda saw. juga menikahkan putrinya, Zainab binti Muhammad saw. dengan Abu al-‘Ash bin ar-Rabi’. Padahal, keduanya berasal dari Bani ‘Abdi Syam, bukan dari Bani Hasyim. ‘Ali bin Abi Thalib juga telah menikahkan ‘Umar dengan putrinya, Ummu Kaltsum, dengan ‘Umar bin Khatthab. Meski ‘Umar bukan dari Bani Hasyim. Begitu juga ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Utsman telah menikahi Fatimah binti al-Husain bin ‘Ali, sedangkan Mush’ab bin az-Zubair menikahi saudara Fatimah, Sukainah. Miqdad bin al-Aswad menikahi Shuba’ah binti az-Zubair bin ‘Abdul Muthallib, putri paman Nabi saw. Padahal, keduanya berbeda nasabnya [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/392-393].

Karena itu, pendapat yang menyatakan kewajiban kafa’ah bagi pasangan suami-isteri, di kalangan fuqaha’ adalah pendapat syar’i, setidaknya jika mazhab yang menyatakannya menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil. Sebagaimana Imam Ahmad, misalnya. Namun, jika mazhab tersebut tidak menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil, seperti pengikut mazhab Syafii, maka pendapat ini tentu bukan pendapatsyar’i. Dengan catatan, jika pendapat tersebut didasarkan pada Mazhab Sahabat.

Namun, jika pendapat tersebut didasarkan pada hadits lain, yaitu “Sesungguhnya Allah mengangkat Kinanah dari putra Ismail, mengangkat dari Kinanah Quraisy, mengangkat dari Quraisy Bani Hasyim, dan mengangkat aku dari Bani Hasyim.” [HR. Muslim], sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah, maka hadits ini tidak menunjukkan kewajiban kafa’ah pasangan suami-isteri. Dengan demikian, pendapat yang paling kuat, adalah pendapat yang menyatakan, bahwa kafa’ah tersebut bukan syarat, juga bukan kewajiban bagi pasangan suami-isteri.

 

Masalah Agama dan Kerelaan Bukan Masalah Kafa’ah

Mengenai faktor agama yang dijadikan ukuran kafa’ah antara suami-isteri, sebagaimana pendapat Imam Ahmad, Syafii, Malik dan Abu Hanifah, dalam hal ini Imam Malik berkata, “Kafa’ah hanya dalam masalah agama, bukan yang lain.” Sebagaimana firman Allah SWT:

 

أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لاَ يَسْتَوُوْنَ

“Apakah sama orang yang beriman dengan orang yang fasik, tentu mereka tidak sama.” [Q.s. as-Sajdah: 18]

Ibn al-Mundzir menukil dari al-Buwaithi, bahwa Imam as-Syafii berkata, “Kafa’ah itu dalam agama.”Pendapat ini juga dinyatakan dalam kitab Mukhtashar al-Buwaithi. Dalam kitab Fath al-Bari, beliau menyatakan, “Kafa’ah dalam agama yang diakui merupakan perkara yang disepakati. Maka, tidak halal seorang wanita Muslimah bagi lelaki Kafir.” [as-Syaukani, Nail al-Authar, hal. 1197]

Mengenai perbedaan agama ini, menurut al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, sebenarnya ini bukan pembahasan tentang kafa’ah. Tetapi, ini merupakan pembahasan tentang pernikahan kaum Muslim dengan non-Muslim. Ini tentu merupakan pembahasan lain. Hal yang sama juga terkait dengan kefasikan seseorang, ini sebenarnya tidak terkait dengan masalah kafa’ah. Tetapi, masalah pilihan dan kerelaan.

Imam as-Syafii menyatakan, bahwa asal muasal kafa’ah dalam pernikahan, sebenarnya adalah hadits Barirah [as-Syaukani, Nail al-Authar, hal. 1197]. Dalam hal ini, Barirah, budak wanita, menikah dengan sesama budak. Ketika Barirah dimerdekakan, sementara suaminya masih menjadi budak, maka dia diberi pilihan, apakah mau tetap menjadi isteri budak tersebut, atau membatalkan nikahnya. Diriwayatkan dari al-Qasim dari ‘Aisyah, bahwa Barirah ketika itu masih menjadi isteri dari seorang budak. Ketika dia dimerdekakan, Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Kamu pilih, jika kamu mau, maka kamu tetap menjadi isteri budak ini. Jika kamu mau, kamu bisa meninggalkannya.” [HR. Ahmad]. Dalam riwayat Muslim dari ‘Urwah dari ‘Aisyah, “Barirah telah dimerdekakan. Suaminya tetap menjadi budak. Rasulullah saw. memberikan pilihan kepadanya. Kalau suaminya sudah merdeka, baginda saw. tidak akan memberikan pilihan kepadanya.”

Jadi, pilihan yang diberikan Nabi saw. kepada Barirah tidak terkait dengan masalah kafa’ah atau tidak, melainkan terkait dengan status suaminya yang masih menjadi budak, dan konsekuensi Barirah menjadi isteri budak. Karena itu, ‘Aisyah berkomentar, “Kalau suaminya sudah merdeka, baginda saw. tidak akan memberikan pilihan kepadanya.” [Hr. Muslim].

Dari sini bisa dipahami, bahwa diberikannya pilihan kepada Barirah untuk bertahan menjadi isteri budak, atau tidak, merupakan bukti yang kuat, bahwa ini masalah pilihan. Tidak terkait dengan rusak dan tidaknya akad pernikahannya, karena tidak kafa’ah. Ini berbeda dengan perbedaan agama, karena ini bukan masalah pilihan. Dalam kasus suami murtad, misalnya, jelas status pernikahannya batal (fasakh). Begitu juga wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, baik Kristen, Yahudi, Hindu, Budha maupun yang lain. Dengan atau tanpa keputusan pengadilan, status pernikahan pasangan ini jelas batal.

Wallahu a’lam. [www.konsultasi.wordpress.com]


Filed under: Pernikahan dan Seks Tagged: kafaah

Entitas Yahudi dan Kelekatannya Dengan Amerika!

$
0
0

Pertanyaan:

Dalam pidatonya di depan Kongres Amerika pada tanggal 3/3/2015, Netanyahu menegaskan sikap penolakannya terhadap apa yang dilakukan oleh Amerika seputar program nuklir Iran. Hal itu dia lakukan selama kunjungan yang dia lakukan tidak pada protokol biasanya, yakni tanpa meminta izin Obama bahkan juga tidak kepada partainya Obama, partai Demokrat di Kongres. Hal itu disifati oleh sebagian pengamat sebagai pelecehan terhadap Obama. Lalu apakah hal itu berarti bahwa hubungan Amerika dengan negara Yahudi telah masuk dalam tahapan terputus atau kondisi permusuhan? Apakah kejadian-kejadian ini punya hubungan dengan pemilu di negara Yahudi dan di Amerika? Kemudian apa kemungkinan dari hasil-hasil pemilu kedua pihak? Semoga Allah memberi balasan yang lebih baik kepada Anda.

Jawab:

Supaya jawabannya jelas kami paparkan perkara-perkara berikut:

  1. Sesungguhnya Yahudi itu tidak tegak untuk mereka pilar sendiri kecuali dengan tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) manusia sebagaimana firman Allah SWT:

﴿ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ﴾

“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia…” (TQS Ali Imran [3]: 112)

 

Tali Allah telah mereka putuskan setelah masa nabi-nabi mereka. Jadi tidak tersisa lagi kecuali menempel pada negara-negara lain dan lekat dengannya agar mereka bisa berlanjut dalam kehidupan mereka. Perkara ini bisa diperhatikan pada mereka sejak berabad-abad lamanya. Pada masa mutakhir mereka merujuk kepada Inggris, lalu Inggris mempermudah mereka menduduki Palestina dan mendirikan negara mereka yang mencaplok orang-orang Palestina. Dan hari ini mereka menempel pada Amerika dan melengketkan diri dengannya. Karena itu, mereka tidak akan memusuhi Amerika, meskipun ada ketidakharmonisan.

  1. Yahudi melalui subordinasinya kepada negara-negara lain, berusaha merealisasi kepentingan-kepentingannya. Mereka melayani negara-negara besar dan melekat dengannya bukan demi negara-negara itu saja akan tetapi juga untuk merealisasi kepentingan-kepentingan mereka. Ini tidak diperselisihkan oleh partai-partai Yahudi. Baik yang berkuasa adalah Partai Buruh atau Likud, mereka mengikuti Amerika dan melekatkan diri dengan Amerika untuk merealisasi kepentingan Yahudi dan bukan hanya untuk kepentingan Amerika… Mereka dalam masalah ini berbeda dengan pemerintah di negeri-negeri kaum Muslimin. Para penguasa kaum Muslimin adalah antek-antek barat yang merealisasi kepentingan negara-negara lain bukan pada kompensasi kepentingan negeri mereka akan tetapi dengan imbalan agar mereka tetap berada di atas kursi …
  2. Selama kepemimpinan Rabin yang kedua untuk kabinet sejak tahun 1992, dan itu pada era presiden Clinton dari partai Demokrat sejak tahun 1993, Rabin berpandangan bahwa kepentingan negara Yahudi berada dalam menyetujui solusi-solusi yang disodorkan oleh Clinton. Kemudian setelah itu ia dibunuh oleh kubu Yahudi lainnya pada tahun 1995… Setelah itu tampak jelas bahwa Partai Buruh cenderung kepada partai Demokrat Amerika dan partai Likud cenderung kepada partai Republik Amerika. Masalah ini sampai pada batas tertentu mewarnai hubungan politik antara institusi berkuasa di Amerika dan negara Yahudi…
  3. Sesungguhnya negara yang berjalan di atas sistem kapitalisme demokrasi, selama masa pemilu adalah masa keterbukaan yang telanjang dan tidak ada garis merah di situ. Maka setiap partai menggunakan semua wasilahnya, yang bermoral dan tidak bermoral. Mereka saling bertikai dan mencela, bahkan mereka menyebarkan skandal-skandal mereka… Pada waktu sekarang ini di entitas Yahudi tahun ini diselenggarakan pemilu awal pada 17 Maret mendatang… Di Amerika juga ada pemilu pada akhir tahun depan “November 2016”. Kedua kubu berusaha memanfaatkan kesempatan yang pas untuk menonjolkan hubungan partai Likud dengan partai Republik dan hubungan partai Buruh dan partai Demokrat, yang mana masing-masing dari keduanya bersandar pada temannya sesuai kesempatan untuk itu…
  4. Strategi umum yang dijalankan oleh Netanyahu dalam melayani Amerika dan merealisasi kepentingan-kepentingan Yahudi adalah dekat kepada politik partai Republik, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, dan sebaliknya tidak selaras dengan uslub-uslub dan wasilah-wasilah Obama dan partai Demokrat. Ketidakharmonisan ini atau perbedaan ini mulai terjadi sejak Obama memegang tampuk pemerintahan. Netanyahu sampai ke kursi kekuasaan pada waktu yang sama dengan Obama. Ketidakharmonisan diantara keduanya tampak sejak awal khususnya pada masalah Palestina kemudian pada masalah nuklir Iran. Selama itu, melalui lobi Yahudi di Amerika, Netanyahu berusaha menekan terus menerus pemerintahan Obama untuk meraih capai sejauh mungkin pada kedua masalah ini…
  5. Ketidakharmonisan ini didukung oleh dua faktor: Pertama, seperti yang kami sebutkan barusan, yakni hubungan di antara partai-partai; dan kedua, karakter Obama dan Netanyahu… yakni perbedaan pandangan dari sisi berurusan dengan situasi politik. Pandangan Netanyahu lebih keras. Pandangannya tegak berdasarkan pendapat yang mengatakan pentingnya kekuatan keras “kekuatan militer pertama-tama” untuk memformulasi peristiwa-peristiwa politik di kawasan demi kepentingan negara Yahudi. Bekerja unilateral adalah ciri politiknya. Pandangan ini tersebar diantara orang-orang neo-konservatif Amerika. Kemudian, Netanyahu mengunjukkan dirinya bahwa dia bersama orang-orang neo-konservatif di pemerintahan Bush dan anggota-anggota partai Republik. Daniel Levy “yang bekerja sebagai penasehat mantan perdana menteri Yahudi Ehud Barak” mengatakan tentang pandangan politik Netanyahu: “saya yakin bahwa Netanyahu selalu dekat dengan kelompok kanan Amerika. Dia mendapat pengajaran politiknya dari mereka”. (“Obama dan Netanyahu: Perbedaannya Pada Cara Pandang bukan Hanya Personal”, CNN, 2 Maret 2015). Netanyahu memahami hal itu. Dia juga memahami bahwa partai Republik mendukungnya.

Adapun berkaitan dengan Obama, ia benar-benar pragmatis dan menentang cara pandang politik neo-konservatif yang mendominasi partai Republik. Obama mengikuti kaedah mencampurkan antara ide kekuatan keras dan kekuatan lembut “diplomasi, utang … dan pemikat-pemikat lainnya”. Obama memandang pentingnya mengikuti politik ini untuk memformulasi peristiwa politik demi kepentingan Amerika. Lebih dari itu, orang-orang pragmatis menjauhi penggunaan uslub unilateral dalam tindakan meski kondisinya mengijinkan hal itu… Hal demikian untuk mengimplementasikan aksi-aksi politik melalui koalisi dan pakta yang komitmen dengan implementasi strategi unilateral Amerika.

  1. Meski semua ini dan itu, ketidakharmonisan dan perbedaan … Partai Republik dan Partai Demokrat bersaing menyatakan perlindungan keamanan negara Yahudi. Partai Republik mendukung kekuatan negara Yahudi, sampai pada tingkat mengokohkan tangan-tangan negara Yahudi pada kejahatan apapun yang dilakukannya… Partai Republik mendukung hal itu secara besar. Dukungan kepada negara Yahudi pada masa Bush Jr. sangat menyolok… Meski demikian, dukungan Obama tidak lebih kecil dari itu, sampai bahwa Netanyahu dalam pidatonya di Kongres menyebutkan hal itu dan berterima kasih kepada Obama. Di dalam pidatonya ia menyatakan “kami sangat menghargai semua yang dilakukan oleh Presiden Obama untuk Israel. Demikian juga dukungan kepada kami dengan tambahan rudal pencegat selama aksi kita pada musim panas lalu… Dan saya akan terus sangat berterima kasih kepada presiden Obama untuk dukungan ini. Dan Israel sangat berterima kasih kepada Anda, dan Kongres Amerika, atas dukungan Anda semua, khususnya dalam membantu militer dan pertahanan rudal, termasuk di dalamnya iron dome …” Berbagai pernyataan itu makin meningkat setiap kali makin mendekati pemilu dengan alasan perlunya mendapat suara lobi Yahudi yang dibesar-besarkan oleh pers Yahudi!
  2. Dari penjelasan sebelumnya jelaslah bahwa ketidakharmonisan antara Netanyahu dan Obama bukan merupakan kondisi permusuhan dengan Amerika atau pemutusan dengan Amerika, melainkan hal itu dicuatkan oleh hubungan-hubungan yang berbeda antara Likud dan Partai Republik dan antara Likud dan Partai Demokrat… Ketidakharmonisan ini tampak menonjol sebab bersesuaian dengan kondisi pemilu di kedua negeri (Yahudi dan Amerika). Netanyahu paham bahwa opini umum entitas Yahudi mengkhawatirkan Iran bisa sampai pada persenjataan nuklir. Oleh karena itu, Netanyahu telah memanfaatkan kelembutan Obama yang sudah terungkap jelas dengan Iran dalam masalah nuklir. Netanyahu menjadikan dirinya pembela entitas Yahudi di depan bahaya nuklir. Kemudian dia memanfaatkan politik oposisi partai Republik di Amerika terhadap Obama dalam negosiasi, untuk menampakkan diri ada di sisi Partai Republik sehingga kedua partai (Likud dan Partai Republik) bisa mendapat manfaat secara pemilu. Dengan itu ia sudah membalas pertemuan Biden dan Kerry dari Demokrat dengan Herzog ketua partai Buruh Yahudi sekaligus pesaing utama Netanyahu di dalam pemilu Israel mendatang. Pertemuan itu terjadi di sela-sela Konferensi Munich pada tanggal 7/2/2015. Kedua pertemuan itu tidak masuk dalam skedul aktivitas… Herzog berkata di dalam pidatonya di Konferensi Munich menyifati pidato Netanyahu yang disampaikan di Kongres, Herzog mengatakan “pidato Netanyahu lahir dari kesalahan, sebagai hasil “pemilihan”, mengancam keamanan nasional Israel dan hubungan khusus antara Israel dan Amerika Serikat”… Pada waktu yang sama kantor Biden mendeklarasikan bahwa “wakil presiden akan berada di luar negeri dan tidak menghadiri pidato Netanyahu yang membangkitkan perdebatan seputar Iran di depan Kongres pada tanggal 3 Maret”.

 

Ringkasnya:

  1. Dari semua itu jelas bahwa Netanyahu dan Obama tidak harmonis dikarenakan sebab-sebab yang telah disebutkan. Masing-masing dari keduanya mendukung pihak lain di dalam pemilu mendatang… Dalam konteks ini, terjadilah kunjungan Netanyahu ke Kongres Amerika dengan persetujuan langsung dari Partai Republik dan tanpa melewati Gedung Putih atau minimal persetujuan dengan orang-orang Demokrat di dalam Kongres. Kunjungan Netanyahu itu mencerminkan perselisihan hakiki antara orang-orang kedua partai tersebut. Perselisihan itu makin memanaskan suasana pemilu di Amerika dan di entitas Yahudi… Begitulah, pemimpin zionis Benjamin Netanyahu diundang untuk berbicara di sidang pleno Kongres di Amerika Serikat pada tanggal 3 Maret 2015. Hal itu merupakan hal yang tidak biasa sebab undangan tidak keluar dari Obama kepada Netanyahu akan tetapi undangan kelur dari ketua DPR dari Partai Republik John Boehner. Ini secara riil mendorong ketegangan antara pemerintahan Netanyahu dan pemerintahan Obama menjadi terbuka, dimana media massa memberikan peliputan yang banyak.Pemerintahan Obama mengecam undangan itu. Sementara Presiden Amerika mengumumkan tidak akan menemui Netanyahu… Demikian juga Kerry, yang mana dia justru meninggalkan Washington ke luar negeri selama keberadaan Netanyahu di Washington … Lalu terjadi pertengkaran pernyataan antara kubu pemerintahan dan kubu Kongres. Hal itu menunjukkan bahwa Partai Republik ingin bertindak dalam konteks pemilu untuk menarik sebanyak mungkin jumlah suara lobi Yahudi dalam kerangka persaingan dengan partai Demokrat yang sedang berkuasa supaya Partai Republik bisa mendapat suara yang lebih banyak di dalam pemilu Presiden yang akan diselenggarakan tahun depan.
  1. Adapun Netanyahu, di depan Kongres ia berpidato menentang negosiasi Obama dengan Iran. Ia menyifati perjanjian yang ingin dilakukan oleh Obama itu sebagai sesuatu yang buruk… Netanyahu berkata: “kekuatan internasional berjanji menghalangi Iran sampai ke senjata nuklir akan tetapi tampak bahwa mereka kosong dari komitmen ini”. Ia menambahkan, “saya menghormati Gedung Putih dan Presiden Amerika Serikat, akan tetapi dalam masalah utama seperti ini eksistensi kami bisa dibatasi dari ketiadaannya, saya wajib melakukan segala hal untuk menghalangi bahaya besar terhadap Israel semisal ini”. Ia mengatakan, “tawaran yang diberikan kepada Iran akan membuatnya bisa mengancam eksistensi negara Israel” (CNN, 10/2/2015). Semua ini untuk membuat dirinya sebagai pelindung kepentingan-kepentingan Yahudi sehingga ia bisa mengambil manfaat dalam pemilu, khususnya bahwa disana ada jajak pendapat yang mengisyaratkan berhasilnya Partai Republik Amerika dalam pemilu mendatang sebagai analogi dengan keberhasilan Partai Republik dalam pemilu paruh waktu terakhir pada tahun lalu, dan dari situ partai Likud meningkatkan penerimaan pada orang-orang Republik… disamping keyakinannya atas ketidakbolehan Iran memiliki senjata nuklir. Pemerintah Netanyahu sejak bertahun-tahun lalu mempersiapkan diri untuk menyerang Iran dengan dalih program nuklir pada akhir tahun 2011. Eropa mendorongnya melakukan hal itu untuk memberatkan Amerika. Perancis mensuplay entitas Yahudi citra satelit fasilitas nuklir Iran. Jerman mengirim kapal-kapal perang modern yang memuat rudal. Inggris mensuplay dengan informasi militer dan intelijen dimana kepala staf militer Inggris pada waktu itu mengunjungi entitas Yahudi dan tinggal di sana selama tiga hari langsung untuk persiapan serangan itu. Sedangkan Italia mengijinkan pesawat tempur Israel melakukan latihan di wilayah udara Italia untuk terbang jarak jauh dan pengisian bahan bakar di udara. Sementara Amerika bekerja “mengekang” negara Yahudi dan menekannya untuk tidak menaikkan eskalasi dan bahwa sanksi-sanksi yang ada sudah cukup serta politik Obama sudah efektif… Waktu itu negara Yahudi tunduk pada tekanan sampai terjadinya kunjungan Netanyahu ini dengan koordinasi dengan partai Republik dalam atmosfer pemilu…
  2. Adapun kemungkinan hasil pemilu, di entitas Yahudi hasil pemilu akan berdekatan. Sebab oposisi terutama Partai Buruh menonjolkan bahwa ketidakharmonisan antara Netanyahu dan Obama membahayakan kepentingan Amerika dan tidak adanya dukungan Amerika kepada mereka akan menyebabkan bahaya yang lebih besar terhadap negara mereka. Oposisi juga berusaha menonjolkan pernyataan-pernyataan Obama dalam menjaga keamanan Yahudi dan bahwa politik nuklirnya berjalan menghalangi bahaya nuklir Iran dengan politik strategis yang terencana. Mereka mengharapkan dari hal itu bisa meraih dukungan dari lobi Yahudi di Amerika. Pada waktu yang sama, mereka mengadakan peredaan di negara Yahudi sehingga mereka juga bisa meraih suara banyak … Sebaliknya, makin dekatnya Netanyahu dengan Partai Republik yang mereka harapkan sukses dalam pemilu Amerika mendatang, Netanyahu menonjolkan dirinya sebagai pelindung kepentingan Yahudi dan yang mencegah bahaya nuklir dari Yahudi. Semua itu bisa meraih dukungan dari lobi Yahudi dan dukungan suara di dalam negeri entitas Yahudi… Begitulah, kemungkinannya kedua pihak, partai Buruh dan Likud, berdekatan hasilnya dan bahwa dukungan Obama kepada partai Buruh dan dukungan partai Republik kepada Likud juga berdekatan sampai pada batas tertentu, kecuali Obama sempurna dalam menjalankan perannya sebagai presiden dan pemanfaatnya dalam hubungan-hubungan yang kuat dengan partai Buruh, maka pada saat demikian akan berpengaruh pada keberhasilan Netanyahu… Akan tetapi, tindakan Obama dengan kekuatan ini terhadap Netanyahu merupakan perkara yang lebih kecil kemungkinannya. Apalagi Obama tidak boleh mencalonkan diri lagi untuk jabatan Presiden periode mendatang. Ini artinya bahwa yang mungkin adalah kesempatan antara Netanyahu dan pesaingnya yakni Herzog dari partai Buruh, akan saling berdekatan. Sulit bagi keduanya untuk membentuk pemerintahan kecuali dalam bentuk koalisi lemah sebab keduanya sulit membentuk partai yang besar. Akan tetapi kedua partai akan terpaksa bekerja sama dengan minoritas dan akan memaksakan syarat-syarat sebesar mungkin bagiannya dan berikutnya pemerintahan yang terbentuk mendatang di entitas Yahudi akan lemah, kecuali jika kedua partai bisa saling mendekat satu sama lain…Adapun tentang pemilu Amerika, maka beberapa jajak pendapat yang dilansir membuat kemungkinan kemenangan partai Republik lebih besar. Hal itu berdasarkan pemilu-pemilu paruh waktu yang lalu dimana partai Republik mendominasi mayoritas Kongres. Apalagi Obama tidak akan sukses dihadapan krisis internasional dalam bentuk yang menyenangkan pada situasi di dalam negeri Amerika dan luar negeri.
  1. Adapun tentang kondisi permusuhan atau pemutusan dengan Amerika, maka hal itu jauh kemungkinannya seperti yang telah kami sebutkan. Akan tetapi, entitas Yahudi akan terus melekatkan diri dengan Amerika dan menempel padanya. Tidak ada kehidupan untuk entitas Yahudi tanpa tali (perjanjian) dari manusia dan itu pada hari ini adalah Amerika… Akan tetapi, tali ini akan putus dengan izin Allah SWT. Hal itu ketika negara-negara itu merasa bahwa perpanjangan tali antara negara itu dengan negara Yahudi yang mencaplok Palestina menjadi bencana terhadap negara itu. Hal itu dengan munculnya kekuatan Islam, pemeluknya dan negaranya. Dan hal itu pasti terjadi dengan izin Allah SWT.

﴿وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ﴾

“Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Quran setelah beberapa waktu lagi.” (TQS Shad [38]: 88)

 

 

17 Jumadul Ula 1436 H

8 Maret 2015 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_44831


Filed under: Politik Tagged: yahudi

Hukum Seputar Cincin dan Akik

$
0
0

Tanya :

Ustadz, mohon jelaskan hukum syariah seputar cincin? Benarkah ada hadits yang menerangkan keutamaan cincin akik? Bolehkah mempercayai bahwa cincin mempunyai khasiat tertentu? (Hamba Allah, Makassar).

Jawab :

Di antara hukum syariah tentang cincin sbb : (1) ulama sepakat boleh hukumnya perempuan memakai cincin emas, sedang bagi laki-laki hukumnya haram. (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 14/65). Dalil keharamannya bagi laki-laki, sabda Nabi SAW, ”Sesungguhnya dua benda ini [kain sutra dan emas] haram atas umatku yang laki-laki dan halal bagi umatku yang perempuan.” (HR Tirmidzi & Nasa`i, hadits shahih).

(2) Ulama sepakat boleh hukumnya perempuan memakai cincin perak. Sedang bagi laki-laki, adakhilafiyah di kalangan ulama. Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah mensunnahkan, dengan dalil Nabi SAW telah memakai cincin perak. Adapun ulama mazhab Hanabilah dan Malikiyah sekadar membolehkan, tak menyunnahkan. Pendapat yang rajih (kuat), yang membolehkan. Karena dalam perbuatan Nabi SAW itu tak terkandung maksud taqarrub/ibadah (qashdul qurbah), sehingga hukumnya mubah, bukan sunnah. (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ul Fatawa, 1/280).

(3) Boleh hukumnya laki-laki dan perempuan memakai cincin dari besi, tembaga (nuhas), dan timah (rashash), tanpa disertai kemakruhan. (Asna Al Mathalib, 1/278).

(4) Boleh hukumnya laki-laki memakai cincin dengan batu mata (al fash) berupa batu mulia, seperti batu ruby (yaqut), zamrud (emerald), fairuz (turquoise), dsb. Imam Ibnu Hazm berkata, ”Berhias dengan perak, mutiara (lu’lu’), yaqut, dan zamrud, halal dalam segala keadaan bagi kaum laki-laki dan perempuan.” (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 10/86).

(5) Boleh memakai cincin di tangan kanan atau kiri, tapi yang afdhal menurut Imam Ahmad, Syafi’i, dan Al Baihaqi adalah di tangan kiri, karena Nabi SAW memakai cincin di tangan kiri. Sedang hadits bahwa Nabi SAW memakai cincin di tangan kanan, menurut Imam Al Baihaqi, sudah dinasakh karena waktu itu cincin yang dipakai adalah cincin emas ketika belum turun larangan memakainya. (Al Baihaqi, Al Jami’ fi Al Khatam, hlm. 29-30).

(6) Makruh hukumnya memakai cincin di jari tengah (al wustha) dan jari telunjuk (as sababah). (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim 14/71). Yang afdhal, memakai cincin di jari kelingking (al khinshar). Memakai di ibu jari (ibham) dan jari manis (al binshir), boleh. (Ibnu Rajab, Ahkam Al Khawatim, hlm. 94).

Mengenai hadits yang menjelaskan keutamaan cincin akik, memang ada. Di antaranya hadits dari ‘A`isyah ra, bahwa Nabi SAW bersabda, ”Hendaklah kamu memakai cincin akik, karena sesungguhnya dia diberkahi.” (takhattamuu bil ‘aqiiq fa-innahu mubaarak).” (HR Al Hakim & Al Baihaqi). Juga hadits dari Anas ra, bahwa Nabi SAW bersabda, ”Hendaklah kamu memakai cincin akik, karena sesungguhnya dia dapat menghilangkan kemiskinan.” (takhattamuu bil ‘aqiiq fa-innahu yanfiy al faqra). (HR Imam Ibnu Rajab, dalamAhkam Al Khawatim).

Tapi hadits-hadits tersebut ternyata statusnya dha’if (lemah). Demikian kesimpulan Imam Suyuthi dalamAl Jami’us Shaghir (1/129), Imam Ibnu Rajab dalam Ahkamul Khawatim, hlm. 50, dan Imam Ibrahim An Naji dalam At Ta’liq Al Watsiq fi At Takhattum bil ‘Aqiq, hlm. 10. Jadi tak ada hadits yang secara khusus menerangkan keutamaan atau pahala atau kesunnahan memakai cincin akik.

Namun tak berarti haram hukumnya memakai cincin akik. Karena hukum cincin akik tetap mubah, sebab tak ada dalil yang mengharamkannya, sesuai kaidah fiqih al ashlu fil asy`yaa` al ibahah maa lam yarid dalil at tahrim (hukum asal benda adalah boleh selama tak ada dalil yang mengharamkan). (Nashir M. Al Ghamidi, Libas Ar Rajul Ahkamuhu wa Dhawabithuhu, 1/435).

Mempercayai bahwa cincin memiliki khasiat tertentu, misalnya memudahkan rezeki, untuk kewibawaan dsb, tidak boleh, karena tidak ada dalil hadits shahih yang menjelaskannya. Kitab Al Mustathraf yang membicarakannya, tak dapat dijadikan rujukan terpercaya. (Fatwa Al Lajnah Al Da`imah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta`, no. 21469). Wallahu a’lam.[] M. Shiddiq al-Jawi

 

Sumber: Tabloid Mediaumat edisi 146


Filed under: Pakaian-Penampilan Tagged: akik, cincin

Nisab Zakat Māl (Harta) dan Waktunya

$
0
0

Zakat māl (harta) tidak wajib sebelum mencapai nisab dan sudah berjalan penuh satu tahun. Dari Ali bin Abi Thalib dari Nabi saw bersabda: “Jika Anda memiliki 200 dirham, dan sudah berjalan satu haul (tahun), maka zakatnya 5 dirham. Dan tidak ada kewajiban atas kamu sesuatupun – yaitu dalam emas – sampai memiliki 20 dinar. Jika telah memiliki 20 dinar dan telah berlalu satu haul (tahun), maka zakatnya ½ dinar.” (HR. Abu Dawud).

Dan perhituagan tahun di sini adalah tahun hijriyah bukan tahun masehi, yakni jika harta yang sudah mencapai nisab itu telah berjalan 354 hari, maka ia sudah berjalan satu haul (tahun), sehingga wajib dikeluarkan zakatnya. Dan ketika zakat sudah wajib atas harta seorang Muslim, maka kewajiban itu tidak akan gugur darinya –hingga dikeluarkan zakatnya.

Oleh karena itu, jika pemilik harta yang sudah mencapai nisab itu telah berjalan satu tahun penuh, seperti yang telah kami jelaskan, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Sehingga tidak ada artinya menghabiskan harta tersebut atau sebagian, setelah berjalan satu tahun, sebab zakatnya tetap wajib dikeluarkan. Dengan demikian, Anda wajib mengeluarkan zakatnya secara penuh, baik harta yang telah dihabiskan atau yang masih tersisa.

Zakat yang belum dikeluarkan ini adalah hutang yang menjadi tanggungan Anda hingga dikeluarkannya. Untuk itu bersegeralah mengeluarkannya, semoga Allah merahmati Anda.

Hal ini, jika harta itu dihabiskan setelah berjalan satu tahun. Namun jika harta itu dihabiskan sebelum berjalan satu tahun, maka zakat yang wajib dikeluarkan sejumlah yang ada, dan telah berjalan satu tahun.

———————-

Dari Jawab Soal: Zakat dan bejalannya satu haul (tahun)

———————-

https://www.facebook.com/Ata.abualrashtah/photos/a.154439224724163.1073741827.154433208058098/399939776840772/?type=1

 

Tulisan terkait :

1. Nishab Zakat.

2.  Hukum Zakat Profesi


Filed under: Ekonomi

Bagaimana Status Tentara Wanita yang Ditawan?

$
0
0

Soal:

Bagaimana status tentara wanita yang terlibat dalam perang, apakah mereka dihukumi sebagai “sabaya” atau tentara musuh yang boleh dibunuh? Ketika menjadi tawanan, apakah mereka disamakan dengan “sabaya” atau dihukumi dengan hukum “asra” [tawanan perang]?

Jawab:

Dalam hal ini ada tiga masalah. Pertama: status wanita yang ikut berperang. Hukum syariah tentang wanita yang keluar di medan perang dan terlibat dalam peperangan—baik untuk memberikan semangat kepada tentara, atau untuk berperang bersama mereka sebagai pasukan perang—adalah sama. Hanya saja, kaum perempuan yang keluar di medan perang sekadar untuk memberikan semangat kepada pasukan perang tidak boleh dibunuh. Sebaliknya, jika mereka tidak sekadar memberikan semangat kepada pasukan perang, namun mereka juga menjadi pasukan perang, ikut mengangkat senjata dan membunuh kaum Muslim, maka mereka boleh dibunuh. Kesimpulan ini ditarik dari hadis yang diriwayatkan dari Nafi’, bahwa ‘Abdullah ra. telah memberitahukan kepada dia, bahwa ada seorang wanita ditemukan dalam sebagian peperangan Nabi saw. terbunuh:

فَأَنْكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَتْلَ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ

Rasulullah saw. pun mengingkari [tindakan] membunuh perempuan dan anak-anak [HR al-Bukhari dan Muslim]

Demikian juga dalam hadis sahih yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Muraqqa’ bin Shaifi bin Rabbah yang berkata: Aku diberitahu ayahku, dari kakeknya Rabbah bin Rabi’ yang berkata: Kami pernah bersama Rasulullah saw. dalam suatu peperangan. Beliau lalu melihat orang sedang mengerumi sesuatu. Baginda pun mengutus seseorang seraya berkata, “Lihatlah, mengapa mereka berkerumun?” Orang itu pun datang menghadap Nabi, melaporkan, “Mereka mengerumuni seorang wanita yang terbunuh.” Nabi saw. bersabda, “Selagi wanita ini tidak membunuh.” (HR Abu Dawud).

Mafhum-nya, “Kalau dia ikut membunuh, maka boleh dibunuh.” Inilah kesimpulan hukum yang bisa ditarik dari hadis di atas. Begitu juga sebaliknya, kalau mereka tidak ikut mengangkat senjata dan membunuh kaum Muslim, maka mereka tidak boleh dibunuh meski mereka menjadi pasukan dan mengangkat senjata, tetapi status mereka tetap diperlakukan sebagaimana hukum syariah yang diberlakukan secara umum terhadap kaum wanita.1

Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Al-‘Allamah Dr. Muhammad Khair Haikal, dalam kitabnya, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah as-Syar’iyyah:

Tampaknya saat ini, sebagaimana yang terlibat, bahwa unsur wanita dari peperangan modern sudah jelas. Bahkan selalu ada di dalam tentara berbagai negara di era modern, baik untuk mengangkat senjata, ikut berperang, maupun memberikan berbagai layanan lain yang dibutuhkan oleh pasukan tentara..

Karena itu, kebiasaan kaum perempuan keluar bersama pasukan tentara itu tetap ada..Ini dari aspek fakta perang modern. Adapun dari aspek pembatasan legalitas “sabiy” serta menjadikan perempuan dan anak-anak yang ikut keluar bersama tentara sebagai budak..Karena itu tampak bagi siapa saja yang menelaah berbagai peristiwa sirah Nabawiyah serta nas-nas syariah, bahwa legalitas itu tidak terbatas untuk perempuan dan anak-anak yang keluar bersama pasukan tentara saja, tetapi juga untuk yang tinggal di rumah.2

Dari sini, status wanita yang menjadi pasukan musuh, menurut Dr. Muhammad Khair Haikal, dihukumi sama dengan “sabaya”. Karena itu status mereka tidak berbeda, baik keluar ke medan perang untuk memberikan semangat kepada pasukan tentara, atau ikut berperang bersama mereka. Status mereka tetaplah “sabaya”, kecuali jika mereka ikut membunuh tentara kaum Muslim, maka mereka boleh dibunuh.

Kedua: masalah “sabaya” dan siapa mereka? Istilah “sabiyyah”, jamaknya “sabaya”, digunakan untuk menyebut perempuan dan anak-anak yang ditawan. Dalam kitab Mukhtar as-Shihhahdisebutkan: “As-Sabyu dan as-suba’u, konotasinya al-asru [tawanan]. Qad sabaytu al-‘aduwwa asartuhu [Aku benar-benar telah menjadikan musuh sebagai “sabiy”, maksudnya aku telah menawannya]. Wa as-sabiyyatu konotasinya al-mar’ah al-masbiyyah [perempuan yang ditawan].”3

Jadi, secara harfiah, kata “sabiyyah”, jamaknya “sabaya” mempunyai konotasi “asir”, jamaknya“asra” [tawanan]. Dalam kitab Al-Umm, Imam as-Syafii menyebutkan hadis:

سَبَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رِجَالاً مِنْ هَوَازِنَ

Rasulullah saw. telah menawan kaum pria dari Hawazin.4

Di sini, beliau meriwayatkan hadis di atas dengan menggunakan kata “saba”, dengan konotasi“asara” [menawan]. Namun, dalam istilah fikih, kata “asir”, jamaknya “asra” [tawanan], digunakan khusus untuk pria dewasa yang ikut berperang. Adapun kata “sabiyyah”, jamaknya “sabaya”, digunakan untuk menyebut anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, kaum perempuan, termasuk lelaki yang tua-renta.5

Karena itu status “sabaya” berbeda dengan status “asra” meski secara harfiah keduanya bisa berkonotasi tawanan. Namun, realitas dan detail hukumnya berbeda. Terhadap “sabaya”tersebut, pandangan para ulama mazhab berbeda:

1-     Khalifah berhak untuk menjadikan mereka sebagai budak. Boleh juga mereka dibebaskan, dan jika dibutuhkan, boleh dipulangkan ke negeri mereka untuk dibarter dengan pasukan kaum Muslim yang menjadi tawanan mereka. Karena itu, “Perempuan dan anak-anak tidak boleh dibunuh, tetapi boleh dijadikan budak untuk kemaslahatan kaum Muslim.. Mereka juga sepakat, bahwa perempuan dan anak-anak tidak boleh dibarter, kecuali dibutuhkan…” Ini pendapat mazhab Hanafi.6

2-     Khalifah berhak untuk membebaskan tanpa tebusan [al-mann], dengan tebusan [al-fida’], dan berhak menjadikannya sebagai budak [al-istirqaq]. Ini pendapat mazhab Maliki, sebagaimana dituturkan Ibn Juzay.7

3-     Khalifah boleh membarter mereka dengan harta atau kaum Muslim yang menjadi tawanan musuh, dimana pemilik asal mereka akan diberikan kompensasi sesuai dengan nilai mereka. Namun, jika tidak mau, pemiliknya tidak boleh dipaksa.8Perempuan dan anak-anak bisa dijadikan budak; mereka juga menjadi hak pemegang hak seperlima (ahl al-khumus), sisanya hak pemilik ghanimah.9Ini pendapat mazhab asy-Syafii.

4-     Mereka tidak boleh dibunuh, dan tidak boleh dibarter, baik dengan harta maupun tawanan kaum Muslim. Mereka juga tidak boleh dibebaskan, tanpa tebusan. Namun, mereka boleh dijadikan budak kaum Muslim. Ini adalah pendapat mazhab Hanbali.10

Dari sini, bisa disimpulkan, bahwa status “sabaya”sama dengan ghanimah [rampasan perang], bedanya bukan harta, tetapi berupa perempuan dan anak-anak. Karena statusnya sebagaighanimah, maka hukumnya adalah hukum ghanimah.11Karena itu kebijakannya diserahkan kepada Khalifah. Khalifahlah yang menentukan status “sabaya” tersebut sesuai dengan kemaslahatan kaum Muslim.12 Namun, ini hanya berlaku bagi mereka yang ada di medan perang. Adapun mereka yang berada di rumah, tidak ikut ke medan perang, maka tidak boleh dijadikan sebagai “sabaya” maupun “asra”.13Pendapat ini berbeda dengan pendapat Dr. Muhammad Khair Haikal di atas.14

Kesimpulan ini juga menegaskan, bahwa status “sabaya” boleh dijadikan budak atau tidak kembali kepada kebijakan Khalifah, sebagaimana pendapat mazhab Hanafi dan Maliki. Tidak serta merta, begitu menjadi “sabaya” langsung menjadi budak, sebagaimana pendapat mazhab Syafii dan Hanbali. Karena itu kebijakan terhadap mereka kembali kepada Khalifah, bukan panglima perang, sebagaimana yang dituntut oleh strategi perang.

Ketiga: masalah tawanan perang [al-asra]. Ini hanya berlaku untuk pria dewasa yang terlibat dalam peperangan. Status hukum mereka dua, yaitu dibebaskan tanpa tebusan [al-mann] dan dibebaskan dengan tebusan [al-fida’]. Detailnya dinyatakan dalam firman Allah SWT:

فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا ذَلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ وَالَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَنْ يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ

Jika kalian bertemu dengan orang-orang kafir [di medan perang], maka pancunglah batang leher mereka. Ketika kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka, atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah, jika Allah menghendaki, niscaya Allah akan membinasakan mereka. Namun, Allah hendak menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain. Orang-orang yang syahid di jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka [QS Muhammad [47]: 4].

Jadi, mereka boleh dibebaskan tanpa tebusan. Boleh dibebaskan dengan tebusan harta, kaum Muslim atau Ahli Dzimmah yang menjadi tawanan perang kaum kafir, boleh juga dengan tebusan yang lain. Dengan demikian, tidak ada hukum lain, selain dua pilihan ini.15 [KH. Hafidz Abdurrahman]

Catatan kaki:

1       Lihat: Soal-Jawab Amir Hizbut Tahrir, Al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rasythah, tertanggal 16 Sya’ban 1434 H/25 Juni 2013 M.

2       Dr. Muhammad Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah as-Syar’iyyah, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. II, tahun 1427 H/1996 M, II/1426-1427.

3       Ar-Razi, Mukhatar as-Shihhah, hlm. 243.

4       Asy-Syafii, Al-Umm, IV/270.

5       Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 131 dan 134; al-Farra’, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 125 dan 127.

6       Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Ibn ‘Abidin, III/353 dan 354.

7       Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Syarh al-Kabir, II/184; Qawanin al-Ahkam, hlm. 166; ad-Dardiri,asy-Syarh al-Kabir, II/184; Manh al-Jalil, III/166.

8       Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 134.

9       Mughni al-Muhtaj, IV/227; al-Mawardi, al-Iqna’, hlm. 178.

10      Ibn Qudamah, Al-Mughni, X/400; al-Farra’, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 127-128.

11      Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, II/189.

12      Al-‘Allamah ‘Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, Dar al-‘Ilm li al-Malayin, Beirut, cet. II, tahun 1408 H/1988 M, hlm. 41-42.

13      Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani, As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, II/189. Lihat juga: Soal-Jawab Amir Hizbut Tahrir, Al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rasythah, tertanggal 16 Sya’ban 1434 H/25 Juni 2013 M.

14      Lihat: catatan kaki no. 2.

15      Lihat: Soal-Jawab Amir Hizbut Tahrir, Al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rasythah, tertanggal 16 Sya’ban 1434 H/25 Juni 2013 M.

 Sumber : Al Waie edisi April 2015


Filed under: Politik

Hukum Dompet dari Kulit Ular dan Buaya

$
0
0

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya dompet dari kulit ular dan kulit buaya? (Nurwidianto, Bantul)

Jawab :

Dompet dari kulit ular dan buaya hukumnya haram. Karena dompet tersebut terbuat dari kulit yang tidak boleh dimanfaatkan, yaitu kulit dari binatang yang haram dimakan, yang dalam kasus ini adalah ular dan buaya.

Dalil haramnya memanfaatkan kulit binatang yang haram dimakan, adalah hadits tentang bangkai kambing milik Maimunah ra. Rasulullah SAW bertanya kepada para shahabat, ”Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya?” Mereka menjawab,”Bangkai kambing itu adalah najis.” Maka bersabda Rasulullah SAW,”Kulit apa pun yang sudah disamak, maka ia menjadi suci. Karena sesungguhnya menyamaknya sama dengan menyembelihnya.” (ayyumaa ihaabin dubigha faqad thahura, fa-inna dabghahu dzakaatuhu). (HR Ahmad no 1895 & 2003, Daruquthni no 127, Abu Dawud Ath Thayalisi, 1/217, hadits shahih).

Syeikh ‘Atha Abu Ar Rasytah menjelaskan bahwa dalam hadits di atas terdapat ‘illat (alasan penetapan hukum) bolehnya memanfaatkan kulit bangkai, yaitu adanya penyamakan kulit dari binatang yang halal dimakan. (‘Atha Abu Ar Rasytah, Taisir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 163; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 15/251).

Demikian pula sebaliknya, jika illat tersebut tidak ada, yaitu jika yang disamak adalah kulit dari binatang yang haram dimakan, maka hukumnya haram memanfaatkan kulitnya. Hal ini berdasarkan kaidah fiqih:al hukmu al mu’allal yaduuru ma’a ‘illatihi wujuudan wa ‘adaman (hukum yang mengandung illat beredar mengikuti illatnya, baik pada saat illat itu ada maupun pada saat illat itu tidak ada). (M. Khair Haikal, Al Jihad wa Al Qital fi As Siyasah As Syar’iyyah, 1/340).

Padahal telah terdapat dalil-dalil syar’i yang mengharamkan memakan ular dan buaya. Keharaman memakan ular, karena ada hadits shahih bahwa Nabi SAW telah memerintahkan untuk membunuh ular. (HR Bukhari no 3297, Muslim no 2233, Abu Dawud no 5252, Tirmidzi no 1483). (Syihabuddin Asy Syafi’i, At Tibyan Limaa Yuhallal wa Yuharram min Al Hayawan, hlm. 65). Imam Syaukani dalam Nailul Autharmenjelaskan bahwa adanya perintah syara’ untuk membunuh suatu binatang, merupakan dalil haramnya memakan binatang itu. (Imam Syaukani, Nailul Authar, 10/211).

Adapun keharaman memakan buaya, karena ada hadits shahih yang melarang memakan binatang buas yang bertaring. Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Setiap-tiap binatang buas yang mempunyai taring, maka memakannya adalah haram.” (kullu dzi naabin min as sibaa` fa-akluhu haram). (HR Ahmad, Muslim, Tirmidzi, & Nasa`i). (Imam Syaukani, Nailul Authar, 10/192).

Berdasarkan dalil-dalil syar’i di atas, jelaslah bahwa ular dan buaya haram dimakan. Maka dari itu, jika kulit ular dan kulit buaya disamak, lalu dibuat menjadi dompet, atau tas, atau jaket, atau barang yang semisalnya, haram hukumnya untuk memanfaatkannya.

Di samping haram memanfaatkan, haram pula memproduksi dan menjualbelikan dompet dari kulit ular dan kulit buaya. Keharaman memproduksi dompet dari kulir ular dan buaya, didasarkan pada sebuah kaidah fikih: ash shinaa’atu ta`khudzu hukma maa tuntijuhu (hukum membuat/memproduksi barang mengikuti hukum barang yang dihasilkan). (Abdurrahman Al Maliki, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hlm. 30; Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, 2/135).

Adapun keharaman menjualbelikan dompet dari kulir ular dan buaya, didasarkan pada sebuah kaidah fikih: kullu maa hurrima ‘ala al ‘ibaad fa-bai’uhu haraam (setiap-tiap benda yang telah diharamkan syara’ atas para hamba, maka menjualbelikannya haram pula hukumnya). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/287). Wallahu a’lam.[www.konsultasi.wordpress.com]

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 147


Filed under: Pakaian-Penampilan

Hukum Mencaci Maki Sahabat Nabi SAW

$
0
0

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya mencaci maki sahabat Nabi SAW, seperti yang tercantum dalam kitab sebagian golongan Syiah, yaitu Syiah Itsna ‘Asyariyah (Rafidhah)? Apakah muslim yang mencaci maki sahabat Nabi SAW itu dikafirkan atau tidak? (Hamba Allah, Jakarta).

Jawab :

Yang dimaksud caci maki (Arab : as sabb, asy syatm) adalah setiap ucapan buruk (kalaam qabiih) yang dimaksudkan untuk merendahkan (al intiqash) atau menghina (al istikhfaf), seperti ucapan mengutuk (al la’nah), menjelek-jelekkan (at taqbiih), menuduh berzina (al qadzaf), dan sebagainya. Misalnya ucapan seseorang kepada orang lain,”Hai orang tolol (yaa ahmaq),” atau ucapan,”Hai orang zhalim.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 24/133; M. Umar Al Hadhrami, Al Husam Al Maslul ‘Ala Muntaqishi Ash-hab Ar Rasul, hlm. 21; Ibnu Taimiyyah, Al Sharim Al Maslul ‘Ala Syatim Ar Rasul, 3/1041).

Hukum mencaci maki para sahabat Nabi SAW secara umum adalah haram, berdasarkan banyak dalil syar’i dari Al Qur`an dan As Sunnah. Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَاناً وَإِثْماً مُبِيناً

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS Al Ahzab [33] : 58).

Dalil As Sunnah, misalnya sabda Rasulullah SAW :

لا تسبوا أصحابي. لا تسبوا أصحابي. فوالذي نفسي بيده لو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا، ما أدرك مد أحدهم، ولا نصيفه

Janganlah kamu mencaci maki para sahabatku! Janganlah kamu mencaci maki para sahabatku! Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sesungguhnya andaikata salah seorang kamu menginfakkan emas sebesar gunung Uhud. maka infaq itu tidak akan mencapai satu mud [infaq] dari salah seorang mereka atau setengahnya.” (HR Bukhari no 3673; Muslim no 2540).

Apakah orang yang mencaci maki sahabat Nabi SAW dikafirkan? Dalam masalah ini ada rincian dari para ulama Ahlus Sunnah sbb : Pertama, tidak dikafirkan orang yang mencaci maki seorang sahabat Nabi, jika caci maki itu tidak menodai sifat keadilan (al ‘adalah) atau pengamalan agama pada seorang sahabat Nabi, misalnya menyifati seorang sahabat sebagai “pengecut” (al jubn), atau “sedikit ilmunya” (qillatul ‘ilm), atau “tidak zuhud” (‘adamuz zuhd). Seluruh fuqaha sepakat tidak mengkafirkan pencaci tersebut, tetapi dia tetap dianggap berdosa dan berbuat fasik, serta berhak mendapat hukuman (‘uqubat) dari Imam (Khalifah). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 26/316).

Kedua, dikafirkan orang yang mencaci maki seorang sahabat Nabi, jika caci maki itu sudah menodai sifat keadilan (al ‘adalah) atau pengamalan agama pada seorang sahabat Nabi, seperti menuduh zina kepada ‘A’isyah RA. Seluruh fuqaha sepakat bahwa pencacinya dikafirkan (murtad). Sebab tuduhan zina tersebut merupakan pengingkaran terhadap nash Al Qur`an yang qath’i (pasti), yaitu QS An Nuur [24] : 17, yang telah membersihkan ‘A`isyah RA dari tuduhan keji tersebut. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 26/316; M. Umar Al Hadhrami, Al Husam Al Maslul ‘Ala Muntaqishi Ash-hab Ar Rasul, hlm. 24).

Ketiga, ada khilafiyah ulama jika seseorang menuduh zina kepada istri-istri Nabi SAW lainnya. Sebagian ulama tidak mengkafirkan pencacinya, sedang sebagian ulama mengkafirkan. Yang rajih (kuat) adalah pendapat ulama yang mengkafirkan, seperti pendapat Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu Katsir. Karena para istri Nabi SAW semuanya juga telah dibersihkan oleh Allah dari tuduhan zina dengan nash Al Qur`an yang qath’i (QS An Nuur [24] : 26), sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Hazm. (Al Muhalla, juz XI, hlm. 415).

Keempat, dikafirkan orang yang telah mengkafirkan atau memfasikkan semua sahabat Nabi atau sebagian besar dari mereka. Sebab pengkafiran tersebut berarti pengingkaran terhadap nash Al Qur`an yang qath’i yang menjelaskan keutamaan para sahabat dan keridhaan Allah SWT kepada mereka. (QS At Taubah [9] : 100, QS Al Fath [48] : 29) (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 26/316; M. Umar Al Hadhrami, Al Husam Al Maslul ‘Ala Muntaqishi Ash-hab Ar Rasul, hlm. 27).

Kelima, dikafirkan orang yang menghalalkan mencaci maki sahabat Nabi SAW. Imam Abu Ya’la Al Farra` (w. 456 H) berkata :

الذي عليه الفقهاء في سب الصحابة : إن كان مستحلا لذلك كفر، و إن لم يكن مستحلا فسق ولم يكفر

Pendapat para fuqaha mengenai perbuatan mencaci maki para sahabat Nabi adalah sbb; jika dia menghalalkan mencaci maki sahabat, maka dia dikafirkan. Jika tidak menghalalkan, berarti dia telah berbuat fasik dan tidak dikafirkan.” (M. Umar Al Hadhrami, Al Husam Al Maslul ‘Ala Muntaqishi Ash-hab Ar Rasul, hlm. 27). Wallahu a’lam.(Ust Shiddiq al Jawi)

Tulisan terkait :

1. Seputar Syiah dan Taqiyyah.

2. Bagaimana Pandangan Hizbut Tahrir Terhadap Syiah?

3. Hizbut Tahrir akan Membaiat Ulama Syiah sebagai Khalifah ?

4. Seputar Taqiyah


Filed under: Dakwah Tagged: syiah

Batilnya Aqidah Syiah Bahwa Al Quran Mengalami Perubahan (Tahrif)

$
0
0

Tanya :

Benarkah Syiah meyakini Al Qur`an sudah mengalami perubahan (tahrif), atau sudah dikurangi oleh sebagian shahabat, seperti oleh Utsman bin Affan? (Thoha A, Jogjakarta).

Jawab :

Mayoritas ulama Syiah Itsna ‘Asyariyah (Imamiyah/Rafidhah) berkeyakinan bahwa Al Qur`an sudah mengalami perubahan (tahrif), yaitu sudah berkurang beberapa kata bahkan beberapa ayat tertentu, dan bahwa Al Qur`an yang lengkap ada di tangan Imam Mahdi. Bahkan sebagian ulama Syiah seperti An Nuuri Ath Thabrasi menuduh Khalifah Utsman bin Affan telah menghilangkan dua surat Al Qur`an, yang disebut surat An Nurain (dua cahaya). (Muhammad Malullah, Al Syi’ah wa Tahrif Al Qur`an, hlm. 63; M. Abdurrahman As Saif, Al Syi’ah Al Itsna ‘Asyariyah wa Tahrif Al Qur`an, hlm. 1 & 10; Ihsan Ilahi Zhahir, Al Syi’ah wa Al Qur`an, hlm. 18; M. Abdus Sattar At Tunsawi, Buthlan ‘Aqa`id Al Syi’ah, hlm. 34-35).

Contoh ayat Al Qur`an yang diklaim Syiah mengalami tahrif, QS Al Maa`idah ayat 67. Bunyinya dalam Al Qur`an :

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ

Ya ayyuhar rasuulu balligh maa unzila ilaika min rabbika”. (Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu).

Menurut Syiah, ada kata yang hilang, yaitu “fii ‘aliyyin” (mengenai Ali) sesudah kata “min rabbika”. Jadi menurut Syiah, bunyi ayat tersebut yang lengkap :

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ في علي

Ya ayyuhar rasuulu balligh maa unzila ilaika min rabbika fii ‘aliyyin”. (Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu mengenai Ali). (Muhammad Malullah, Al Syi’ah wa Tahrif Al Qur`an, hlm. 63; M. Abdurrahman As Saif, Al Syi’ah Al Itsna ‘Asyariyah wa Tahrif Al Qur`an, hlm. 1 & 10).

Banyak ulama Syiah yang menetapkan aqidah Syiah tersebut, yaitu bahwa Al Qur`an sudah mengalami perubahan (tahrif) dan pengurangan (naaqish). Dalam kitab Fashlul Khithab fii Itsbat Tahriif Kitaab Rabb Al Arbaab yang dikarang An Nuuri Ath Thabrasi, misalnya, pada halaman 31 kitab tersebut, dikutip perkataan ulama Syiah bernama Ni’matullah Al Jaza`iri bahwa :

إن الأصحاب قد أطبقوا على صحة الأخبار المستفيضة بل المتواترة الدالة بصريحها على وقوع التحريف في القرآن

“Para sahabat [ulama Syiah] telah menetapkan kesahihan hadits-hadits yang masyhur bahkan mutawatir yang secara jelas menunjukkan terjadinya tahrif dalam Al Qur`an.” (inna al ash-hab qad athbaquu ‘ala shihhah al akhbar al mustafiidhah bal al mutawaatirah ad daallah bi shariihihaa ‘ala wuquu’ at tahriif fil qur`aan). (M. Malullah, Al Syi’ah wa Tahrif Al Qur`an, hlm. 97).

Namun ada sebagian ulama Syiah yang mengingkari terjadinya perubahan (tahrif) pada Al Qur`an, seperti Ibnu Babaihi Al Qumi (w. 381 H), Al Syarif Al Murtadha (w. 436 H), Al Thuusi (w. 450 H), dan Al Thabrasi (w. 561 H). Meski demikian, pengingkaran itu diragukan oleh ulama Ahlus Sunnah, karena dianggap hanya taqiyyah, yaitu mengucapkan sesuatu yang berbeda dengan keyakinan sebenarnya dalam hati. Lagipula pengingkaran itu juga tak lepas dari kritikan balik dari ulama Syiah sendiri. (M. Malullah, Al Syi’ah wa Tahrif Al Qur`an, hlm. 63; Nashir Al Qafari, Ushul Madzhab Al Syi’ah, hlm. 276-277).

Keyakinan bahwa Al Qur`an mengalami perubahan (tahrif), adalah suatu kekufuran. Karena Aqidah Islam menetapkan dengan dalil pasti (qath’i) bahwa Al Qur`an telah dipelihara oleh Allah SWT sehingga mustahil Al Qur`an mengalami perubahan sedikit pun. Firman Allah SWT :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS Al Hijr [15]:9)

Firman Allah SWT :

لا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ تَنزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

 

“Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS Fushshilat [41]:42).

Imam Ibnu Hazm menegaskan :

القول بأن بين اللوحين تبديلا كفر صريح و تكذيب لرسول الله صلى الله عليه و سلم

”Pendapat bahwa di dalam Al Qur`an terdapat perubahan (tabdiil) adalah suatu kekufuran yang nyata (kufrun shariihun) dan merupakan pendustaan terhadap Rasulullah SAW.” (Ibnu Hazm, Al Fashl fi Al Milal wa Al Ahwa` wa An Nihal, hlm. 40).

Qadhi Iyadh berkata :

و قد أجمع المسلمون … أن من نقص منه حرفا قاصدا لذلك أوبدله بحرف آخر مكانه أو زاد فيه حرفا مما لم يشتمل عليه المصحف الذي وقع الإجماع عليه و أجمع على أنه ليس من القرآن عامدا لكل هذا أنه كافر

”Seluruh kaum muslimin sepakat…barangsiapa yang mengurangi satu huruf saja, atau mengganti satu huruf dengan huruf lainnya, atau menambah satu huruf saja, yang tidak terkandung dalam dalam mushhaf Al Qur`an yang sudah disepakati, dan telah disepakati pula bahwa huruf tambahan itu tak termasuk Al Qur`an, secara sengaja, maka dia kafir.” (Qadhi Iyadh, Al Syifaa`, hlm. 1102-1103).

Imam Abdul Qahir Al Baghdadi berkata :

و أكفروا –أي أهل السنة– من زعم من الرافضة أن لا حجة اليوم في القرآن والسنة لدعواه أن الصحابة غيروا بعض القرأن وحرفوا بعضه

”Mereka [ulama Ahlus Sunnah] telah mengkafirkan siapa saja di antara kelompok Rafidhah [Syiah] –padahal tak ada hujjahnya hari ini dalam Al Qur`an dan As Sunnah— dengan klaim mereka bahwa para shahabat telah mengubah sebagian Al Qur`an dan men-tahrif sebagian Al Qur`an lainnya.” (Abdul Qahir Al Baghdadi, Al Farqu Bainal Firaq, hlm. 315). Wallahu a’lam.[www.konsultasi.wordpress.com]M Shiddiq Al Jawi


Filed under: Aqidah Tagged: syiah

Hukum Tak Berpuasa Ramadhan Tanpa Udzur Syar’i

$
0
0

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya meninggalkan shaum Ramadhan tanpa alasan syar’i? Apa sanksinya bagi orang tersebut menurut Syariah Islam? (Hamba Allah, Bogor).

Jawab :

Muslim yang meninggalkan puasa Ramadhan tanpa udzur syar’i misalnya sakit atau sedang dalam perjalanan, berarti telah melakukan dosa besar (itsmun kabiir) dan berhak mendapatkan sanksi di dunia dan azab di akhirat. Syekh Mahmud ‘Abdul Lathif ‘Uwaidhah berkata :

فإن التارك لهذا الركن ، أو حتى المقصِّر فيه ليستحق العذاب الأليم في الآخرة فضلاً عن إيقاع دولة الخلافة العقوبة عليه في الدنيا

”Siapa saja muslim yang meninggalkan puasa Ramadhan, dan bahkan yang sekedar melalaikannya [misalnya berbuka sebelum waktunya], sungguh dia berhak mendapatkan azab yang pedih di akhirat dan lebih-lebih lagi dia juga mendapatkan sanksi dari negara Khilafah di dunia.” (Mahmud ‘Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam Ash Shiyam, hlm. 54).

Azab yang pedih di akhirat tersebut, antara lain dijelaskan dalam hadits dari Abu Umamah Al Bahili RA, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda :

بينا أنا نائم إذ أتاني رجلان فأخذا بضبعي فأتيا بي جبلا وعرا فقالا لي اصعد فقلت إني لا أطيقه فقالا إنا سنسهله لك فصعدت حتى إذا كنت في سواء الجبل إذا أنا بأصوات شديدة فقلت ما هذه الأصوات قالوا هذا عوى أهل النار ثم انطلق بي فإذا أنا بقوم معلقين بعراقيبهم مشققة أشداقهم تسيل أشداقهم دما قال قلت من هؤلاء قال هؤلاء الذين يفطرون قبل تحلة صومهم

”Pada saat saya tidur, (dalam mimpiku) tiba-tiba datang kepadaku dua orang laki-laki, lalu keduanya memegang lenganku dan membawaku ke sebuah gunung yang terjal. Keduanya mengatakan,’Naiklah!’ Aku menjawab,’Aku tidak mampu naik.’ Keduanya berkata,’Kami akan membantumu naik.’ Lalu aku pun naik dan sampai ke puncak gunung. Tiba-tiba aku mendengar teriakan yang sangat keras. Aku bertanya,’Suara apakah ini?’ Mereka menjawab,’Ini adalah teriakan penghuni neraka.’ Kemudian aku melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba aku melihat orang-orang digantung pada urat-urat di atas tumit mereka (secara terjungkir), yang sobek-sobek pada sudut mulut mereka, dan darah pun mengalir dari sudut-sudut mulut mereka.’ Aku berkata,’Siapakah orang-orang ini?’ Kedua laki-laki itu menjawab,’Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya [meninggalkan puasa Ramadhan].” (HR An Nasa`i, dalam As Sunan Al Kubra, no 3286; Al Hakim, dalam Al Mustadrak, no 1568, Shahih Ibnu Khuzaimah, no 1986; Shahih Ibnu Hibban, no 7491. Kata Imam Al Hakim,”Hadits ini shahih menurut syarat Imam Muslim.” Lihat Mahmud ‘Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam Ash Shiyam, hlm. 54; Abdurrahman Al Harafi, Ahkamush Shiyam, hlm. 26; Ahmad Huthaibah, Al Jami’ li Ahkam Ash Shiyam, hlm. 27).

Selain hadits tersebut, juga terdapat hadits-hadits lain yang menunjukkan betapa tercelanya perbuatan meninggalkan puasa Ramadhan tanpa udzur syar’i. Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة رخصها الله لم يقض عنه وإن صام الدهر كله

”Barangsiapa yang berbuka [meninggalkan puasa] satu hari dari bulan Ramadhan tanpa ada suatu rukhshah yang ditetapkan Allah, maka dia tidak dapat mengqadha`-nya dengan puasa setahun penuh walaupun dia melakukan puasa setahun penuh.” (HR An Nasa`i, dalam As Sunan Al Kubra, no 3283; Ahmad, dalam Al Musnad, 2/386, no 9002. Hadits ini dinilai hasan oleh Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Jami’ Al Shaghir, 2/166).

Demikian pula, muslim yang menjual makanan/minuman kepada muslim yang tak berpuasa, padahal dia tahu pembelinya itu tak berpuasa Ramadhan tanpa udzur syar’i, maka penjual itu juga turut berdosa dan turut memikul dosa yang sama dengan dosa pembeli. Kaidah fiqih menyatakan :

كل بيع أعان على معصية حرام

Kullu bai’in a’aana ‘ala ma’shiyatin haraam. (Setiap jual beli yang membantu suatu kemaksiatan hukumnya haram). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1035, syarah hadits no 2193). Kaidah fiqih lain menetapkan :

من أعان على معصية فهو شريك في الإثم

Man a’ana ‘ala ma’shiyatin fahuwa syariik[un] fi al itsmi. (Barangsiapa membantu suatu kemaksiatan, maka dia telah bersekutu dalam dosa kemaksiatan itu). (Syarah Ibnu Bathal, 17/207).

Adapun sanksi dari negara Khilafah, berupa ta’ziir, yaitu sanksi yang bentuk dan kadarnya tidak ditetapkan secara khusus oleh syariah. Jika sanksi ta’ziir-nya tidak diadopsi oleh Imam (Khalifah), makaqadhi (hakim) berhak menentukan sendiri ta’ziir-nya. Menurut Syekh Abdurrahman Al Maliki, seorang muslim yang tak berpuasa pada bulan Ramadhan tanpa udzur syar’i, maka dia dijatuhi sanksi penjara selama 2 (dua) bulan untuk setiap hari tak berpuasa. Jika dia tak berpuasa secara terbuka di hadapan umum seraya menodai kesucian bulan Ramadhan, maka sanksinya ditambah dengan penjara hingga maksimal 6 (enam) bulan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 200). Wallahu a’lam. (Ustadz Siddiq al Jawi)


Filed under: Ibadah Tagged: puasa

Tentukan Awal Ramadhan Pakai Rukyat, Tentukan Waktu Shalat Pakai Hisab. Tidak Konsisten?

$
0
0
Tanya:
Kenapa dalam menentukan awal bulan Ramadhan harus menggunakan rukyat dan tidak menggunakan hisab, sedangkan dalam ibadah shalat boleh mengikuti jadwal waktu shalat yang ditetapkan berdasarkan hisab?

Jawab:
Metode rukyat (melihat dengan mata kepala) secara umum adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam pada hitungan hari ke-29 dari hasil rukyat sebelumnya. Sedangkan metode hisâb falaki(perhitungan astronomis) secara umum adalah perhitungan secara matematis dan astronomis dalam memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, metode ini mencapai apa yang bisa disaksikan saat ini, yaitu hasil yang sangat akurat.

Puasa dan shalat keduanya merupakan ibadah mahdhah, artinya ibadah yang murni terkait hubungan seorang hamba dengan Rabb-nya. Ketentuan-ketentuan di dalamnya bersifattauqîfî, yaitu tidak bisa dinalar atau dipertanyakan. Misalkan dalam ibadah shalat, tidak bisa dipertanyakan kenapa harus lima waktu dalam sehari? demikian pula dalam ibadah puasa, tidak bisa dipertanyakan kenapa harus mulai fajar sampai tenggelam matahari? dll.

Termasuk yang bersifat tauqîfî dari dua ibadah tersebut adalah penentuan waktu awal dan akhir bulan Ramadhan, dan penentuan masuk dan berakhirnya waktu shalat. Keduanya adalah hal yang berbeda dengan berdasarkan nash-nash yang berbeda pula.

Penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan adalah berdasarkan rukyat hilal Ramadhan (melihat bulan sabit Ramadhan dengan mata kepala). Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw:

عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم « صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته ، فإن غُبِّيَ عليكم فأَكْمِلوا عدة شعبان ثلاثين » رواه البخاري ومسلم والنَّسائي وأحمد وابن حِبَّان

Dari Abi Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda:Berpuasalah kalian karena rukyat hilal, dan berbukalah kalian (akhirilah Ramadhan) karena rukyat hilal, jika ia tertutup kabut maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban 30 hari. (HR. Bukhori, Muslim, Nasai, Ahmad, dan Ibn Hibban)

Di riwayat Muslim dengan lafazh:

وقال فإن غم عليكم فاقدروا ثلاثين
Rasulullah saw bersabda: … jika ia tertutup mendung maka tetapkanlah (hitungan bulan Sya’ban) 30 hari. (HR. Muslim)
Adapun penentuan masuk dan berakhirnya waktu shalat adalah berdasarkan posisi fisik matahari terhadap bumi atau gejala yang timbul dari posisi matahari terhadap bumi seperti bayangan benda, terbitnya fajar, dan timbulnya mega. Sebagai contoh, penetapan awal waktu shalat Dhuhur pada riwayat berikut.
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه « أن النبي صلى الله عليه وسلم جاءه جبريل فقال : قم فَصَلِّه ، فصلى الظهر حين زالت الشمس … » رواه أحمد والنَّسائي. وقال البخاري : هو أصح شئ في المواقيت
Dari Jabir bin Abdillah ra, bahwa Nabi saw suatu ketika didatangi Jibril as seraya berkata: berdiri dan shalatlah, maka beliau shalat Dhuhur di saat tergelincirnya matahari, … (HR. Ahmad dan An-Nasa’i).
Al-Bukhori berkata: dia adalah riwayat yang paling shahih dalam perkara waktu-waktu shalat.
Dengan memperhatikan secara teliti nash-nash di atas dan yang serupa dengannya, didapati adanya ketentuan syar’i dalam penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan, yaitu berupa: jika hilal berhasil dilihat maka ditetapkan masuk bulan Ramadhan, jika hilal tidak berhasil dilihat (karena tertutup mendung atau lainnya) maka ditetapkan bulan sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari. Ketentuan syar’i ini menentukan wajib tidaknya berpuasa, artinya jika hilal Ramadhan terlihat maka setiap muslim wajib berpuasa dan haram tidak berpuasa, namun jika hilal Ramadhan tertutup mendung dan tidak terlihat maka haram mengawali puasa Ramadhan karena belum terhitung masuk bulan Ramadhan, demikian pula berlaku di akhir Ramadhan menjelang Syawwal.
Ketentuan syar’i semacam ini tidak didapati pada penetapan waktu-waktu shalat, dimana waktu-waktu shalat ditetapkan murni berdasarkan posisi fisik matahari terhadap bumi, tanpa memperdulikan apakah matahari tertutup mendung atau tidak. Artinya, jika fisik matahari sudah lengser dari garis tengah langit maka secara syar’i itu menandakan sudah masuknya waktu shalat Dhuhur, ketentuan ini berlaku tidak hanya saat fisik matahari terlihat dari bumi, akan tetapi juga berlaku saat fisik matahari tertutup mendung atau awan, demikian juga berlaku pada waktu shalat lainnya.
Sebenarnya, antara rukyat dan hisab jika keduanya dilakukan dengan benar dan tidak ada halangan insyâaLlâh akan membuahkan hasil yang sama. Hanya saja, karena syara’ menetapkan ketentuan tertentu apabila ada halangan, yaitu jika hilal tertutup mendung atau terhalangi mendung, maka menyempurnakan bulan menjadi 30 hari, meskipun bisa jadi hilal sudah muncul di balik mendung yang menghalanginya tersebut, hal itu memungkinkan adanya perbedaan antara rukyat dan hasil hisab.
Dari perbedaan ketentuan syar’i semacam ini disimpulan bahwa metode hisâfalakî (perhituangan astronomis) bisa diterapkan dalam penetapan waktu-waktu shalat, tapi tidak bisa diterapkan dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan. Hal itu tidak lain karena metode hisab semata-mata memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi, tanpa memperhitungkan apakah matahari dan bulan tertutup mendung atau tidak, atau tanpa memperhitungkan apakah matahari dan bulan bisa terlihat dari bumi atau tidak. Wallâhu A’lam (www.konsultasi.wordpress.com)
 
Azizi Fathoni K.

Filed under: Ibadah Tagged: hisab, rukyat

Bagian Waris Bayi yang Masih di Kandungan

$
0
0
Tanya:
Apakah bayi yang masih dalam kandungan mendapatkan bagian harta waris?
(Nabilah Hayat – Aceh)

Jawab:
Bayi yang masih di dalam kandungan belum berhak mendapat harta waris dan pembagian harta waris tidak perlu menunggu kelahiran bayi tersebut.
Memang saat ini telah ditemukan alat canggih semacam USG yang mampu mendeteksi kondisi bayi di dalam kandungan, apakah kelaminnya laki-laki atau perempuan, dan apakah jumlahnya satu atau lebih (kembar). Mengetahui dua hal ini sungguh sangat diperlukan dalam penghitungan harta waris karena bagian masing-masing berbeda, misalnya antara Putera yang mendapat dua kali lipat bagian Puteri untuk perbedaan kelamin, atau antara 1 Puteri yang mendapat bagian 1/2 sementara 2 Puteri atau lebih yang mendapat bagian 2/3 untuk perbedaan jumlah. Namun telah diakui bahwa, betapapun canggihnya alat USG keakuratannya tidak sampai 100 %.
Selian itu, hingga detik ini belum ada alat canggih manapun yang bisa mengetahui apakah bayi tersebut nantinya akan terlahir dengan selamat atau tidak, kecuali hanya Allah swt yang tahu. Kenapa hal terakhir ini diperlukan, karena ada nash hadits yang menjelaskan bahwa pewarisan terhadap seorang bayi, baru berlaku jika bayi terbukti lahir dengan selamat. Yaitu sabda Rasulullah SAW:
عن جابر  رضي الله عنه ، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : إذا استهل المولود ورث ( رواه أبو داود ، وصححه ابن حبان )
Dari Jabir bin ‘Abdillah ra, dari Rasulullah saw beliau berdabda: “Apabila seorang bayi itu mengangkat suaranya (menangis saat dilahirkan) maka dia diberi bagian harta waris” (HR. Abu Dawud, dan disahihkan oleh Ibn Hibban)
Al-Istihlaal atau “mengangkat suara” dengan menangis saat lahir yang terdapat dalam hadits di atas bukanlah makna sebenarnya, melainkah bentuk kinaayah bagi terlahirnya bayi dalam kondisi hidup, karena tangisan bayi pada saat dia dilahirkan menandakan bahwa bayi tersebut hidup. Karena hanya bentuk kinayah, maka bayi yang terlahir meski tidak menangis dia juga termasuk di dalamnya selama ia dilahirkan dalam kondisi hidup.
Mafhuum mukhaalafah (logika kebalikan) dari hadits tersebut adalah jika bayi belum diketahui apakah dia akan terlahir hidup atau tidak alias dia masih dalam kandungan saat si mayit meninggal, maka dia belum berhak mendapat bagian dari harta waris.
Memang ada yang berpendapat agar menangguhkan dulu pembagian harta hingga si bayi tersebut lahir, namun pendapat ini lemah karena penangguhan tersebut berarti penundaan terhadap sesuatu yang wajib dan jelas, yaitu menyampaikan kepada yang berhak apa-apa yang telah menjadi haknya, demi sesuatu yang belum pasti dan belum jelas. Belum lagi jika ternyata ada di antara ahli waris yang meninggal dahulu sebelum kelahiran si bayi, justru akan menambah kebingungan dalam pembagian harta waris.
Inilah penjelasan kenapa kami katakan di awal tadi: “bayi yang masih di dalam kandungan belum berhak mendapat harta waris dan pembagian harta waris tidak perlu menunggu kelahiran bayi tersebut”.WaLlaahu a’lam bi-sh-shawaab.[www.konsultasi.wordpress.com]
27 Shafar 1433 H
Azizi Fathoni

Filed under: Ekonomi

Hukum Seputar Fidyah Puasa

$
0
0

Tanya:

Ustadz, mohon dijelaskan tentang fidyah puasa, khususnya mengenai bentuk dan caranya. (Abu F, Purwakarta).

Jawab :

Fidyah puasa merupakan pengganti (badal) dari puasa yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan, berupa memberi makan kepada orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. (Rawwas Qal’ah Jie,Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 260).

Siapakah yang wajib mengeluarkan fidyah? Menurut Syeikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah dalam kitabnya Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, mereka yang wajib membayar fidyah ada 3 (tiga) golongan; Pertama, orang-orang yang tak mampu berpuasa, yaitu laki-laki atau perempuan yang sudah lanjut usia, dan orang sakit yang tak dapat diharap kesembuhannya. Dalilnya firman Allah SWT :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (maka jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (wa ‘alalladziina yuthiiquunahu fidyatun tha’aamu miskiin) (QS Al Baqarah [2] : 184).

Ibnu Abbas RA menafsirkan ayat tersebut dengan berkata,”Ayat tersebut tidaklah mansukh (dihapus hukumnya), tetapi yang dimaksud adalah laki-laki lanjut usia (al syaikh al kabiir) dan perempuan lanjut usia (al mar`ah al kabirah) yang tak mampu lagi berpuasa, maka keduanya memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.” (HR Bukhari, Abu Dawud, Nasa`i, Daruquthni). Disamakan hukumnya dengan orang lanjut usia tersebut, orang sakit yang tak mampu berpuasa yang tak dapat diharap kesembuhannya. (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 202 & 206).

Kedua, orang yang mati dalam keadaan mempunyai hutang puasa yang wajib di-qadha`. Dalam hal ini hukumnya boleh, tidak wajib, bagi wali (keluarga) orang yang mati tersebut untuk membayar fidyah. Pihak wali (keluarga) dari orang mati tersebut boleh memilih antara meng-qadha` puasa atau memilih membayar fidyah dari puasa yang ditinggalkan oleh orang mati tersebut. Pendapat bolehnya membayar fidyah bagi orang yang mati, merupakan pendapat beberapa shahabat Nabi SAW, yaitu Umar bin Khaththab, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu Abbas, radhiyallahu ‘anhum. (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 207).

Ketiga, suami yang menggauli istrinya pada siang hari Ramadhan dengan sengaja dan tak mampu membayar kaffarah berupa puasa dua bulan berturut-turut. Suami ini wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin. (HR Bukhari no 6164; Muslim no 2559). (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 207).

Adapun bagi perempuan hamil dan menyusui, juga orang yang menunda qadha` puasa hingga masuk Ramadhan berikutnya, menurut pendapat yang kami anggap rajih, tak ada kewajiban fidyah atas mereka. Mereka hanya diwajibkan meng-qadha` puasanya. (Mushannaf Abdur Razaq, no 7564, Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hlm.210, Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 872, Yusuf Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hlm. 64).

Cara membayar fidyah dengan memberi bahan makanan pokok (ghaalibu quut al balad) kepada satu orang miskin sebanyak satu mud untuk satu hari tidak berpuasa. Jika tak berpuasa sehari, fidyahnya satumud. Jika dua hari, fidyahnya dua mud, dan seterusnya. Mud adalah ukuran takaran (bukan berat) yang setara dengan takaran 544 gram gandum (al qamhu). Untuk Indonesia, fidyah dikeluarkan dalam bentuk beras. (Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hlm. 62, Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/687).

Menurut ulama Hanafiyah, boleh fidyah dibayarkan dengan nilainya (qiimatuhu), yaitu dalam bentuk uang yang senilai. Sedang menurut ulama jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah), tidak boleh dibayar dengan nilainya. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/687).

Kami cenderung kepada pendapat jumhur, sebab secara jelas nash QS Al Baqarah : 184 menyebutkan pembayaran fidyah adalah dalam bentuk makanan (tha’aam), sesuai firman Allah,“fidyatun tha’aamu miskin.” (فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ). Selain itu membayar fidyah dalam bentuk makanan adalah apa yang diamalkan oleh para shahabat Nabi SAW, seperti Ibnu Abbas dan Anas bin Malik RA. (Imam Syirazi, Al Muhadzdzab, 1/178). Wallahu a’lam.[www.konsultasi.wordpress.com]

Tulisan terkait :

1. SAKIT RADANG PROSTAT TAK KUAT PUASA,BAGAIMANA MEMBAYAR FIDYAHNYA?

2. Hukum Seputar Puasa Wanita.

3. Bolehkah Pekerja Berat tak Berpuasa?

4. Hukum Puasa Bagi Wanita yang Hamil, Menyusui, dan Melahirkan.


Filed under: Ibadah Tagged: fidyah

Hukum Menggauli Istri

$
0
0

Pertanyaan :

Berapa hari sekali suami wajib menggauli istrinya?

Jawaban :

Para ulama ada khilafiyah :

  1. Jumhur ulama, termasuk Ibnu Hazm :

Suami wajib menggauli istri minimal 1 bulan sekali. Jadi, jika dalam sebulan tidak menyentuh istrinya, maka ia berdosa. Termasuk nakhoda yang pergi 1 bulan, jika ia tidak menyentuh  istrinya, maka ia berdosa.

Dalilnya adalah QS Al Baqarah ayat 222.

 

  1. Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hambali) :

Suami wajib menggauli istri minimal 1 kali dalam 4 bulan.

Dasarnya adalah kisah tentang Umar bin Khattab yang sedang berjalan-jalan di Madinah. Ia menemukan perempuan yang bersyair. Suami perempuan tersebut sedang pergi berjihad. Isi syair tersebut tentang kerinduan ia terhadap suaminya.

Umar pun bertanya kepada Hafshoh tentang berapa lama seorang perempuan bisa bertahan tidak digauli suaminya.

Hafshoh menjawab bahwa kira-kira perempuan bisa bertahan sekitar 5 – 6 bulan. Umar pun kemudian mengambil 6 bulan tersebut. 6 bulan tersebut dibagi : 1 bulan perjalanan ke medan perang, 4  bulan menetap di medan perang, 1 bulan perjalanan pulang.

Disimpulkan waktu 4 bulan tersebut, perjalanan tidak dihitung.

 

  1. Imam al Ghazali : Suami wajib menggauli istri minimal 1 kali dalam 4 malam.

Dasarnya : Karena laki-laki boleh memiliki 4 istri. Jika seorang laki-laki punya 4 istri, maka seorang istri mendapatkan giliran setiap 4 malam.

Ada kisah di masa Umar bin Khattab. Ada perempuan yang datang mengadu kepada Umar. Ia adukan suaminya yang tiap malam selalu sholat tahajud, sementara siangnya puasa terus.

 

  1. Imam Syafi’I : Suami tidak wajib menggauli. Karena menggauli adalah hak, bukan kewajiban. Jadi mubah saja suami menggauli istri.

Ust. Shiddiq condong kepada pendapat Imam Syafi’i.

 

Mengapa pendapat keempat lebih kuat? Silakan simak sendiri di MP3 rekaman kajian bersama K.H. Muhammad Shiddiq al Jawi, materi Nizhamul Ijtimai fil Islam dan soal jawab masalah Istimna’.

Bisa didownload di sini


Filed under: Pernikahan dan Seks Tagged: hukum menggauli istri, istimna', onani

Pewarisan Dzawu al-Arham

$
0
0

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Ba’da tahiyah, ya syaikhuna al-jalil, semoga Allah senantiasa menjaga dan memelihara Anda. Di dalam buku al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah dinyatakan pada bab “Harta Orang Yang Tidak Punya Pewaris” hal. 118 sebagai sebagai berikut, “Semua harta, baik harta bergerak atau tidak bergerak, yang pemiliknya meninggal dan tidak menjadi hak ahli waris secara fardhu dan tidak pula secara ashabah, misalnya seseorang mati dan tidak meninggalkan ahli waris baik isteri, anak-anak, bapak, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau ashabah, maka harta tersebut berpindah ke Baitul Mal secara waris.”

Pertanyaannya: apakah ini berarti bahwa Hizb mentabanni tidak adanya pewarisan dzawu al-arham ketika tidak ada dzawu al-furudh dan tidak ada ashabah? Artinya jika seseorang mati dan tidak ada ahli waris baik dzawu al-furudh maupun ashabah, akan tetapi ada dzawu al-arhamnya, pada kondisi ini apakah harta peninggalannya beralih ke Baitul Mal secara waris dan dzawu al-arhamnya tidak mendapat apa-apa dari harta peninggalannya? Jika demikian, bagaimana dengan hadits yang diriwayatkan dari Sahal bin Hunaif bahwa seseorang melempar seseorang yang lain dengan anak panah lalu hal itu membunuhnya, sementara ia tidak meninggalkan keluarga kecuali al-khâl (paman yakni saudara laki-laki ibunya), maka Abu Ubaidah menulis surat kepada Umar, dan Umar pun menulis surat balasan kepadanya: (Umar berkata: “sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

«اللَّهُ وَرَسُولُهُ مَوْلَى مَنْ لاَ مَوْلَى لَهُ وَالْخَالُ وَارِثُ مَنْ لاَ وَارِثَ لَهُ» (رواه الترمذي والنسائي وابن ماحه وأحمد وابن حبان)

Allah dan Rasul-Nya adalah mawla orang yang tidak mempunyai mawla dan al-khâl (paman yakni saudara laki-laki ibu) adalah pewaris orang yang tidak punya ahli waris.” (HR at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Hibban)

 

At-Tirmidzi berkata: hadits ini hasan shahih. Dan Ibnu Hibban juga menshahihkannya. At-Tirmidzi berkata: hadits hasan. Al-Miqdam bin Ma’di Yakrib meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

«مَنْ تَرَكَ كَلاً فَإِلَيَّ (وَرُبَمَا قَالَ: إِلَى اللهِ وِإِلَى رَسُوْلِهِ) وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِوَرَثَتِهِ وَأَنَا وَارِثٌ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ أَعْقِلُ لَهُ وَأَرِثُهُ وَالْخَالُ وَارِثٌ مَنْ لاَ وَارِثَ لَهُ يَعْقِلُ عَنْهُ وَيَرِثُهُ» (رواه أحمد وأبو داود وابن ماحه والطحاوي وابن حبان والحاكم والبيحقي وابن الجارود)

“Siapa saja yang meninggalkan kallan maka kepadaku (dan mungkin beliau bersabda: kepada Allah dan kepada Rasul-Nya), dan siapa saja yang meningalkan harta maka untuk ahli warisnya, dan aku adalah ahli waris orang yang tidak punya pewaris, aku menanggungnya dan mewarisinya, sedangkan al-khâl (paman yakni saudara laki-laki ibu) adalah ahli waris orang yang tidak punya ahli waris dan ia menanggungnya dan mewarisinya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, ath-Thahawiy, Ibnu Hibban, al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibnu al-Jarud)

 

Dan Abu ‘Ashim meriwayatkan dari Ibnu Juraij dari Amru bin Muslim dari Thawus dari Aisyah r, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:

«اَلْخَالُ وَارِثٌ مَنْ لاَ وَارِثً لَهُ» (رواه الترمذي والدارقطني)

Al-Khâl (paman yakni saudara laki-laki ibu) adalah pewaris orang yang tidak punya ahli waris. (HR at-Tirmidzi dan ad-Daraquthni)

 

At-Tirmidzi berkata: hadits ii hasan shahih gharib. Hadits-hadits ini menetapkan bahwa al-khâl adalah mewarisi, padahal al-khâl itu termasuk dzawu al-arhâm. Atas dasar itu, maka hadits-hadits ini menunjukkan pewarisan dzawu al-arham. Wasi’ bin Hibban meriwayatkan, ia berkata: dan diriwayatkan dari Wasi’ bin Hibban ia berkata: Tsabit bin ad-Dahdah meninggal sementara ia tidak meninggalkan ahli waris dan tidak pula ashabah. Masalahnya pun disampaikan kepada Rasulullah saw, maka beliau bertanya tentangnya kepada ‘Ashim bin Adi apakah Tsabit meninggalkan seseorang. Maka Rasulullah saw menyerahkan hartanya kepada anak saudara perempuannya yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundzir. (As-Suyuthi berkata di Jâmi’ al-Hadîts: Sa’id bin Manshur dan sanadnya shahih). Dan diriwayatkan dari Wasi’ bin Hibban, ia berkata: Tsabit bin ad-Dahdah meninggal dan ia orang yang datang di Bani Unaif atau di Bani al-‘Ajlan, maka Nabi saw bersabda: “apakah dia punya ahli waris?“ Mereka tidak mendapati ahli waris untuknya. Wasi’ berkata: “maka Nabi saw menyerahkan harta warisnya kepada putera saudara perempuannya yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundzir (Mushannaf Abdu ar-Razaq).

Saya ucapkan terima kasih atas perhatian dan jawaban Anda ya Syaikhuna al-jalil, semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda. Dan semoga Allah jadikan kemenangan dan peneguhan kekuasaan terealisasi melalui kedua tangan Anda, amin. Mohon maaf atas panjangnya pertanyaan.

Saudarimu Ummu Faqih Abdurrahman

 

Jawab:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Sebelum menjawab pertanyaan, baik kami jelaskan hal berikut:

Orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan mayit dalam ilmu waris dibagi menjadi tiga golongan:

  1. Ashhabul furudh, yaitu mereka yang memiliki bagian yang telah ditetapkan di dalam pewarisan yang dinyatakan oleh syara’.
  2. Al-‘ashabah dan mereka tidak memiliki bagian yang telah ditentukan dari warisan akan tetapi syara’ menyatakan atas mereka dengan mengambil sisa dari harta waris.
  3. Dzawu al-arham dan mereka adalah seluruh kerabat yang tidak termasuk ashhabul furudh dan ‘ashabah. Dan mereka ada sepuluh golongan: al-khâl (saudara laki-laki ibu) dan al-Khâlah (saudara perempuan ibu), kakek dari ibu, putera anak perempuan, putera saudara perempuan, puteri anak laki-laki, putri paman dari bapak (saudara laki-laki bapak), bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu), paman ibu, putera saudara laki-laki seibu dan siapa yang bertaut kepada salah seorang dari mereka.

Tidak ada perbedaan pendapat di antara kaum Muslim bahwa ashhabul furudh dan ashabah mewarisi karena dalil-dalil yang ada menyatakan hal itu dengan jelas. Ayat-ayat waris dan hadits-hadits shahih merupakan dalil-dalil yang jelas bahwa mereka mewarisi… Adapun dzawu al-arham maka di situ terjadi perbedaan pendapat dalam hal pewarisan mereka pada masa sahabat, tabi’un dan tabi’u at-tabi’un dan para fukaha setelah mereka…

Di antara sahabat yang mengatakan pewarisan mereka adalah Ibn Mas’ud, Ibn Abbas dalam riwayat yang paling masyhur dari beliau… Dan diantara tabi’un yang berpendapat demikian adalah Syuraih, al-Hasan al-Bashriy…

Dan di antara sahabat yang berpendapat tidak adanya pewarisan dzawu al-arham adalah Zaid bin Tsabit, Ibn Abbas dalam salah satu riwayat dari beliau… Dan di antara tabi’un adalah Sa’id bin al-Musayyab dan Sa’id bin Jubair…

Imam asy-Syafi’iy berpendapat bahwa tidak ada pewarisan untuk mereka dan bahwa Baitul Mal lebih utama dari mereka… Sementara Abu Hanifah berkata: dzawu al-arham lebih utama dari Baitul Mal…

 

Begitulah, jadi masalah tersebut bersifat khilafiyah. Dan saya menjawab pertanyaan Anda sesuai yang lebih rajih menurut kami:

  1. Benar, bahwa Hizb mentabanni pendapat yang mengatakan tidak adanya pewarisan dzawu al-arham ketika tidak ada ashhabul furudh dan ashabah. Hal itu tampak dari nas yang Anda nukilkan dari bukual-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah. Dan yang lebih jelas ada di buku Nizham al-Ijtimâ’iy pada judul: Shilatu al-Arham” yaitu:

(Dan Islam telah menjadikan kerabat itu dua bagian: Pertama, kerabat yang bisa mewarisi seseorang jika ia meninggal. Kedua, ulu al-arham. Adapun orang-orang yang memiliki hak pewarisan maka mereka adalah ashhabul furudh dan ashabah. Adapun dzawu al-arham maka mereka adalah selain ashhabul furudh dan ashabah, dan mereka tidak punya bagian di dalam pewarisan dan mereka bukan pula ashabah. Mereka adalah sepuluh golongan: saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu, kakek dari pihak ibu, putera anak perempuan, putera saudara perempuan, puteri saudara laki-laki, puteri saudara laki-laki bapak, saudara perempuan bapak, pamannya ibu, putera saudara laki-laki seibu dan siapa yang bertaut dengan salah seorang dari mereka. Dan mereka itu, Allah tidak menjadikan untuk mereka bagian dalam waris seseorang sama sekali.) selesai. Jadi kami mentabanni pendapat ini karena kerajihan dalil-dalil itu menurut kami.

  1. Maka jika seseorang mati dan tidak ada pewaris untuknya dari kalangan ashhabul furudh dan ashabah, maka warisannya menjadi hak Baitul Mal kaum Muslim. Artinya Baitul Mal kaum Muslim adalah pewarisnya. Dalil atas hal itu adalah:
  • Al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak dan ia berkata: hadits shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim meski keduanya tidak mentakhrijnya: dari Rasyid bin Sa’din dari Abu Amir al-Hawzani dari al-Miqdam al-Kindi ra. ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«أَنَا مَوْلَى مَنْ لَا مَوْلَى لَهُ أَرِثُ مَالَهُ…»

“Aku adalah mawla orang yang tidak punya mawla dan aku mewarisi hartanya …”

 

  • Ibnu Hibban telah mengeluarkan di dalam Shahih-nya dari Rasyid bin Sa’din dari Abi Amir al-Hawzani dari al-Miqdam dari Rasulullah saw beliau bersabda:

«مَنْ تَرَكَ كَلًّا فَإِلَيْنَا، وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ، وَأَنَا وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ…»

“Siapa yang meninggalkan kallan (orang terlantar) maka kepada kami dan siapa yang meninggalkan harta maka untuk ahli warisnya dan aku adalah pewaris orang yang tidak punya pewaris…”

 

  • Ibnu Majah telah mengeluarkan di dalam Sunan-nya dari Rasyid bin Sa’din dari Abu Amir al-Hawzani dari al-Miqdam asy-Syami ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«أَنَا وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ، أَعْقِلُ عَنْهُ وَأَرِثُهُ»

“Aku adalah pewaris orang yang tidak punya pewaris, aku menanggungnya dan mewarisinya …”

 

Hadits-hadits ini gamblang dan jelas dalalahnya bahwa seseorang jika ia mati dan tidak punya pewaris maka pewarisnya adalah Rasul saw. Sebab Rasul saw adalah wali orang-orang beriman seluruhnya dan mawla orang yang tidak punya mawla. Dan setelah beliau perwalian itu beralih kepada khalifah. Dan akhirnya Khalifah menjadi wali orang-orang yang beriman seluruhnya dan menjadi mawla orang yang tidak punya mawla, serta menjadi pewaris orang yang tidak punya pewaris. Dan pewarisan Khalifah itu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk Baitul Mal kaum Muslim. Dan dengan begitu warisan orang yang tidak punya pewaris beralih dari kepemilikan pribadi menjadi kepemilikan negara dan diletakkan di Baitul Mal, di Diwan al-Fay’I dan al-Kharaj. Khalifah mentasharrufnya sesuai pandangannya dalam kemaslahatan-kemaslahatan kaum Muslim.

  1. Adapun kenapa Hizb mentabanni bahwa dzawu al-arham tidak mewarisi, maka hal itu sebab dalil-dalil waris dari al-Kitab dan as-Sunnah telah datang merinci dan menjelaskan hukum-hukum waris dan siapa yang berhak atasnya, dan mereka adalah:
  • Ashhabul furudh. Diantara dalil-dalil tersebut adalah firman Allah SWT:

﴿يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْن…﴾

Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya…. (TQS an-Nisa’[4]: 11)

 

  • Dan ‘ashabah, di antara dalil ini adalah hadits yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas ra., ia berkata: Nabi saw bersabda:

«أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ فَلِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ» 

“Berikanlah faraidh kepada yang berhak (ashhabul furudh) dan apa yang tersisa maka untuk laki-laki yang paling utama.”

 

Yakni kepada pewaris yang terdekat dari kalangan ‘ashabah. Di dalam Fathu al-Bari dikatakan: (al-Khaththabi berkata: makna laki-laki terdekat dari kalangan ‘ashabah. Ibn Baththal berkata: yang dimaksud dengan laki-laki yang paling utama adalah bahwa laki-laki dari kalangan ‘ashabah setelah ahlu al-furudh jika di antara mereka adalah orang yang lebih dekat kepada si mayit maka ia berhak atas sisa, dan orang yang lebih jauh tidak. Jika sama dekatnya maka mereka berserikat… )

Tidak dinyatakan dalil yang menjadikan dzawu al-arham memiliki bagian dari harta waris. Nabi saw telah menegaskan makna ini di dalam hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Abu Umamah al-Bahili, ia berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda pada khutbah beliau pada tahun haji Wada’:

«إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ»

“Sesungguhnya Allah SWT telah memberi setiap orang yang berhak haknya dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.”

 

Hadits ini beliau ucapkan di dalam khutbah Haji Wada’, dan itu adalah yang terahir kali Nabi saw berbicara tentangnya sebelum beliau wafat, dan itu tentang topik waris. Dari situ jelas bahwa yang berhak atas harta waris adalah orang yang dijadikan oleh Allah SWT memiliki hak di dalam waris sesuai apa yang ada di kitabullah SWT dan apa yang ada di dalam sunnah Rasulullah saw. Mereka adalahashhabul furudh dan ‘ashabah. Dan dzawu al-arham tidak masuk di dalamnya di mana Allah tidak menjadikan untuk mereka bagian dari harta waris.

 

  1. Adapun apa yang ada di dalam pertanyaan berupa riwayat-riwayat bahwa dzawu al-arham memiliki hak di dalam waris, maka itu tidak demikian halnya. Dan kami akan paparkan sebagai berikut:
  2. At-Tirmidzi meriwayatkan di dalam Sunan-nya dari Abu Umamah bin Sahal bin Hunaif ia berkata: Umar bin al-Khaththab menulis surat bersamaku kepada Abu Ubaidah: bahwa Rasulullah saw bersabda:

«اللَّهُ وَرَسُولُهُ مَوْلَى مَنْ لَا مَوْلَى لَهُ، وَالخَالُ وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ»

“Allah dan Rasul-Nya adalah mawla orang yang tidak punya mawla dan al-khâl (saudara laki-laki ibu) adalah pewaris orang yang tidak punya pewaris.”

 

Akan tetapi ada riwayat lain yang menjelaskan illat. Abu Dawud telah meriwayatkan di dalam Sunan-nya dari al-Miqdam, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«مَنْ تَرَكَ كَلًّا فَإِلَيَّ» وَرُبَّمَا قَالَ:«إِلَى اللَّهِ وَإِلَى رَسُولِهِ، وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ، وَأَنَا وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ، أَعْقِلُ لَهُ وَأَرِثُهُ، وَالْخَالُ وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ، يَعْقِلُ عَنْهُ وَيَرِثُهُ

“Siapa saja yang meninggalkan kallan (orang terlantar) maka kepadaku” dan mungkin beliau bersabda: “kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, dan siapa saja yang meninggalkan harta maka untuk ahli warisnya, dan aku adalah pewaris orang yang tidak punya pewaris, aku menanggungnya dan mewarisinya, dan al-khâl(saudara laki-laki ibu) adalah pewaris orang yang tidak punya pewaris, ia menanggungnya dan mewarisinya.”

 

Dengan menghimpun (mempertemukan) di antara dua hadits ini menjadi jelas bahwa al-khâl (saudara laki-laki ibu) yang dimaksud di sini adalah yang “menanggungnya –ya’qilu ‘anhu– yakni yang menjadi‘âqilah-nya. (Dan al-‘âqilah mereka adalah ‘ashabah saja, sedangkan selain mereka dari saudara laki-laki ibu dan seluruh dzawu al-arham, suami dan semua orang selain ‘ashabah maka mereka bukan termasukal-‘âqilah. Dan al-‘âqilah adalah ‘ashabah laki—laki. Mereka adalah saudara-saudara laki-lakinya, paman-pamannya dari pihak bapak dan anak-anak mereka dan seterusnya ke bawah… Dan mereka adalah orang-orang yang membayar diyat pembunuhan yang keliru (qatlu al-khatha’) dimana diyat itu hanya dibayar oleh al-‘âqilah saja. Dan ‘âqilah-nya seorang laki-laki adalah keluarganya: saudara-saudara laki-lakinya, paman-pamannya dari pihak bapak dan anak-anak paman itu hingga kakek ketiga…) Nizhâm al-‘Uqûbât bab siapa yang membayar diyat.

Atas dasar itu maka al-khâl (saudara laki-laki ibu) yang dimaksud di dalam hadits tersebut adalah yang termasuk ‘ashabah, sepertinya laki-laki itu menikahi puteri pamannya dari pihak bapak sehingga al-khâldari anaknya adalah putera pamannya dari pihak bapak, yakni dia termasuk ‘ashabah dan bukan hanyadzawu al-arham saja. Jadi hadits tersebut menunjukkan bahwa siapa yang mati dan tidak ada pewaris dariashhabul furudh dan ia punya al-khâl diantara ‘ashabahnya maka al-khâl itu mewarisi, dan ‘ashabahmewarisi dalam kondisi ini tidak ada perbedaan pendapat tentangnya.

  1. Di dalam Sunan Sa’id bin Manshur dan di Kanzu al-‘Umal dari Muhammad bin Yahya bin Hibban dari saudara laki-laki bapaknya Wasi’ bin Hibban, ia berkata:

«توفى ثابت بن الدحداحة ولم يدع وارثا ولا عصبة فرفع شأنه إلى رسول الله فسأل عنه عاصم بن عدىهل ترك من أحد فقال يا رسول الله ما ترك أحدا فدفع رسول الله ماله إلى ابن أخته أبى لبابة بن عبد المنذر» 

“Tsabit bin ad-Dahdah meninggal dan ia tidak meninggalkan pewaris dan tidak pula ‘ashabah, maka perkaranya disampaikan kepada Rasulullah saw. Lalu Beliau bertanya tentangnya kepada ‘Ashim bin Adiapakah ia meninggalkan seseorang, maka ‘Ashim berkata: ya Rasulullah ia tidak meninggalkan seorang pun. Maka Rasulullah saw menyerahkan hartanya kepada putera saudara perempuannya yakni Abu Lubabah bin Abdu al-Mundzir.”

As-Suyuthi berkata di Jâmi’ al-Hadîts: “sanadnya shahih”. Maka jelas dari riwayat ini bahwa Tsabit bin ad-Dahdah tidak meninggalkan pewaris dan tidak pula ‘ashabah, artinya ia tidak meninggalkan orang yang berhak untuk harta warisnya. Nabi saw menyerahkan hartanya kepada putera saudara perempuannya, bukan karena Beliau memberikannya sebagai hak dalam waris. Jadi itu adalah tasharruf Nabi saw sebagai seorang imam lalu beliau memberikan harta tersebut kepada putera saudara perempuannya dengan apa yang dijadikan menjadi milik beliau saw berupa hak tasharruf terhadap harta tersebut. Jadi hadits ini merupakan dalil bahwa dzawu al-arham bukan termasuk orang yang memiliki hak dalam waris dan bukan merupakan dalil bahwa mereka (dzawu al-arham) adalah mewarisi. Dan ini jelas di awal riwayat tersebut: “dan ia tidak meninggalkan pewaris dan tidak pula ‘ashabah.”

Hal itu ditegaskan, bahwa Rasul saw ditanya tentang waris saudara perempuan bapak (al-‘ammah) dan saudara perempuan ibu (al-khâlah). Maka Beliau saw bersabda:

لاَ مِيْرَاثَ لَهُمَا»

“Tidak ada waris untuk keduanya”

 

Hadits tersebut lengkapnya: al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn dan ia berkata: “ini adalah hadits shahih sanadnya: dari Ibnu Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw menghadap ke seekor keledai lalu seorang laki-laki menemui beliau, laki-laki itu berkata: “ya Rasulullah seorang laki-laki meninggalkan saudara perempuan bapaknya (al-‘ammah) dan saudara perempuan ibunya (al-khâlah), tidak ada pewaris untuknya selain keduanya.” Ibu Umar berkata: “lalu Nabi saw mengangkat kepala beliau ke arah langit, lalu beliau bersabda: “ya Allah seorang laki-laki meninggalkan saudara perempuan bapaknya dan saudara perempuan ibunya dan tidak ada pewaris untuknya selain keduanya.” Kemudian beliau bertanya: “di mana orang yang bertanya tadi?” Orang itu berkata: “saya di sini.” Beliau bersabda: “tidak ada waris untuk keduanya.” Dan saudara perempuan bapak (al-‘ammah) dan saudara perempuan ibu (al-khâlah) termasuk ulu al-arham, meski demikian Rasul saw tidak menjadikan keduanya termasuk ahli waris.

  1. Akan tetapi, hadits Abu Lubabah menunjukkan bahwa si mayit jika tidak memiliki ahli waris dari kalangan ashhabul furudh dan tidak pula dari kalangan ‘ashabah maka khalifah memberikan dzawu al-arham dari harta peninggalan si mayit itu, semuanya atau sebagiannya. Jadi tidak merupakan kewajiban (fardhu) semua harta diletakkan di Baitul Mal jika si mayit punya dzawu al-arham. Ini tidak bertentangan dengan ucapan kami di al-Amwâl bahwa harta mayit menjadi hak Baitul Mal jika si mayit itu tidak punya ahli waris dari kalangan ashhabul furudh dan ‘ashabah. Hal itu karena khalifah adalah pihak yang berhak melakukan tasharruf terhadap harta-harta tersebut sesuai pandangannya yang termasuk kemaslahatan kaum Muslimin. Khalifah berhak memberikan harta peninggalan si mayit kepada kerabat (arham) si mayit itu jika tidak ada pewaris dari kalangan ashhabul furudh dan ‘ashabah. Jika tidak ada Baitul Mal kaum Muslim dikarenakan tidak adanya khalifah, maka harta si mayit yang tidak ada pewaris untuknya dari kalangan ashhabul furudh dan ‘ashabah itu, harta ini diserahkan kepada dzawu al-arham-nya. Mereka lebih berhak atas harta si mayit itu dari selain mereka ketika imam (khalifah) tidak ada.

Ini adalah yang lebih rajih dalam masalah pewarisan dzawu al-arham. Wallâh a’lam wa ahkam.

 

 

Saudaramu

 

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

20 Ramadhan 1436 H

7 Juli 2015 M

 

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_49161

Sumber : Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan: Pewarisan Dzawu al-Arham
Kepada Yuce ulfa

 

Tulisan terkait :

  1. Kasus Warisan Salim di Kitab Ajhizah Dawlah al-Khilâfah


Filed under: Ekonomi Tagged: waris

Perjanjian Nuklir Antara Iran dan Barat

$
0
0

Pertanyaan:

Dewan Keamanan PBB pada Senin, 20 Juli 2015 telah mengesahkan perjanjian nuklir yang ditandatangani final pada tanggal 14 Juli 2015 di Vienna Austria antara Iran dan kelompok negara 5+1. Penandatanganan final itu setelah diperpanjang dua kali dari tanggal yang ditetapkan sebelumnya 30 Juni 2015 sesuai Kesepakatan Kerangka Kerja (Framework Agreement) yang ditandatangani di Lausanne, Swiss pada 2 April 2015. Lalu apa muatan perjanjian itu? Apa hasil-hasil dan akibat-akibatnya terhadap situasi kawasan? Dan demi kepentingan siapakah perjanjian itu? Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda.

Jawab:

Supaya jawabannya menjadi jelas, maka harus dipaparkan pernyataan-pernyataan negara-negara berpengaruh dan sikap negara-negara itu:

  1. Pasca penandatanganan perjanjian tersebut di Vienna, presiden Amerika menyampaikan pidato televisi. Di dalamnya ia mengatakan: “Perjanjian tersebut memutus jalan apapun bagi Iran untuk sampai kepada senjata nuklir… Perjanjian tersebut menyatakan penghapusan dua pertiga fasilitas sentrifugal yang dibangun di Iran dan dibekukan di bawah pengawasan internasional, pelepasan 98% uranium yang telah diperkaya milik Iran dan penerimaan atas penjatuhan kembali sanksi-sanksi secara cepat jika terjadi pelanggaran apapun terhadap perjanjian tersebut, dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) diberi akses masuk secara kontinu untuk menginspeksi situs-situs dimana dan kapan saja hal itu dianggap penting.” (BBC, 14/7/2015)Menteri luar negeri John Kerry mengatakan, “Penerapan perjanjian nuklir dengan Iran akan terjadi dalam beberapa tahap, dimulai dalam waktu 90 hari setelah keluarnya resolusi internasional dari Dewan Keamanan PBB yang mendukung perjanjian itu. Dan jalannya beberapa point akan memakan waktu 15 tahun sementara point-point sisanya akan memakan waktu 25 tahun.” (Russia today, 14/7/2015)…Sekjen Organisasi Internasional –yang mencerminkan pandangan Amerika- mengatakan di dalam keterangannya, “Saya berharap dan yakin benar bahwa perjanjian ini akan mengantarkan kepada makin meningkatnya kesepahaman dan kerjasama seputar sejumlah tantangan keamanan berbahaya di Timur Tengah.” Ia menambahkan bahwa, “Berdasarkan hal semacam ini, maka perjanjian tersebut bisa menjadi semacam andil vital untuk perdamaian dan kestabilan di seluruh kawasan dan di luar kawasan.” (situs Elaph, 14/7/2015)
  2. Sedangkan Eropa, maka tiga bangsa Eropa yang ikut di dalam kelompok 6, yakni Perancis, Italia dan Jerman, dan bersama mereka seluruh orang Eropa, telah mendukung perjanjian tersebut. Representatif Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan (the High Representative of the Union for Foreign Affairs and Security Policy) Mogherini mengatakan, “Perjanjian tersebut merupakan peristiwa historis dan kesepakatan yang baik. Perjanjian tersebut menyatakan sifat damai program nuklir Iran dan tekad Iran untuk melakukan langkah-langkah yang menjamin Iran tidak melakukan penetilian-penelitian atau pengembangan program yang memungkinkannya sampai kepada senjata nuklir. Perjanjian itu tidak bersifat final, akan tetapi merupakan awal kerja untuk tahapan kerjasama antara Iran dan pihak-pihak internasional.” (Russia today, 14/7/2015)Presiden Perancis menyambut baik perjanjian nuklir yang ditandatangani antara Iran dengan negara-negara besar. Ia menyatakan dalam pidato televisi bertepatan dengan hari raya nasional: “Perjanjian yang kami tandatangani itu sangat penting dan dunia terus melangkah.”… Menteri luar negeri Inggris, Phillip Hammond, meneriakkan perjanjian tersebut sebagai “perjanjian historis” yang ditandatangani Selasa seputar program nuklir Iran. Ia menganggapnya “Menjadi perubahan penting dalam hubungan antara Iran dan negara-negara tetangga dan keluarga internasional…” (situs Elaph, 14/4/2015) …Menteri luar negeri Jerman, Frank-Walter Steinmeier, mengatakan: “Perjanjian tersebut akan ikut andil dalam menyebarkan keamanan di Timur Tengah.. Ini adalah perjanjian yang bertanggungjawab. Israel harus memperhatikannya dengan seksama dan tidak mengkritik perjanjian tersebut.” (Televisi ERD Jerman, 14/7/2015)
  3. Adapun Rusia dan China maka keduanya tidak mengajukan syarat-syarat dan tidak bersikap menghadang syarat-syarat B Mereka setuju terhadap semua yang terjadi: Rusia, Presiden Rusia Putin “bersukacita” oleh kontak telepon dari presiden Amerika pasca penandatanganan perjanjian final itu untuk memberikan beberapa ungkapan sebagai reaksi yang baik untuk sikap Rusia dan bahwa Rusia mendukung Amerika, bahkan Amerika mengambil persetujuan Rusia atas segala sesuatu sebelumnya dalam hal yang berkaitan dengan Iran dan program nuklirnya. Menteri luar negeri Amerika, John Kerry, dalam kunjungannya ke Rusia dan bertemu dengan presiden Rusia, Putin, dan sejawatnya Lavrov pada 12/5/2015 di Sochi Rusia menyatakan seraya mengisyaratkan kepada pembicaraan-pembicaraan yang berlangsung seputar perjanjian nuklir. John Kerry menyatakan, “Persatuan antara Moskow dan Washington dalam topik ini menjadi kunci untuk penandatanganan perjanjian final.” Karena itu, presiden Rusia Vladimir Putin menyambut baik perjanjian seputar program nuklir Iran tersebut. Ia mengatakan bahwa keluarga internasional menyambutnya “dengan kegembiraan yang besar” setelah perundingan-perundingan yang berlangsung selama bertahun-tahun… Dari pihaknya menteri luar negeri Rusia Sergey Lavrov di Vienna menjanjikan bahwa Rusia “Akan ikut andil dalam langkah-langkah aksi demi implementasi perjanjian tersebut.” (situs Elaph, 14/7/2015)Representasi China mengatakan, “Semuanya harus menunjukkan spirit positif dalam implementasi perjanjian nuklir tersebut. Hal itu sebagai isyarat bahwa implementasi perjanjian nuklir dengan Iran selama sepuluh tahun pertama punya nilai penting yang besar.” (situs al-Wifaaq, 20/7/2015) Demikian juga “Obama berterima kasih kepada China atas peran China dalam pembicaraan-pembicaraan dengan Iran.” (Al-Arabiya Satellite News Channel, 21/07/2015)
  4. Sedangkan Iran, kegembiraan Iran lebih dari yang bisa digambarkan! Iran lupa, bahkan pura-pura lupa, dengan setan besar dan setan kecil. Televisi Iran menyiarkan pidato presiden Amerika Obama yang disampaikan setelah perjanjian itu sebagai ucapan selamat atasnya. Dan itu adalah kali kedua selama 36 tahun dimana televisi Iran menyiarkan pidato presiden Amerika secara langsung. Perlu diketahui, bahwa hubungan diplomasi diantara Iran dan Amerika terputus sejak tahun 1980! Kemudian presiden Iran menyampaikan pidato beberapa menit setelah Obama. Ia menganggap perjanjian itu sebagai “titik tolak” untuk membangun kepercayaan antara Iran dan B Ia mengatakan, “jika perjanjian ini sempurna diimplementasikan dengan baik … akan memungkinkan kita menghilangkan ketidakpercayaan secara historis…” (situs Elaph, 14/7/2015)
  5. Begitulah, semua kekuatan internasional yang melakukan perundingan (grup 5+1) memandang perjanjian tersebut sebagai “aksi bersejarah”. Semuanya mengikuti Amerika dalam hal itu. Akan tetapi, dua pihak oposisi, hal itu bukan karena tidak berada dalam kepentingan Amerika, melainkan karena tujuan-tujuan lain. Kedua pihak itu adalah partai Republik di Amerika dan entitas Yahudi…
    • Adapun partai Republik, ia paham bahwa perjanjian tersebut adalah kepentingan Amerika secara spesifik. Akan tetapi seperti kebiasaan partai Republik, ia menyerang dengan sengit untuk menghalangi kesuksesan partai Demokrat dalam menisbatkan proyek vital yang spesifik untuk kepentingan Amerika, khususnya jika pemilu makin dekat. Masalah ini bukan hal baru. Kita ingat krisis sandera warga Amerika yang berlangsung dari 4/11/1979 hingga 20/1/1981. Dalam krisis itu, orang-orang Republik mengerahkan segenap daya upaya dalam menggagalkan upaya Carter, presiden Amerika dari partai Demokrat ketika itu, untuk menyelesaikan krisis sandera, kecuali penyelesaian itu terjadi pada masa Republiken, dan begitulah yang terjadi. Para pejabat senior di partai Republik menjalin kontak dengan para pejabat senior di pemerintahan Khomeini. Mereka sepakat menunda pelepasan sandera pada masa pemerintahan Carter dan menundanya sampai masa pemerintahan Reagen setelah berakhirnya pemilu presiden. Dan Iran pun mendapat persenjataan Amerika, pembukaan rekening simpanan Iran, disamping kesepakatan-kesepakatan lainnya… Dan hal itu benar-benar terjadi. Begitu Reagen menyampaikan sumpah jabatan Presiden pada 20/1/1981, sandera warga Amerika pun dilepaskan hanya 20 menit setelah sumpah itu dan mereka langsung diangkut ke Washington dengan pesawat dalam bebrapa jam. Para pendukung Reagen pun langsung membicarakan mukjizat ini. Mereka membicarakan berakhirnya krisis ini hanya dengan sampainya Reagen ke kursi presiden…!Sekarang masalahnya juga demikian, yaitu pertarungan pemilu dua partai tersebut. Masalahnya bukan perbedaan pendapat atas kepentingan Amerika. Kedua partai itu (partai Republik dan Demokrat) paham bahwa perjanjian nuklir itu merupakan keberhasilan untuk Amerika. Akan tetapi, orang-orang Republik tidak ingin orang-orang Demokrat berhasil dengan proyek vital yang bisa dinisbatkan kepada mereka, khususnya pemilu presiden telah makin dekat. Dari bab ini, ada oposisi dari Republik. Sudah diketahui bahwa Kongres yang dikuasai oleh orang-orang Republik menentang penandatanganan perjanjian tersebut karena hitung-hitungan kepartaian berkaitan dengan pemilu presiden yang akan diselenggarakan pada awal bulan November 2016. Partai Republik berusaha agar partai Demokrat yang direpresentasikan oleh pemerintahan saat ini pimpinan Obama, tidak bisa menonjolkan bahwa Demokrat meraih keberhasilan luar biasa yang memungkinkannya untuk memenangkan pemilu presiden. Obama paham hal itu. Karena itu, Obama mengancam memveto jika orang-orang Republik terus menentangnya sampai akhir dan menunda perjanjian tersebut di Kongres…
    • Adapun entitas Yahudi, tidak diragukan lagi entitas Yahudi paham bahwa dia tidak pernah memimpikan semisal perjanjian ini. Perjanjian itu membuat entitas Yahudi meninggalkan kawasan dengan kepemilikan senjata nuklir seorang diri tanpa pesaing… Akan tetapi, entitas Yahudi memperlihatkan penentangan karena tiga hal: Pertama, entitas Yahudi memprediksi partai Republik akan menang dalam pemilu presiden, sehingga entitas Yahudi mendukung Republik dalam kampanye pendahuluan untuk pemilu. Dan berikutnya entitas Yahudi akan mendapat “perlakuan khusus” oleh partai Republik ketika menang nanti… Kedua, entitas Yahudi mengharapkan Obama melakukan sesuatu untuk menyenangkan entitas Yahudi dikarenakan kebutuhan Demokrat kepada suara lobi Yahudi. Jadi penentangan itu menjadi alat untuk memeras … Ketiga, dan ini yang paling penting, adalah bahwa entitas Yahudi paham bahwa penguasa Iran dan penguasa di negeri kaum Muslim lainnya yang melalaikan hak-hak umat dan senjata mereka tidak akan berlangsung panjang. Kemudian tidak akan tertunda hari dimana umat Islam kembali kepada agamanya dan para ilmuwan umat kembali bangkit dengan industri vitalnya … Entitas Yahudi paham hal itu. Karena itu entitas Yahudi memperlihatkan bahwa perjanjian ini belum cukup untuk menyiapkan tekanan-tekanan guna mengarah pada penangkapan ilmuwan atom di negeri kaum Muslim setelah penangkapan isu senjata nuklir di Iran dan negeri kaum muslim lainnya…
      Karena sebab itulah, entitas Yahudi menampakkan penentangannya. Dan jika tidak, entitas Yahudi paham bahwa orang-orang partai Republik dan Demokrat berjanji membangun keamanan entitas Yahudi. Entitas Yahudi juga paham bahwa ia tidak bisa melepaskan diri dari naungan Amerika untuk menjaga keamanannya. Entitas Yahudi tidak bisa tegak kecuali dengan tali dari Allah dan tali dari manusia. Mereka telah memutus tali dari Allah sejak masa yang lama. Dan sekarang, mereka berpegang dengan tali dari manusia. Keamanan mereka tegak di atas faktor eksternal. Perjanjian semisal ini merupakan salah satu pilar dalam menjaga keamanan mereka. Maka penentangan mereka kepada perjanjian tersebut tidaklah riil. Karena itu Carter menteri pertahanan Obama –pada waktu Netanyahu menentang Obama- mendapat penyambutan besar di negara Yahudi. Dan ia mengatakan, “Israel merupakan penopang politik kami di Timur Tengah. Dan kami tidak akan pernah mentolerir Teheran sampai pada senjata nuklir. Kami berkomitmen dengan keamanan dan pembelaan terhadap sekutu kami di kawasan.” (Occupied Quds, Quds Net for news agency, 20/07/2015)
  1. Dari pernyataan-pernyataan dan sikap-sikap ini maka jelaslah hal-hal berikut:
    1. Ada perhatian yang besar dari pemerintahan Amerika atas penandatanganan perjanjian tersebut! Pemerintah Amerika memperlakukannya seolah itu merupakan agenda utamanya dan bukan agenda utama Iran atau Eropa atau negara lain manapun… Presiden Amerika memenej perundingan-perundingan itu dari jauh, dan dengan kontak langsung dan perhaitan yang besar atas diikatnya perjanjian itu. Menteri luar negeri AS sibuk selama tiga minggu terakhir berturut-turut, selain kontak-kontak sebelumnya. Hal itu menunjukkan sejauh mana pentingnya perjanjian ini untuk Amerika dan sejauh mana kepentingan Amerika dan kepentingan pemerintah Obama. Perjanjian itu mengikat Iran untuk puluhan tahun dan yang paling jauh dari membuat senjata nuklir apapun. Sebelumnya telah ada pernyataan-pernyataan presiden Amerika dan pejabat-pejabat Amerika lainnya tentang pentingnya peran strategis Iran di kawasan dan kesiapan Amerika untuk berkerja bersama Iran, bahkan kerja bersama Iran itu sudah benar-benar tampak. Juga ada pernyataan-pernyataan para pejabat Iran yang mengumumkan kerjasama mereka dengan Amerika di Irak dan Afganistan serta kesiapan mereka untuk bekerja bersama AS dalam memerangi terorisme dan radikalisme. Fakta riil menunjukkan adanya persetujuan Amerika secara implisit terhadap apa yang dilakukan oleh Iran dan partainya di Suria, demikian juga apa yang terjadi di Yaman dimana Amerika memberi Iran peran penting untuk mendukung Houthiy dengan senjata dan peralatan agar bisa memainkan peran di sana hingga Amerika bisa meluaskan pengaruh di Yaman… Jika kita kaitkan semua itu dengan perjanjian ini, maka semuanya itu menunjukkan bahwa Amerika di balik perjanjian ini bertujuan untuk mempermudah berbagai perkara bagi Iran, dengan jalan mencabut sanksi-sanksi dan membangun hubungan-hubungan secara terbuka dengan Iran. Sehingga Iran terus memainkan peran yang bisa mempermudah Amerika menjalankan aksinya, meringankan beban Amerika dam menutupi aib-aib Amerika terhadap negara-negara dan bangsa-bangsa di kawasan. Maka secara riil Iran menjalankan politik Amerika seperti yang terjadi di Irak, Suria dan Yaman. Akan tetapi, nantinya Iran tidak lagi menjalankannya dari balik tabir tebal yang menutupi pandangan, tetapi Iran akan menjalankannya dari balik tabir tipis atau bahkan tanpa tabir!
    2. Dari sisi yang lain, bisa diperhatikan bahwa tiga negara Eropa termarjinalisasi dalam perundingan-perundingan! Apa yang terjadi hampir-hampir merupakan pengaturan-pengaturan yang disiapkan oleh Amerika bersama Iran seputar pencabutan sanksi-sanksi dan perjanjian nuklir serta pengaktifan Iran dalam melayani proyek-proyek Amerika di kawasan. Tidak diragukan lagi bahwa Eropa memahami hal itu. Kebanyakan pertemuan-pertemuan rahasia, bahkan yang terbuka dan menentukan, terjadi antara representasi Amerika dan Iran… Begitulah, tampak jelas bagi Eropa bahwa perjanjian yang telah disiapkan oleh Amerika akan dijadikan sandaran. Karena itu, penentangan Eropa khususnya Perancis pun berkurang dan terjadilah perjanjian itu … Eropa berpandangan untuk bisa mendapat sesuatu dari perjanjian ala Amerika ini, khususnya dari pencabutan sanksi-sanksi terhadap Iran. Negara-negara Eropa itu pun terdorong ke arena Iran. Maka Inggris mengumumkan akan membuka kedutaannya di Iran… Perancis mengumumkan bahwa menteri luar negerinya akan berkunjung ke Teheran… Perusahaan-perusahaan Jerman bersiap untuk bergerak langsung ke arah Iran, bahkan sejak lama perusahaan-perusahaan Jerman telah merancang program masa depan di Iran dan proyek-proyek yang akan dijalankannya di Iran. Hal itu tampak dari media massa-media massa Jerman. Seolah-olah sejak beberapa waktu Jerman percaya bahwa perjanjian akan ditandatangani dan mereka merasa bahwa Iran akan memberikan konsesi-konsesi dan mereka paham bahwa itu tergadai pada isyarat Amerika… Begitulah, tidak tersisa apa-apa bagi orang-orang Eropa. Mereka paham bahwa mereka tidak bisa menghalangi perjanjian nuklir Amerika Iran, atau berpengaruh pada pengaruh Amerika. Tidak tersisa lagi bagi orang-orang Eropa kecuali bergerak ke arah Iran untuk mendapatkan pampasan dengan meraih investasi-investasi dan proyek-proyek di Iran di mana Eropa sedang mengalami tekanan finansial. Dengan itu, mereka bisa bekerja di dalam Iran dalam jangka panjang untuk mengembalikan pengaruh Eropa atau sebagiannya di sana, di samping pengaruh Amerika…
    3. Adapun Rusia dan China, mereka tidak berambisi memiliki pengaruh di Iran… Dan agar Amerika mempermudah hubungan-hubungan perdagangan mereka dengan Iran melalui pencabutan sanksi-sanksi, maka hal itu sudah cukup bagi mereka. Dan jika ditambah, seperti yang kami sebutkan, dengan kontak terima kasih dari Obama atas tidak adanya penentangan mereka terhadap perjanjian tersebut, maka hal itu bagi mereka merupakan perkara yang baik!
    4. Sedangkan Iran, maka semua perhatiannya adalah pencabutan sanksi-sanksi dari Iran dan tampilnya Iran dengan penampilan pihak yang menang hingga meskipun dari mereka dilucuti senjata kemuliaan untuk Islam dan kaum Muslim. Dan hingga seandainya imbalannya adalah implementasi yang makin cepat dan meningkat untuk proyek-proyek Amerika di kawasan lebih dari yang dilakukan oleh Iran sekarang! Iran menampakkan suka citanya dengan perjanjian tersebut dan dukungan atasnya pada level resmi dan publik sebab perjanjian itu menghapus sanksi-sanksi dan sebaliknya mereka diam dari imbalan atas hal itu… Presiden Iran Hassan Rouhani melalui televisi Iran menyampaikan pidato segera setelah penandatangan perjanjian tersebut. Akan tetapi ia menunggu sampai presiden Amerika selesai menyampaikan pidatonya! Rouhani memuji perjanjian tersebut dan bahwa perjanjian itu merealisasi ambisi Iran. Ia mengatakan, “Semua sanksi yang dijatuhkan terhadap Iran akan hilang pada hari dimana perjanjian itu masuk tahap impelentasi…”Kompensasi terhadap pencabutan sanksi-sanksi itu adalah pemberian konsesi-konsesi yang tidak akan diterima oleh rezim yang bebas, apalagi oleh rezim yang mengangkat syiar-syiar Islam. Orang berakal siapapun yang memperhatikan dengan seksama pemberian konsesi-konsesi itu akan sangat terguncang karena kengeriannya. LamanRussia Today menyiarkan pasca deklarasi perjanjian tersebut pada 14/7/2015 point-point terpenting perjanjian itu, diantaranya:Penjatuhan batasan-batasan terhadap program nuklir Iran dalam jangka panjang bersamaan dengan dilanjutkannya pengayaan uranium pada kadar 3,67%… Pengurangan jumlah fasilitas sentrifugal sebanyak dua pertiganya menjadi 5.060 sentrifugal… Pembekuan 98% uranium yang telah diperkaya … Tidak ada ekspor energi atom pada tahun-tahun mendatang. Tidak ada pembangunan reaktor yang bekerja dengan air berat dan tidak boleh ada pemindahan material dari satu fasilitas ke fasilitas lainnya selama 15 tahun… Pemberian ijin kepada inspektor IAEA untuk semua situs yang dicurigai termasuk situs-situs militer akan tetapi setelah berdiskusi dengan Teheran… Dilanjutkannya larangan impor senjata lima tahun tambahan dan delapan tahun untuk rudal balistik… Pembukaan rekening dan aset Iran miliaran dolar yang dibekukan … Pencabutan sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh Eropa dan Amerika Serikat dari Iran… Laman Russia Today menambahkan bahwa Iran dengan Badan Internasional menandatangani sebuah Road Map, diantaranya di dalamnya dinyatakan:Dilanjutkannya batasan-batasan yang dijatuhkan terhadap Iran dalam bidang nuklir untuk 8 tahun… Iran dilarang melakukan penelitian-penelitian terkait solusi energi nuklir selama 15 tahun… Cadangan uranium yang telah diperkaya pada level rendah milik Iran tidak boleh lebih dari 300 kilogram selama 15 tahun… Iran berkomitmen hingga 15 Oktober untuk menjelaskan masalah-masalah yang punya orientasi militer yang dimungkinkan dalam dialog-dialog dengan IAEA.

      Kantor berita Persia Iran pada 14 Juli 2015 mengatakan “Bahwa outline perjanjian itu menyatakan atas penginspeksian semua situs-situs Iran termasuk situs-situs militer dan sekali kunjungan ke situs militer Barshin.”

      Hal itu ditambah apa yang ada dalam pidato Obama setelah perjanjian tersebut: “… penerimaan kembali sanksi-sanksi secara cepat jika terjadi pelanggaran apapun atas perjanjian itu…”

Sungguh, siapa saja yang mencermati konsesi-konsesi ini akan sangat terguncang karena kengeriannya, seperti yang telah kami katakan sebelumnya… Yang aneh dan ajaib bahwa rezim Iran mempropagandakan pemberian konsesi-konsesi ini sebagai kemenangan! Ada orang-orang yang berbuat salah tetapi mereka mengakui kesalahan-kesalahannya, kemudian menyelesaikannya atau berusaha menyelesaikannya. Mereka termasuk orang-orang yang bisa memahami kesalahan dan keluar dari kesalahan itu. Akan tetapi orang yang berjalan ke arah bencana mengerikan pada masa depan umat secara sengaja dan penuh kesengajaan lalu menilainya sebagai kemenangan dan kesuksesan, maka hal itu merupakan kegelapan yang mematikan. Kegelapan mematikan itu sedikit bisa diterangi dengan cahaya yang mulai tampak dari sebagian orang yang paham di Iran yang tidak bisa diperdaya dengan propaganda palsu itu. Mereka memandangnya sebagai kekalahan. Situs Rajaa di Iran mengkritisi perjanjian itu. Situs itu mengatakan, “Sungguh perjanjian itu bukanlah kemenangan, melainkan kekalahan, sebab menutup sebagian besar teknologi nuklir Iran.” (situs Elaph, 14/7)… Hingga Khamenei pun juga paham bahwa senjata propaganda kemenangan merepresentasikan senjata kekalahan, khususnya setelah televisi Iran menyiarkan pidato Obama sebelum pidato presiden Iran! Maka “pemimpin spiritual revolusi” itu berusaha memperbaiki kerugian itu dengan menggambarkan Amerika sebagai arogan… dan bahwa politiknya berbeda dengan politik Amerika… dan bahwa ia tidak akan bernegosiasi dengan Amerika… akan tetapi kapan?! Setelah ia kenyang dengan perundingan… dan setelah proyek nuklir Amerika membuat Iran sekarat… hingga sanksi-sanksi dicabut dan harta dilepaskan yang coba digunakan oleh rezim untuk menjustifikasi pemberian konsesi-konsesi ini, padahal keduanya tidak bisa menjadi hujjah. Dan hal itu diulang-ulang dalam pidato Rouhani: “Sanksi-sanksi itu telah menyebabkan banyak persoalan di masyarakat Iran.” (22/6/2015) “Ia mengulanginya sekali lagi dalam pidato yang ia sampaikan pasca penandatanganan perjanjian tersebut dan disiarkan oleh televisi Iran. Ia mengatakan, “Sanksi-sanksi itu meninggalkan pengaruh terhadap bangsa Iran.” (14/7/2015)… Semua itu dari sisi tipudaya, sebab pengaruh sanksi-sanksi itu tidak bisa dihapus dengan pemberian konsesi-konsesi menghinakan. Akan tetapi pengaruh sanksi-sanksi itu bisa dihapus dengan penerapan hukum-hukum Islam secara benar dan ikhlas khususnya sistem ekonomi dalam hal hukum-hukum kepemilikan umum dan kepemilikan negara, diterapkan oleh orang yang memenuhi apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, sehingga ia memperbagus pemanfaatan kekayaan besar di Iran, di dalam bumi dan dipermukaannya. Sistem itu tertuang di dalam kitabullah dan sunnah Rasul-Nya saw, dipahami oleh siapa saja yang punya hati atau bisa mendengar dan ia menyaksikan… Semua itu menghidupkan manusia dan membangkitkan mereka dari kesempitan hidup. Dan pengaruh sanksi-sanksi itu akan kembali kepada pembuatnya, bukan kepada pihak yang menjadi sasarannya. Adapun pelepasan harta, seandainya dihitung biaya senjata yang dilepaskan oleh Iran sebagai kompensasi harta itu, niscaya perbedaannya besar! Lalu bagaimana jika ditambah lagi dengan kerugian nilai moral yang diderita oleh umat dengan dilucutinya bagian penting dari senjata umat?!

Begitulah, seharusnya sanksi-sanksi itu diatasi, dan bukan dengan pemberian konsesi-konsesi menghinakan…

﴿إِنَّ فِي هَذَا لَبَلَاغًا لِقَوْمٍ عَابِدِينَ ﴾

“Sesungguhnya (apa yang disebutkan) dalam (surat) ini, benar-benar menjadi peringatan bagi kaum yang menyembah (Allah).” (TQS al-Anbiya’ [21]: 106)

 

 

6 syawal 1436 H

22 Juli 2015 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_49648

http://hizb-ut-tahrir.org/index.php/AR/tshow/2947


Filed under: Politik Tagged: Iran

Bisakah Hukum Bughât Diterapkan Saat Ini?

$
0
0

Soal:

Bagaimana sesungguhnya fakta “bughat” dalam khazanah fikih Islam? Bisakah fakta tersebut diberlakukan kepada siapa saja yang dianggap menentang penguasa Muslim?

Jawab:

Dalam kitab-kitab fikih “bughat” didefinisikan:

خُرُوْجُ جَمَاعَةٍ مِنَ المُسْلِمِيْنَ لَهَا مَنَعَةٌ وَقَوَّةٌ عَلَى أَمِيْرِ المُؤْمِنِيْنَ تُرِيْدُ خَلْعُهُ

Keluarnya jamaah kaum Muslim yang mempunyai kekuatan dan kemampuan bertahan untuk melawan Amir Mukminin (Khalifah) yang bertujuan untuk menggulingkannya. 1

Dari definisi ini bisa ditarik kesimpulan, bahwa tidak semua orang yang membangkang terhadap penguasa Muslim bisa disebut “bughat”. Karena itu para fuqaha’ menetapkan sejumlah persyaratan agar orang yang membangkang terhadap penguasa Muslim itu bisa disebut “bughat”. Pertama: Mereka harus Muslim. Jika mereka bukan Muslim, misalnya Ahli Dzimmah, kemudian mereka membangkang, atau terlibat dengan kaum Muslim dalam melakukan pembangkangan, maka dzimmah mereka batal. Dengan batalnya dzimmah mereka, maka status mereka berubah, dari Ahli Dzimmah menjadi Ahl al-Harb. Darah dan hartnya pun halal bagi kaum Muslim.

Kedua: Mereka harus mempunyai argumentasi yang bisa diterima, apapun bentuknya. Namun, argumentasi tersebut tidak bersifat qath’i, bahwa Amir Mukminin (Khalifah) memang tidak layak memimpin kaum Muslim.

Ketiga: Mereka mempunyai kekuatan yang bisa digunakan untuk melebarkan kekuasaan mereka di suatu negeri, kampung atau kawasan.

Keempat: Mereka mempunyai kepemimpinan yang bisa diajak berunding. Jika mereka tidak mempunyai pemimpin yang bisa diajak berunding, maka status mereka adalah pemberontak yang melakukan kerusakan di muka bumi.

Kelima: Amir Mukminin (Khalifah) yang hendak dibangkang adalah Muslim yang telah dibaiat oleh rakyat untuk menjadi Amir Mukminin (Khalifah) dan umat Islam pun sepakat dengan itu.2

Ibn Qudamah menjelaskan, mengapa syarat “bughat” harus Muslim? Mengapa pula status “bughat”-nya tidak mengeluarkannya dari Islam? Jawabannya, karena hukum asal pembahasan “bughat” diambil dari firman Allah SWT:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَأَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا، فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى فَقَاتِلُوْا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتَّى تَفِيْءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ

Jika ada dua kelompok orang Mukmin saling berperang maka damaikanlah mereka. Jika salah satunya telah membangkang terhadap yang lain maka perangilah yang membangkang hingga kembali pada perintah Allah(QS al-Hujurat [49]: 9].

Dengan tegas Allah menyebutkan, “Wa in thâ’ifatâni min al-Mu’minîn (Jika ada dua kelompok orang Mukmin saling berperang).” Lalu “Fa’in baghat ihdâhumâ (Jika salah satunya membangkang).”; juga“Faqâtilû al-lati tabghî (maka perangilah yang membangkang).”

Dari kata “baghat” dan “tabghî” inilah asal pembahasan “bughat” ini diambil. Meski akhirnya mereka diperangi, Allah tidak pernah menyebut mereka kafir, atau murtad. Itu artinya, status “bughat” ini masih Muslim.3

Perintah memerangi mereka memang diwajibkan jika penguasa yang dibangkang adalah Amir Mukminin (Khalifah) yang sah, yang dibaiat untuk menjalankan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw. Allah SWT berfirman:

ياَ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِي الأمْرِ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah serta penguasa (Amir Mukminin) di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Dari Ubadah bin Shamit, “Kami telah membaiat Rasulullah saw. untuk mendengar dan taat, baik ketika susah maupun senang. Kami juga tidak akan merampas urusan tersebut dari pemiliknya.” (HR Muslim).

Baiat yang diberikan kepada Nabi saw. dalam konteks ini bukan baiat untuk kenabian dan kerasulan, tetapi baiat untuk kekuasaan. Ubadah bin Shamit membaiat Nabi saw. dalam kapasitas beliau sebagai kepala Negara Islam. Selain itu juga Ijmak Sahabat baik ketika Abu Bakar memerangi mereka yang menolak membayar zakat maupun ketika ‘Ali bin Abi Thalib menundukkan pasukan Jamal, Shiffin dan Nahrawan.4

Jika yang dibangkang bukan Amir Mukminin yang dibaiat untuk menjalankan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw. maka hukum “bughat” tidak bisa diberlakukan. Apalagi secara qath’i penguasa tersebut menerapkan sistem kufur, maka hukum “bughat” tidak bisa digunakan. Pengunaan hukum “bughat” dalam konteks seperti ini jelas menyalahi fakta “bughat” dan bertentangan dengan hukum Islam.

Selain itu, para penguasa kaum Muslim saat ini yang telah menerapkan dan mempertahankan sistem kufur telah menjadi pangkal kekufuran (ra’s al-kufr) yang merajalela di tengah masyarakat. Adapun hukum menghilangkan kekufuran ini tidak ada syubhat di kalangan a’immah (para imam mazhab) maupun umat. Ini dikuatkan oleh firman Allah dalam QS al-Hujurat ayat 9 yang menyatakan, “…hatta tafi’a ila amri-Llâh” (…hingga kembali kepada perintah Allah). Ini merupakan “ghayah” (batas) yang dinyatakan dengan kata “hatta” (hingga/sampai). Dari sini bisa diambil Mafhum Mukhalafah-nya, “Jika mereka telah kembali pada perintah Allah maka tidak boleh lagi diperangi dan dianggap bughat”.5

Dari nash di atas juga bisa diambil kesimpulan, bahwa penguasa yang dibangkang itu sebelumnya menerapkan hukum Islam sehingga kelompok yang membangkang (bughat) dari ketaatan kepada dia dianggap melanggar perintah Allah, kemudian diperangi sampai kembali pada perintah Allah. Ketika sudah kembali, maka mereka tidak boleh diperangi lagi.

Bagaimana jika yang terjadi sebaliknya? Kelompok yang dianggap “bughat” itu yang berpegang pada hukum Islam, sedangkan penguasanya tidak? Jawabannya jelas, bahwa fakta “bughat” tidak bisa diberlakukan untuk mereka. Penggunaan fakta dan hukum “bughat” dalam konteks seperti ini jelas menyalahi fakta dan hukum “bughat”. Apalagi jika kelompok tersebut tidak mempunyai milisi dan kekuatan pertahanan; tidak menggunakan kekuatan fisik; tidak menghalalkan darah umat Islam; tidak meninggalkan jamaah kaum Muslim. Mereka justru sebaliknya membangun kekuatan umat untuk mewujudkan jamaah kaum Muslim (Khilafah). Yang mereka lakukan hanya mengkritik penguasa, mendakwahkan ide persatuan umat di seluruh dunia di bawah naungan Khilafah. Jelas fakta dan hukum “bughat” sangat jauh panggang dari api jika diberlakukan untuk mereka. Bahkan Imam Abu Hanifah, as-Syafii dan jumhur fuqaha’ menyatakan tidak boleh membunuh dan memerangi mereka.6

Karena itu al-‘Allamah Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie menyatakan, “Jika alasan pembangkangan itu karena keyakinan tentang ketidaklayakan penguasa untuk memegang tampuk kekuasaan, karena bukti yang tidak qath’i, maka itu termasuk “bughat”. Mereka tidak berdosa karena pembangkangannya karena mereka berijtihad. Mereka juga bukan orang fasik.”7

Ketika ada bukti yang qath’i, bahwa penguasa tersebut menerapkan hukum kufur, maka fakta “bughat” tersebut tidak bisa diberlakukan kepada mereka.

Inilah fakta dan hukum “bughat” dalam pembahasan fikih Islam yang dinyatakan oleh para fuqaha’. Menggunakan fakta dan hukum “bughat” ini tidak sebagaimana mestinya, selain merupakan bentuk penyelewengan hukum Allah, yang jelas haram, juga menyesatkan umat Islam. Ini juga jelas tindakan yang diharamkan. Apalagi jika fakta dan hukum “bughat” ini digunakan untuk menjustifikasi kekuasaan yang jelas-jelas korup, merusak serta menjadi kaki tangan liberalisme dan imperialisme untuk menghalangi kebangkitan umat yang sedang berjuang melawan penjajahan. Jelas tindakan ini merupakan pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya, umat Islam dan seluruh rakyat negeri kaum Muslim.

Karena itu penting untuk dijadikan pegangan, bahwa ulama dalam mengeluarkan fatwa tidak hanya wajib memahami fakta dan hukum yang hendak difatwakan, tetapi juga konteksnya. Apakah fakta dan hukum yang hendak difatwakan tersebut tepat atau tidak konteksnya. Jika tepat maka itu boleh. Jika tidak maka itu bukan saja tidak boleh, bahkan mereka berdosa, karena ceroboh.

Tidak hanya itu, mereka juga harus tahu dan sadar jika fatwanya bisa digunakan untuk menjustifikasi dan melegalkan pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya dan umat Islam. Dalam konteks yang terakhir ini, ulama tidak hanya dituntut bisa berfatwa, tetapi wajib mempunyai kesadaran politik sehingga tidak gegabah mengeluarkan fatwa, yang pada akhirnya fatwanya bisa diperalat untuk kepentingan politik. (www.konsultasi.wordpress.com)

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [KH. Hafidz Abdurrahman]

Catatan Kaki:

1         Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 2000 M/1421 H, I/352. Lihat juga: Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughât al-Fuqahâ’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996 M/1416 H, hlm. 89.

2         Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, I/353.Lihat juga: Dr. Muhammad Khair Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah as-Syar’iyyah, cet. II, 1996 M/1417 H, I/63.

3         Al-‘Allamah al-Hafidz Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Lubnan, cet. I, 2004 M/1426 H, II/2160.

4         Ibid.

5         Al-‘Allamah al-Hafidz Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Lubnan, cet. I, 2004 M/1426 H, II/2160.

6         Ibid, II/2163.

7         Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 2000 M/1421 H, I/353.


Filed under: Politik Tagged: berontak, bughot

Jual Beli Emas

$
0
0

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Seperti yang Anda ketahui saudaraku yang dimuliakan, bahwa jual beli emas tidak boleh ada tempo di dalamnya. Jual beli emas itu harus tunai, dan serah terima kontan, seperti yang dinyatakan di dalam hadits… Apakah ini berlaku bagi perhiasan emas?

Kembalinya pertanyaan ini untuk fakta berikut:

Emas itu dijual sebagai perhiasan, yaitu 18 karat dan bukan 24 karat…

Emas 24 karat adalah emas murni dengan kadar mencapai 99,9 %, sulit untuk membentuknya. Adapun emas 18 karat adalah emas dengan kadar 75 % dan sisanya berupa logam lain seperti tembaga atau besi yang membuatnya bisa dibentuk, bahkan menjadi mungkin diwarnai sesuai jenis logam yang ditambahkan. Kemudian dalam jual beli perhiasan ini, pengrajin menambahkan pada harga emas itu harga pembuatan (pembentukan) berdasarkan beratnya.

Apakah perhiasan dalam kondisi ini dianggap sebagai komoditi seperti komoditi apapun yang mengandung emas, yang boleh diperjual belikan secara kredit (dengan utang) atau dengan tempo? Ataukah padanya tetap berlaku sebagai emas karena sebagian besarnya, sebanyak 75 %, adalah emas?

Masalah lain, ketika pengrajin itu menjual perhiasan, misalnya kalung, di dalamnya ada potongan kecil seperti pengait dan itu bukan emas. Kadang berupa platina, kromium atau yang lain. Ia ditimbang bersama dengan perhiasan yang dibentuk itu dan dihitung sebagai bagian dari beratnya, dan diperlakukan dengan harga emas, yakni dijual sebagai emas. Apakah ini boleh sebab itu adalah potongan yang sangat kecil? Atau harus dipisahkan harganya? Atau dianggap sebagai bagian dari upah pembentukan? Atau apa pandangan Anda?

Semoga Allah memberkahi Anda dan semoga Allah memberi balasan yang lebih baik kepada Anda. Maafkan kami karena menyibukkan Anda…

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Sebelum menjawab pertanyaan, saya ingin mengarahkan perhatian Anda bahwa hukum-hukum sharf untuk jenis-jenis barang ribawi, di dalamya tidak diperhatikan kualitas dan kemurnian jenisnya… Jenis-jenis barang ribawi adalah yang dinyatakan di dalam hadits yang dikeluarkan oleh an-Nasai dari Ubadah bin ash-Shamit bahwa Rasulullah saw bersabda:

«الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ تِبْرُهُ وَعَيْنُهُ وَزْنًا بِوَزْنٍ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ تِبْرُهُ وَعَيْنُهُ وَزْنًا بِوَزْنٍ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ ازْدَادَ فَقَدْ أَرْبَى»

“Emas dengan emas lantakan dan perhiasannya harus sama timbangannya, perak dengan perak lantakan dan perhiasannya harus sama timbangannya, garam dengan garam, kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, harus sama, dan semisal. Siapa yang menambah atau meminta tambah maka ia sungguh telah berbuat riba.”

 

Jika Anda menjual barang ribawi dari jenis-jenis ini dengan jenis yang sama, maka wajib semisal, bagaimanapun kualitasnya. Satu rithl kurma kualitas baik tidak boleh dipertukarkan dengan dua rithl kurma kualitas jelek. Satu sha’ gandum kualitas baik tidak boleh dipertukarkan dengan dua sha’ gandum kualitas jelek. Begitu pula terkait jewawut dan garam. Demikian juga emas, satu koin emas murni tidak boleh dipertukarkan dengan satu setengah koin emas tidak murni, akan tetapi harus semisal yakni dengan timbangan atau berat yang sama.

Ini adalah hukum-hukum khusus tentang sharf yang berbeda dari hukum-hukum transaksi lainnya yang menggunakan emas misalnya, pada zakat. Di dalamnya diperhatikan emas murni dan perak murni. Zakat koin emas 24 karat berbeda dari zakat koin emas dengan berat yang sama yang terbuat dari emas 18 karat. Akan tetapi, diperhitungkan kadar emas murni pada saat menghitung nishab. Maka nishab emas 24 karat adalah 85 gram. Akan tetapi nishab emas 18 karat maka lebih banyak dari jumlah itu sebab emas 18 karat dicampur dengan logam lain selain emas sebanyak 25 %. Artinya, emas 18 karat itu di dalamnya ada emas murni yang sebanding dengan 75% emas 24 karat. Atas dasar itu maka nishab emas 18 karat adalah satu sepertiga kali nishab emas murni, yakni 113,33 gram. Atas dasar itu, maka orang yang memiliki 85 gram emas murni 24 karat berarti telah memenuhi nishab. Jika berlalu satu haul maka ia harus membayar zakatnya 2,5 % dari beratnya. Akan tetapi, orang yang memiliki 85 gram emas 18 karat, ia belum memiliki satu nishab sampai ia memiliki 113,33 gram. Dan jika sudah berlalu satu haul, ia harus membayar zakatnya 2,5 % dari beratnya. Dan jelas di sini bahwa yang menjadi patokan dalam hal zakat adalah kadar emas murni.

Adapun berkaitan dengan sharf maka hukum-hukumnya bersifat khusus… Bagaimanapun jenis ribawi itu, murni atau tidak murni, baik atau jelek, murni atau campuran dengan yang lain… maka sharfnya wajib semisal, selama jual beli itu untuk jenis ribawi yang sama. Akan tetapi dengan syarat, yang murni dan yang tidak murni itu bercampur antara keduanya, artinya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, dan yang lebih banyak dalam campuran itu adalah emas, maka padanya dikenakan sebutan emas.

Dalil atas yang demikian itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id, ia berkata:

جَاءَ بِلَالٌ بِتَمْرٍ بَرْنِيٍّ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ : «مِنْ أَيْنَ هَذَا؟» فَقَالَ بِلَالٌ: “تَمْرٌ كَانَ عِنْدَنَا رَدِيءٌ، فَبِعْتُ مِنْهُ صَاعَيْنِ بِصَاعٍ لِمَطْعَمِ النَّبِيِّ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ عِنْدَ ذَلِكَ: «أَوَّهْ عَيْنُ الرِّبَا، لَا تَفْعَلْ، وَلَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ التَّمْرَ فَبِعْهُ بِبَيْعٍ آخَرَ، ثُمَّ اشْتَرِ بِهِ» 

Bilal datang membawa kurma Barniy, maka Rasulullah saw bersabda kepadanya: “dari mana ini?” Bilal berkata: “kurma milik kita jelek, lalu aku jual dua sha’ kurma itu dengan satu sha’ (kurma Barniy) untuk makanan Nabi saw.” Maka Rasulullah saw bersabda ketika itu: “itu adalah riba, jangan engkau lakukan, akan tetapi jika engkau ingin membeli kurma tersebut maka juallah dengan jual beli yang lain kemudian belilah dengannya.” (HR Muslim)

 

Abu Sa’id ra dan Abu Hurairah ra telah meriwayatkan bahwa:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  اسْتَعْمَلَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ، فَجَاءَهُ بِتَمْرٍ جَنِيبٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ : «أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا؟»، قَالَ: لاَ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا لَنَأْخُذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ، وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلاَثَةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ : «لاَ تَفْعَلْ، بِعْ الجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ، ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا»

Rasulullah saw mengangkat seseorang sebagai ‘amil atas Khaibar, lalu ia datang dengan membawa kurma Janib, maka Rasulullah saw bersabda: “apakah semua kurma Khaibar begini?” Orang itu berkata: “tidak, demi Allah ya Rasulullah, kami mengambil satu sha’ dari ini dengan dua sha’, dan kami mengambil dua sha’ dengan tiga sha’.” Maka Rasulullah saw bersabda: “jangan engkau lakukan, juallah semuanya dengan dirham, kemudian belilah kurma Janib dengan dirham itu.” (Muttafaq ‘alayh)

Ini berlaku pada semua jenis ribawi. Di dalam Nizhâm al-Iqtishâdî halaman 264 dinyatakan sebagai berikut:

(Dan jika seseorang membeli dari seseorang yang lain dinar yang baik dengan dua dinar campuran maka tidak boleh. Akan tetapi, seandainya ia membeli satu dinar yang baik dengan dirham perak, kemudian ia belikan dirham perak dengan dua dinar campuran maka boleh… Karena apa yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id, ia berkata:

جَاءَ بِلَالٌ بِتَمْرٍ بَرْنِيٍّ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ : «مِنْ أَيْنَ هَذَا؟» فَقَالَ بِلَالٌ: “تَمْرٌ كَانَ عِنْدَنَا رَدِيءٌ، فَبِعْتُ مِنْهُ صَاعَيْنِ بِصَاعٍ لِمَطْعَمِ النَّبِيِّ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ عِنْدَ ذَلِكَ: «أَوَّهْ عَيْنُ الرِّبَا، لَا تَفْعَلْ، وَلَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ التَّمْرَ فَبِعْهُ بِبَيْعٍ آخَرَ، ثُمَّ اشْتَرِ بِهِ» 

Bilal datang membawa kurma Barniy, maka Rasulullah saw bersabda kepadanya: “dari mana ini?” Bilal berkata: “kurma milik kita jelek, lalu aku jual dua sha’ kurma itu dengan satu sha’ (kurma Barniy) untuk makanan Nabi saw.” Maka Rasulullah saw bersabda ketika itu: “itu adalah riba, jangan engkau lakukan, akan tetapi jika engkau ingin membeli kurma tersebut maka juallah dengan jual beli yang lain kemudian belilah dengannya.” (HR Muslim)

Abu Sa’id ra dan Abu Hurairah ra telah meriwayatkan bahwa:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  اسْتَعْمَلَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ، فَجَاءَهُ بِتَمْرٍ جَنِيبٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ : «أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا؟»، قَالَ: لاَ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا لَنَأْخُذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ، وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلاَثَةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ : «لاَ تَفْعَلْ، بِعْ الجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ، ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا»

Rasulullah saw mengangkat seseorang sebagai ‘amil atas Khaibar, lalu ia datang dengan membawa kurma Janib, maka Rasulullah saw bersabda: “apakah semua kurma Khaibar begini?” Orang itu berkata: “tidak, demi Allah ya Rasulullah, kami mengambil satu sha’ dari ini dengan dua sha’, dan kami mengambil dua sha’ dengan tiga sha’.” Maka Rasulullah saw bersabda: “jangan engkau lakukan, juallah semuanya dengan dirham, kemudian belilah dengan dirham itu kurma Janib.” (Muttafaq ‘alayh) ) selesai.

 

Jelas dari semua itu bahwa jenis-jenis ribawi dalam topik sharf harus semisal bagaimanapun kualitasnya selama bisa disebut dengan sebutan yang ada di dalam hadits, baik apakah emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma ataukah garam dengan garam.

Berdasarkan hal itu maka jawaban pertanyaan Anda sebagai berikut:

  • Perhiasan terbuat dari perak atau dari emas, berapapun karatnya, maka pada saat pertukarannya dengan jenis yang sama, maka wajib semisal. Misalnya, pertukaran emas kalung dengan gelang atau … lainnya baik 21 karat atau 18 karat, maka wajib semisal, dan tidak boleh ada tambahan, baik buatan pabrik atau kerajinan… maka tidak boleh. Perhiasan dalam semisal kondisi ini –jika penjual atau pembeli tidak mau semisal (sama berat)- maka emas itu dijual dengan uang kemudian uang hasil penjualannya dibelikan gelang atau kalung atau perhiasan lainnya.
  • Ketika membeli gelang emas dan di dalamnya ada potongan “pengait” terbuat dari selain emas yang tidak bercampur dengan emas, akan tetapi bisa dipisahkan dari (gelang) emas, maka dipisahkan dan ditimbang emasnya saja, dan dijual emasnya saja dengan semisal (sama berat). Potongan itu dijual sendiri dengan harga yang disepakati. Ini jika jual beli gelang emas dengan emas.

Adapun jika Anda ingin membeli gelang emas dan di dalamnya ada potongan lain bukan dari emas, dan Anda ingin membelinya dengan uang, maka boleh saja Anda sepakati dengan harga yang Anda rela. Jika Anda timbang seluruhnya dengan harga yang Anda sepakati maka tidak apa-apa, sebab jual belinya di sini untuk dua jenis berbeda, yakni Anda ingin membeli gelang dengan uang kertas. Di sini penjual boleh menimbang gelang itu seluruhnya termasuk di dalamnya campuran itu dan menjualnya kepada Anda dengan harga yang Anda sepakati dengannya selama Anda membeli gelang tersebut dengan uang, bukan emas. (www.konsultasi.wordpress.com)

 

Saudaramu

 

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

15 Syawal 1436 H

31 Juli 2015 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_49838

Sumber : Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”

 

Tulisan terkait :

  1. Hukum Gadai Emas

  2. Hukum Jual Beli Emas secara Kredit

 


Filed under: Ekonomi Tagged: emas

Seputar Haramnya BPJS Kesehatan

$
0
0

Tanya:

Ustadz, BPJS Kesehatan telah difatwakan haram oleh MUI dengan alasan adanya gharar, riba, dan maisir. Bagaimana pandangan Ustadz terhadap fatwa tersebut? (Firdaus Wajdi, Jakarta).

Jawab :

Kami sependapat dengan fatwa MUI yang mengharamkan BPJS tersebut, karena BPJS sekarang faktanya adalah asuransi konvensional. Maka MUI mengharamkan BPJS dengan alasan-alasan yang digunakan untuk mengharamkan asuransi konvensional (at ta`miin), yaitu adanya unsur gharar (ketidakpastian, uncertainty), riba (bunga), dan maisir(judi/spekulasi).

Alasan-alasan itu memang ada pada fakta BPJS saat ini. Misalnya, dana premi (iuran) yang dibayarkan peserta BPJS ternyata diinvestasikan dalam usaha-usaha non halal, yaitu deposito dan obligasi konvensional yang berbunga (riba). Selain itu, dana surplus dan defisit underwriting dalam BPJS ternyata dikelola dengan basis gharar dan pinjaman berbunga (riba).

Namun demikian, alasan-alasan tersebut menurut kami belum lengkap. Setidaknya dapat ditambahkan dua alasan. Pertama, perlu ditambahkan alasan yang lebih mendasar untuk haramnya asuransi konvensional, yaitu akadnya yang memang tak sesuai syariah, bukan sekadar karena adanya gharar, riba, dan maisir. Kedua, perlu ditambahkan alasan keharaman BPJS dari segi ketidaksesuaiannya dengan hukum Islam mengenai jaminan kesehatan seluruh rakyat secara gratis oleh negara.

Yang pertama, yaitu ketidaksesuaian akad asuransi konvensional dengan syariah, terdapat pada dua aspek. Aspek pertama, obyek akad (ma’quud ‘alaihi) asuransi konvensional tak sesuai syariah. Karena obyek akad dalam muamalah yang sah hanya dua, yaitu barang (al ‘ain), seperti dalam akad jual-beli, dan jasa (al manfa’ah), seperti dalam akad jasa tenaga kerja (ijarah al ajiir). Sementara obyek akad asuransi konvensional, adalah janji/komitmen (at ta’ahhud) atau pertanggungan (al dhamanah), yang tak dapat dikategorikan sebagai barang ataupun jasa. Maka akad asuransi konvensional adalah akad batil. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 182).

Aspek kedua, akad asuransi konvensional tak sesuai dengan ketentuan-ketentuan akad pertanggungan/jaminan (al dhamaan) dalam Islam, yaitu terdapat 3 (tiga) pihak; penanggung (dhamin), tertanggung (madhmun ‘anhu), dan penerima tanggungan (madhmun lahu), di mana terjadi penggabungan tanggungan (dhamm al dzimmah) pihak tertanggung menjadi tanggungan pihak penanggung, dan pihak penerima tanggungan tidak membayar apa-apa untuk mendapatkan dana pertanggungan. Sementara dalam asuransi konvensional, hanya ada dua pihak (bukan tiga pihak), yaitu perusahaan asuransi sebagai penanggung (dhamin), dan peserta asuransi sebagai penerima tanggungan (madhmun lahu). Tak ada pihak tertanggung (madhmun ‘anhu). Selain itu, dalam asuransi konvensional tak terjadi penggabungan tanggungan peserta asuransi dengan tanggungan perusahaan asuransi, karena peserta asuransi tidak punya tanggungan apa-apa kepada pihak lain. Dan juga, dalam asuransi konvensional pihak penerima tanggungan harus membayar kepada penanggung. Sedang dalam Islam penerima tanggungan tidak membayar apa-apa. Maka dari itu, asuransi konvensional haram hukumnya. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 185).

Yang kedua, perlu ditambahkan juga alasan keharaman BPJS dari segi ketidaksesuaiannya dengan syariah mengenai kewajiban negara untuk menjamin kesehatan seluruh rakyatnya secara gratis. Karena Rasulullah SAW dahulu sebagai kepala negara telah menjamin kesehatan seluruh rakyatnya, seperti menyediakan thabib (dokter), tanpa memungut biaya apa pun dari rakyat. (Taqiyuddin An Nabhani,Muqaddimah Ad Dustur, 2/18).

Karena itu, BPJS tidak mungkin disyariahkan menjadi BPJS Syariah dengan hanya menghilangkan unsur-unsur riba, maisir, atau gharar, selama obyek akadnya berupa janji/komitmen (at ta’ahhud), selama ketentuan akadnya tak sesuai dengan akad pertanggungan (al dhamaan) dalam Islam, dan selama masih ada pemungutan dana dari masyarakat. Yang benar menurut syariah, BPJS wajib dihapuskan secara total, termasuk menghapuskan pemungutan dana dari masyarakat, dan negara wajib menjamin kesehatan seluruh rakyatnya secara gratis. Wallahu a’lam. [Ustadz Siddiq al Jawi) (www.konsultasi.wordpress.com)

Sumber: Tabloid Mediaumat

 

Tulisan terkait :

  1. Seputar Asuransi Kesehatan dari Majikan Kepada Pekerja.

  2. Hukum Asuransi Syariah.

  3. Hukum Asuransi Syariah Bag. 2.

  4. Asuransi Takaful Haram.

  5. Ikut Serta dalam Jaminan Sosial.

  6. Askes dan Dana Pensiun

  7. Hukum Multiakad (Akad Gabungan).


Filed under: Ekonomi
Viewing all 374 articles
Browse latest View live