Quantcast
Channel: Konsultasi Islam
Viewing all 374 articles
Browse latest View live

Hukum Makan Katak

$
0
0

Pertanyaan :
Bolehkah makan katak?

Jawaban :
Katak (adh dhafda’u). Haram memakannya karena nabi melarang membunuhnya. Dari Abdurrahman bin Ustman, ia berkata:

أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ قَتْلِهَا.
Artinya: bahwa Thabib bertanya kepada Nabi saw tentang katak yang digunakan sebagai obat? Lalu Nabi melarang membunuh katak (HR Abu Dawud no. 3871, an Nasaai no. 4360 dan dishahihkan oleh al Albani no. 3279)
Al Khathabi berkata: mengenai dalil haramnya katak kecuali yang masuk dalam apa-apa yang dibolehkan seperti hewan air. Semua yang dilarang membunuhnya. Maka larangan tersebut karena dua hal: kadang diharamkan karena zatnya sendiri seperti manusia dan kadang diharamkan karena dagingnya seperti as shurad, burung pelatuk dan yang sejenisnya. Adapun pengharaman katak karena alasan diluar dua alasan tadi. Yaitu nabi melarang dari menyembelih hewan tidak ada maksud lain melainkan untuk melarang memakannya
Ibnu Umar ra berkata:
لاَ تَقْتُلُوا الضَّفَادِعَ فَإِنَّ نَقِيقَهَا تَسْبِيحٌ
Artinya: janganlah kalian membunuh katak karena sesungguhnya suara katak adalah tasbih (HR Imam Baihaqi dalam as sunan al kubra (9/318) dan sanadnya shahih)
Wahyudi Abu Syamil Zainul Umam
Banjarmasin, 14 Muharram 1436 H/6 Nopember 2014
Sumber jawaban : http://matanbjm.wordpress.com/2014/11/06/katak-bolehkah-dimakan/

Filed under: Makanan Tagged: hukum makan katak

Bunga yang Sedikit Tidak Haram, Benarkah?

$
0
0

Tanya :

Ustadz, ada pendapat yang membolehkan riba sedikit, misal satu persen, dengan dasar karena riba yang dilarang Alquran hanyalah “riba yang berlipat ganda” saja. Mohon penjelasan. (Nurwidianto, Bantul)

Jawab :

Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa riba yang diharamkan hanyalah riba yang banyak atau “berlipat ganda” (adh’afan mudhaa’afah), sedangkan riba yang sedikit tidak haram. Yang berpendapat seperti ini antara lain Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, dengan dalil firman Allah SWT (yang artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (adh’afan mudhaa’afah).” (QS Ali ‘Imran [3] : 130). (Abdul Majid Al Muhtasib, Ittijahat Al Tafsir fi Al ‘Ashr Al Rahin, hlm. 178; Abdurrahim Faris Abu ‘Ulbah, Syawa`ib Al Tafsir, hlm. 246; Abdul Aziz Al Khayyath, Al Syarikat fi Al Syari’ah Al Islamiyyah wa Al Qanun Al Wadh’i, Juz 2 hlm. 168-173).

Jamaluddin Al Afghani berdalil dengan ayat itu, untuk membolehkan riba yang sedikit, dengan berkata, ”Allah mengharamkan riba dengan dengan satu puncak hikmah, yaitu hendaklah jangan dimakan riba yang berlipat ganda, yakni yang diharamkan dalam ayat itu, dan supaya Imam mempunyai jalan keluar—ketika ada tuntutan kemaslahatan—untuk membolehkan riba yang rasional (ma`quul) yang tidak memberatkan pihak yang berutang.” (Muhammad Basya Al Makhzumi, Khathirat Jamaluddin Al Afghani, hlm. 195, dalam Abdurrahim Faris Abu ‘Ulbah, Syawa`ib Al Tafsir, hlm. 246).

Pendapat Jamaluddin Al Afghani itu lalu diikuti oleh murid-muridnya, yaitu Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh. Ketika menafsirkan ayat QS Ali ‘Imran : 130, Muhammad Abduh berkata,”…Ini adalah ayat dalam Alquran tentang pengharamannya (riba berlipat ganda), dan Alquran tidak mengharamkan selain itu… Ini adalah ayat yang pertama kali turun tentang pengharaman riba, yaitu ayat tentang pengharaman riba yang dikhususkan dengan batasan ini (makhshuush bi hadza al qaid), dan ini masyhur di sisi mereka.” (Muhammad Abduh, Tafsir Al Manaar, Juz 3 hlm. 133).

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, jelas Jamaluddin Al Afghani dan murid-muridnya telah membolehkan riba yang tidak berlipat ganda, berdasarkan QS Ali ‘Imran: 130, dengan beberapa wajhul istidlal (cara pengambilan hukum dari dalil) sbb : men-takhsiis (mengkhususkan/mengecualikan) keumuman ayat yang mengharamkan riba, atau men-taqyiid (memberi batasan/syarat) dari kemutlakan ayat yang mengharamkan riba, atau menarik mafhum mukhalafah (pengertian yang sebaliknya) dari ayat yang melarang riba yang berlipat ganda.

Semua wajhul istidlal tersebut batil dan hukum yang dihasilkannya, yaitu membolehkan riba yang sedikit, adalah ijtihad yang batil, dengan dua alasan sbb ;

Pertama, tidak dapat diterima menarik mafhum mukhalafah dari ayat QS Ali ‘Imran: 130, atau menjadikan ayat itu sebagai takhsis/taqyiid dari keumuman atau kemutlakan ayat yang mengharamkan riba (QS Al Baqarah: 275). Dalam kaitan ini Imam Ibnu Hayyan Al Andalusi berkata, ”Riba sudah diharamkan dalam segala jenisnya, maka dari itu haal yang terdapat dalam ayat itu (yaitu larangan memakan riba yang berlipat ganda, adh’afan mudhaa’afah) tak dapat diambil mafhum mukahalafah-nya dan tidak dapat pula menjadi qaid (batasan) dalam larangan riba…” (Ibnu Hayyan Al Andalusi, Tafsir Al Bahrul Muhith, Juz 3 hlm. 54; Imam Syaukani, Fathul Qadir, Juz 1 hlm. 380).

Kedua, tidak dapat diterima menjadikan QS Ali ‘Imran ayat 130 sebagai takshihsh dari keumuman haramnya riba dalam QS Al Baqarah : 275. Sebab dalam ilmu ushul fiqih, dalil takshish itu seharusnya turun belakangan (muta`akhkhir) dari dalil umumnya, atau kalaupun turun lebih dulu (mutaqaddim), seharusnya takhshih itu bersambung (muttashil) dengan dalil umumnya dalam satu rangkaian ayat. (Saifuddin Al Amidi, Al Ihkam fi Ushul Al Ahkam, Juz IV). Syarat tersebut tidak terwujud dalam pendapat Jamaluddin Al Afghani, karena faktanya ayat QS Ali Imran : 130 turun lebih dahulu, bukan turun belakangan. Baru setelah itu turunlah ayat QS Al Baqarah : 275. Lagipula dua ayat tersebut tidak terletak dalam satu rangkaian ayat yang muttashil.

Jadi, pendapat yang membolehkan riba yang sedikit adalah ijtihad yang batil yang haram diamalkan kaum Muslimin, karena menyalahi nash qath’i (pasti) yang telah mengharamkan segala jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Wallahu a’lam.[www.syariahpublications.com] M Shiddiq Al Jawi

Sumber: MediaUmat edisi 138

 

Tulisan terkait :

1. Bolehkah Riba yang Tidak Berlipat Ganda?

2. Riba: Definisi, Hukum, dan Macamnya.

3. Bolehkah Riba Dihalalkan dengan Alasan Darurat?

4. Riba : Pengertian, Jenis, dan Contohnya.


Filed under: Ekonomi Tagged: riba

Pendorong-pendorong Pergolakan Antar Negara

$
0
0

Pertanyaan:

Bismillâhi ar-Rahmâni ar-Rahîm. Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu… Di dalam bukuMafâhîm Siyâsiyah pada topik “Dawâfi’ ash-Shirâ’ bayna ad-Duwal –Motif-Motif Pergolakan Antar Negara-“ halaman 54 paragraf pertama baris pertama dinyatakan: “pergolakan internasional sejak lahirnya sejarah hingga hari Kiamat tidak akan keluar dari salah satu diantara dua motif: kadang berupa motif cinta kepeminpinan dan kebanggan, dan kadang berupa motif mengejar keuntungan-keuntungan materi.” Kemudian di halaman yang sama pada paragraf sebelum terakhir baris 15 dinyatakan: “motif pergolakan antar negara yang paling berbahaya adalah motif imperialisme dengan semua bentuknya”. Pertanyaannya: pada paragraf pertama ada penentuan dan pembatasan motif pergolakan antar negara dengan dua motif saja tidak ada yang ketiga, yaitu ketika dikatakan “pergolakan internasional tidak keluar … dari satu dari dua motif”. Akan tetapi, pada paragraf kedua disebutkan motif ketiga yang tidak disebutkan di paragraf pertama, yaitu “imperialisme”. Pertanyaannya dengan cara lain: apakah motif pergolakan internasional itu ada dua atau tiga? Sebab orang yang membaca dua paragraf itu memperhatikan adanya kontradiksi dan perbedaan diantara keduanya, sebab bagaimana mungkin mengkompromikan diantara keduanya? Sebab seandainya motif pergolakan internasional itu ada dua lalu kenapa disebutkan motif ketiga yang baru yaitu imperialisme?

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Tidak ada kontradiksi antara apa yang ada di buku Mafâhîm Siyâsiyah halaman 54 dalam pengantarnya bahwa motif pergolakan internasional terbatas pada dua motif saja yaitu motif cinta kepemimpinan dan kebanggaan dan motif mengejar keuntungan materi. Ini tidak bertentangan dengan apa yang ada di halaman yang sama setelah ungkapan itu bahwa motif imperialisme dengan semua bentuknya merupakan motif pergolakan antara negara yang paling berbahaya. Hal itu dikarenakan motif imperialisme itu terderivasi di bawah motif mengejar keuntungan materi. Sebab imperialisme adalah motode ideologi kapitalisme dalam mencapai keuntungan-keuntungan dengan standar mereka yaitu “manfaat”. Ini berarti bahwa imperialisme itu kembali (merujuk) kepada motif yang disebutkan sebelumnya yaitu motif mengejar keuntungan-keuntungan materi, dan imperialisme itu bukan motif yang baru selain kedua motif yang disebutkan di awal halaman. Seandainya Anda mengkajinya secara mendalam niscaya Anda menemukan bahwa buku tersebut juga menyebutkan perkara lain yang bisa diduga sebagai motif yang lain… tetapi teks itu merujukkannya ke motif cinta kepemimpinan dan kebanggaan. Pada halaman yang sama disebutkan sebagai berikut:

(Adapun motif membatasi pertumbuhan kekuatan negara lain, seperti yang terjadi pada negara-negara melawan Napoleon, dan seperti yang terjadi dengan negara-negara melawan daulah islamiyah, dan seperti yang terjadi dengan negara-negara melawan Jerman yang nazi, maka sesungguhnya itu masuk di dalam (motif) cinta kepemimpinan, sebab itu adalah menghadapi kepemimpinan pihak lain) selesai.

Sebagaimana motif membatasi pertumbuhan kekuatan negara lain tidak dinilai sebagai motif diluar dua motif yang disebutkan, maka demikian pula motif mengejar keuntungan-keuntungan materi tidak dinilai sebagai motif yang keluar dari dua motif yang disebutkan. Sebab dua motif itu adalah motif utama yang dibawahnya terderivasi perkara-perkara lain yang punya hubungan.

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

17 Muharram 1436

10/11/2014

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_41282

 

Sumber :

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fikriyah”
Jawaban Pertanyaan: Pendorong-Pendorong Pergolakan Antar Negara
Kepada Ahmad Fua Fuad


Filed under: Politik Tagged: pergolakan negara

Apakah Jokowi Khalifah?

$
0
0

Tanya :

Ustadz, apakah Jokowi dapat dianggap sebagai khalifah bagi kaum Muslimin di Indonesia?

 

Jawab :

Jokowi tak dapat dianggap sebagai khalifah, karena 4 (empat) alasan berikut :

Pertama, karena anggapan Jokowi sebagai khalifah itu sifatnya hanya anggapan sepihak oleh pihak tertentu. Pada sisi lain Jokowinya sendiri tidak pernah diangkat (dibaiat) sebagai khalifah oleh pihak tertentu itu.

Padahal menjadi khalifah itu tak bisa hanya dengan klaim sepihak, melainkan wajib ada akad (baiat) oleh dua pihak, seperti dijelaskan oleh Imam Al Mawardi. Dua pihak itu adalah; ahlul ikhtiyar (sekelompok wakil umat sebagai ahlul halli wal aqdi), dan ahlul imamah (calon imam/khalifah).(Imam Al Mawardi, Al Ahkamus Sulthaniyyah, hlm. 5-6).

Kedua, karena sumpah yang diucapkan Jokowi di hadapan MPR tak dapat dianggap sebagai baiat, sehingga implikasinya Jokowi tidak boleh disebut khalifah.

Hal itu karena sumpah (al halfu/al yamin) bukanlah baiat. Karena sumpah dalam fiqih Islam hanya dimaksudkan untuk menegaskan pernyataan dari pihak yang bersumpah, bukan dimaksudkan sebagai cara pengangkatan menjadi khalifah. Lagipula pengucapan sumpah itu merupakan perbuatan hukum (tasharruf)yang bukan akad, yaitu tidak memerlukan kesepakatan dua pihak dan dapat sah hanya oleh satu pihak saja, yaitu pengucap sumpah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 12/72).

Ketiga, karena Jokowi tak menjalankan tugas-tugas seorang khalifah, sehingga tak layak Jokowi dianggap sebagai seorang khalifah.

Sebagian ulama telah merinci tugas khalifah itu menjadi sepuluh macam tugas, seperti memelihara ajaran agama (hifzh al diin), menerapkan hukum-hukum syariah, menerapkan huduud, melaksanakan jihad fi sabilillah, dsb. (Imam Al Mawardi, Al Ahkamus Sulthaniyyah, hlm. 15; Imam Abu Ya’la Al Farra`, Al Ahkamus Sulthaniyyah, hlm. 11).

Para ulama meringkas tugas-tugas khalifah itu menjadi dua tugas saja, yaitu memelihara agama (hirasah al diin) dan mengatur kehidupan dunia dengan agama. (siyasah al dunya). (Nihayatul Muhtaj, Juz 7 hlm. 389).

Andaikata benar Jokowi khalifah, seharusnya dia menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Faktanya tidak. Misalnya, Jokowi tak melaksanakan huduud, tak berjihad fi sabilillah, dan tak menerapkan hukum-hukum syariah (kecuali secara parsial), bahkan sebaliknya berencana menghapus perda-perda syariah.

Kalaupun Jokowi menerapkan syariah, itu hanya parsial saja, misal ibadah (seperti haji) atau hukum-hukum keluarga (nikah, cerai, dll), dan sedikit muamalah (perbankan syariah, zakat, dll). Penerapan parsial ini jelas melanggar syariah Islam itu sendiri. Karena Allah SWT mewajibkan penerapan syariah secara menyeluruh (kaffah). (QS Al Baqarah [2] : 208).

Keempat, karena Jokowi tidak memenuhi sebagian syarat akad khalifah (syuruth al in’iqad). Secara lengkap terdapat 7 (tujuh) syarat akad khalifah, yaitu : (1) muslim, (2) laki-laki, (3) berakal, (4) baligh, (5) merdeka (bukan budak), (6) adil (tidak fasik), dan (7) berkemampuan. (Taqiyuddin An Nabhani,Muqaddimah Ad Dustur, Beirut : Darul Ummah, 2009, Juz I hlm. 130-133).

Dari ketujuh syarat tersebut, Jokowi hanya memenuhi lima syarat, yaitu; muslim, laki-laki, berakal, baligh, dan bukan budak. Sedang dua syarat, yaitu adil (tidak fasik) dan mampu, tidak dipenuhi oleh Jokowi. Karena Jokowi sebagai kepala daerah (Surakarta dan DKI), dipastikan terlibat transaksi ribawi, yang merupakan kefasikan yang menghilangkan sifat adil (‘adalah). Dari segi kemampuan Jokowi mungkin secara fisik dia mampu. Tapi secara ilmu jelas tidak. Karena seorang khalifah harus mempunyai ilmu Syariah Islam dalam berbagai aspeknya, seperti politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya.

Jadi, anggapan Jokowi sebagai khalifah adalah tidak benar, dan hanya merupakan laghwun (omong kosong), yaitu ucapan sia-sia yang tidak ada artinya. Tujuannya bukan untuk mendidik umat Islam, tapi justru untuk membodohi mereka, seraya memberi legitimasi palsu kepada pemimpin sistem sekuler.Wallahu a’lam.(Ustadz Shiddiq al Jawi)

Sumber: mediaumat.com (26/11/2014)


Filed under: Politik Tagged: jokowi khalifah

Dha’if-kah Hadis Tentang Bakal Kembalinya Khilafah?

$
0
0

Menegakkan Khilafah ar-Rasyidah yang akan menerapkan syariah secara total adalah wajib. Kewajiban itu dinyatakan dalam banyak nash baik al-Quran, Hadis Nabi saw. maupun Ijmak Sahabat. Kewajiban menegakkan Khilafah dengan mengangkat seorang imam/khalifah ini telah disepakati oleh seluruh ulama Sunni, Syiah, Muktazilah dan Khawarij (dari kalangan mazhab akidah); juga ulama Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali (dari kalangan mazhab fikih). Bahkan para ulama telah menyebut kewajiban ini sebagai kewajiban paling agung.

Rasulullah saw. memberikan bisyârah (kabar gembira) bahwa Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah akan kembali lagi. Imam Ahmad di dalam Musnad-nya berkata: Telah berkata Abdullah; telah berkatabapakku; telah berkata Sulaiman bin Dawud ath-Thayalisi; telah berkata Dawud bin Ibrahim al-Wasithi; telah berkata Habib bin Salim dari Nu’man bin Basyir bahwa Hudzaifah ibn al-Yaman berkata, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ» ثُمَّ سَكَتَ

“Di tengah-tengah kalian ada zaman Kenabian. Atas kehendak Allah zaman itu akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkat-nya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj Kenabian. Khilafah itu akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Lalu Dia akan mengangkat Khilafah itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (pemerintahan) yang zalim. Kekuasaan zalim ini akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (pemerinta-han) diktator yang menyengsarakan. Kekuasaan diktator itu akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan muncul kembali Khilafah yang mengikuti manhaj Kenabian.” (Hudzaifah berkata): Kemudian beliau diam(HR Ahmad dan al-Bazzar).

Saat seruan penegakan Khilafah makin gencar dan sambutan umat pun makin besar, ada suara-suara yang ingin melemahkan hal itu. Mereka menyatakan bahwa hadis tentang bisyarah kembalinya Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah ini lemah, karena di dalamnya terdapat perawi Habib bin Salim. Perawi ini dituduh tidak kredibel. Alasannya, karena Imam al-Bukhari berkomentar tentang Habib bin Salim ini: fîhi nazhar (ia perlu diteliti).

Benarkah dengan ungkapan itu Imam al-Bukhari menilai Habib bin Salim perawi dha’if sehingga hadisbisyarah di atas juga dha’if? Jika diteliti dengan seksama ternyata tidak seperti itu.

Tentang Habib bin Salim, Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan: Habib bin Salim al-Anshari maula an-Nu’man bin Basyir sekaligus penulisnya: Abu Hatim berkomentar, “Tsiqqah.” Al-Bukhari berkomentar, “Tentang dia, harus diteliti (fîhi nazhar).” Abu Ahmad bin ‘Adi berkomentar, “Di dalam matan-matan hadisnya tidak terdapat satu pun hadis mungkar.” Aku [Ibn Hajar] berkomentar, “Al-Ajiri menuturkan dari Abu Dawud, “Tsiqqah.” Ibn Hibban menyebutkannya dalam kitabnya “At-Tsiqqât”. Dia pun disebutkan di sana.” (Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzîb at-Tahdzîb, II/161).

Al-Hafizh Ibn Hajar juga menyebutkan di dalam Taqrîb at-Tahdzîb poin 1095: Habib bin Salim al-Ansharimawla an-Nu’man bin Basyir sekaligus penulisnya, ia: lâ ba’tsa bihi min ats-tsâlitsah.

Ibn Hajar juga menyebutkan nama Habib bin Salim, tetapi Habib bin Salim yang lain. Tentang ini, beliau menulis: “Jika ia bukan mawla an-Nu’man [bin Basyir], saya tidak tahu, siapa dia. Al-‘Uqaili telah menolak hadisnya dari an-Nu’man.” (Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzîb at-Tahdzîb, II/161).

Ibn Abi Hatim di dalam Jarh wa at-Ta’dil mengatakan tentang Habib bin Salim al-Anshari, “Bapakku (yakni Abu Hatim) berkata: Ia tsiqah.”

Mengenai maksud perkataan Imam al-Bukhari “fîhi nazhar” (harus diteliti) ketikamengomentari Habib bin Salim, tepatnya dalam kitabnya At-Târîkh al-Kabîr (II/318), al-Bukhari pada poin 2606 berkomentar: “Habib bin Salim, mawla (bekas budak) Nu’man bin Basyir al-Anshari, meriwayatkan hadis dari an-Nu’man; juga meriwayatkan [hadis] dari dia: Abu Basyir, Basyir bin Tsabit, Muhammad bin al-Muntasyir, Khalid bin ‘Arfathah dan Ibrahim bin Muhajir. Dia [Habib bin Salim] adalah penulis/sekretaris Nu’man, dia perlu diteliti.” (Lihat: Al-Bukhari, At-Târîkh al-Kabîr, II/318).

Pada poin ke-3347, ketika Imam al-Bukhari menyatakan bahwa Yazid bin an-Nu’man bin Basyir sebagai sahabat Umar bin Abdul Aziz, beliau mengutip pernyataan Habib bin Salim (yang beliau nilai dengan ungkapan: fîhi nazhar).

Perkataan al-Bukhari “fîhi nazhar” (dia harus diteliti) ini sudah banyak dijelaskan oleh para ulama. Al-‘Iraqi berkata dalam kitabnya Syarh al-Alfiyah”[Perkataan] “fîhi nazhar” (dia harus diteliti) dan “fulan sakatû ‘anhu” (si Fulan telah didiamkan) merupakan dua perkataan yang diucapkan oleh al-Bukhari mengenai periwayat hadis yang hadisnya ditinggalkan.” (Lihat: Al-‘Iraqi, Syarh al-Alfiyah, II/11).

Adz-Dzahabi berkata dalam mukadimah kitabnya, Mizânu al-I’tidâl “Perkataan al-Bukhari “fîhi nazhar” (dia harus diteliti) dan ”fî hadîtsihi nazhar” (hadisnya perlu diteliti) tidaklah diucapkan oleh al-Bukhari, kecuali mengenai orang-orang yang dia nilai [tidak kredibel] pada galibnya.” (Lihat: Adz-Dzahabi, Mizânu al-I’tidâl, I/3-4).

Namun, kutipan di atas juga bisa menunjukkan kaidah umum dari perkataan al-Bukhari “fîhi nazhar” (dia harus diteliti), yang memang menunjukkan lemahnya kredibilitas periwayat hadis, namun bukan berarti hadisnya dha’if.

Al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam Al-Ba’its al-Hatsîts fi Ikhtishâri Ulûm al-Hadîts menjelaskan, bahwa jika al-Bukhari berkata tentang perawi (hadis) sakatû ‘anhu atau fîhi nazhar, itu artinya: fa innahu yakûnu fi adna al-manâzili wa ardâ’iha ‘indahu, lakinnahu lathîf al-‘ibârah fi at-tajrîh (perawi itu ada pada tingkat terendah dan beban terberat bagi al-Bukhari, tetapi (al-Bukhari) menggunakan ungkapan yang halus dalam tajrih(menyatakan jarh).”

Namun, dalam kasus Habib bin Salim, perkataan al-Bukhari ini bukanlah merupakan jarh yang kemudian melemahkan hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. Pasalnya, terdapat dua qarinah (indikasi) yang dapat mempertahankan kredibilitas Habib bin Salim dan juga hadis yang dia riwayatkan.

Indikasi pertama: Al-Bukhari menilai sahih hadis yang di dalamnya ada periwayat Habib bin Salim. Kedua: seorang perawi yang dinilai al-Bukhari dengan kalimat “fîhi nazhar” (dia perlu diteliti) boleh jadi dianggap kredibel oleh ahli hadis lain.

Indikasi pertama telah ditunjukkan oleh at-Tirmidzi dalam kitabnya Al-‘Ilal al-Kabîr (I/33). Disebutkan, at-Tirmidzi suatu saat pernah bertanya kepada al-Bukhari mengenai suatu hadis. Hadis ini diriwayatkan oleh Habib bin Salim dari Nu’man bin Basyir, bahwa Nabi saw. dalam dua shalat Id dan shalat Jumat telah membaca surat Sabbihisma Rabbikal A’la dan surat Hal Atâka Hadîstul Ghâsiyah; dan bisa jadi keduanya (Id dan Jumat) bertemu pada satu hari dan Nabi saw. membaca kedua surat itu. Al-Bukhari berkomentar,“Huwa hadits shahih (Itu hadis sahih).” (Lihat: At-Tirmidzi, Al-‘Ilal al-Kabîr, I/33).

Ini jelas menunjukkan bahwa al-Bukhari telah menilai sahih hadis yang perawinya dia nilai sebagai “fîhi nazhar”. Fakta ini menunjukkan, ketika al-Bukhari menilai seorang perawi dengan mengucapkan “fîhi nazhar”, tidaklah selalu berarti hadisnya otomatis lemah (dha’if) dan tak dapat dijadikan hujjah. Contohnya kasus Habib bin Salim ini.

Yang mungkin menjadi pertanyaan, mengapa al-Bukhari tetap mensahihkan hadis yang perawinya ia komentari dengan ungkapan “fîhi nazhar”? Menurut Khalid Manshur Abdullah ad-Durais, hal itu karena al-Bukhari tidak sampai derajat yakin, bahwa Habib bin Salim telah bertemu (liqâ’) atau mendengar (as-samâ’) hadis dari an-Nu’man bin Basyir. Imam al-Bukhari ragu (syakk), apakah Habib bin Salim pernah bertemu (mendengar) hadis tersebut dari Nu’man bin Basyir (Lihat:Khalid Manshur Abdullah ad-Durais,  Mawqif al-Imâmayni al-Bukhari wa Muslim min Isytirath al-Liqâ’ wa as-Samâ’, Maktabah ar-Rusyd, t.t., hlm. 120-121).

Namun, ketidakyakinan al-Bukhari ini tak berarti ia secara mutlak tak memercayai Habib bin Salim. Dengan mencermati deskripsi al-Bukhari mengenai biografi Habib bin Salim, akan dapat disimpulkan bahwa al-Bukhari sebenarnya mempunyai dugaan kuat (zhann ghâlib), bahwa Habib bin Salim pernah bertemu (liqâ’) atau mendengar (samâ’) dari Nu’man bin Basyir, walau tak sampai derajat yakin.

Ada dua alasan untuk itu. Pertama: Al-Bukhari menyebut Habib bin Salim adalah mawla (bekas budak). Artinya, dulu Habib bin Salim adalah budak milik Nu’man bin Basyir, lalu Nu’man memerdekakan Habib bin Salim. Jadi, sangat mungkin Habib bin Salim mendengar hadis dari Nu’man bin Basyir. Kedua: Al-Bukhari menyebut Habib bin Salim adalah penulis atau sekretaris Nu’man bin Basyir. Pada galibnya, seorang penulis sering bertemu atau mendengar perkataan dari atasannya. Jadi, sangatlah mungkin Habib bin Salim mendengar hadis dari Nu’man bin Basyir. Kedua alasan inilah kiranya yang menjadikan al-Bukhari tetap menilai sahih hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim (Lihat: Khalid Manshur Abdullah ad-Durais, Mawqif al-Imâmayni al-Bukhari wa Muslim min Isytirath al-Liqâ‘ wa as-Samâ’, Maktabah ar-Rusyd, tt, hlm. 121).

Indikasi kedua: Seorang perawi yang dinilai al-Bukhari dengan kalimat “fîhi nazhar” bisa jadi tetap dianggap kredibel oleh ahli hadis lainnya. Ini sungguh terjadi dan contohnya banyak.

Sebagai contoh Habib bin Salim. Meski al-Bukhari menilai dia dengan “fîhi nazhar”, menurut Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani, Ibn ‘Adi, Abu Hatim, Abu Dawud dan Ibn Hiban, Habib bin Salim dianggap tidak ada masalah. Contoh-contoh lainnya banyak diberikan oleh Syaikh Syuaib al-Arna’uth, yang men-tahqiq kitab Siyar A’lam an-Nubala’ karya adz-Dzahabi (XII/439). Di antaranya adalah sebagai berikut:Pertama, perawi bernama Tamam bin Najih. Al-Bukhari menilai dia: “fîhi nazhar”. Namun, Tamam bin Najih dianggap tsiqah oleh Yahya bin Ma’in. Abu Dawud dan at-Tirmidzi juga tidak meninggalkan hadisnya.

Kedua, perawi bernama Rasyid bin Dawud ash-Shan’ani. Al-Bukhari menilai dia: “fîhi nazhar”. Namun, Yahya bin Ma’in menganggap dia tsiqah. Ibn Hibban memasukkan namanya dalam kitabnya, Ats-Tsiqât. An-Nasa’i juga meriwayatkan hadis dari dia.

Ketiga, perawi bernama Tsa’labah bin Yazid al-Hammani. Al-Bukhari menilai dia: “fî hadîtsihi nazhar” (harus diteliti). Namun, an-Nasa’i berkata, dia tsiqah. Ibn ‘Adi mengatakan, “Aku tidak melihat hadisnya mungkar (menyalahi periwayat lain yang lebih tsiqah) dalam kadar yang dia riwayatkan.

Demikan seterusnya, banyak sekali.

Jadi, penilaian al-Bukhari “fîhi nazhar” kepada seorang perawi tidak berarti hadis yang dia riwayatkan secara mutlak tertolak atau selalu tertolak. Pasalnya, bisa jadi para ahli hadis lain menilai perawi tersebut sebagai tsiqah (perawi terpercaya), yang menghimpun karakter ‘adil (taqwa) dan dhabith (kuat hapalannya).

Apalagi tentang Habib bin Salim ini, ia termasuk rijal dalam Shahîh Muslim. Imam Muslim, salah satu murid Imam al-Bukhari, di dalam kitab Shahih-nya pada hadis nomor 2065, juga meriwayatkan hadis dari Habib bin Salim dari Nu’man bin Basyir tentang Rasulullah saw. yang di dalam dua shalat Id dan shalat Jumat membaca “Sabbihisma Rabbika al-A’lâ” dan “Hal atâka hadits al-ghâsyiyah”.

Artinya, menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam mukadimah kitab sahih beliau.  Karena itu bisa dimengerti mengapa Al-Hafizh Ibn Hajar di dalamTaqrîb at-Tahdzîb menyatakan tentang Habib bin Salim ini: lâ ba’sa bihi (tak ada masalah). As-Sakhawi di dalam kitab Fath al-Mughîts menjelaskan bahwa ungkapan lâ ba’sa bihi menurut ulama ilmu ushul al-hadits secara umum adalah tingkat paling rendah untuk menggolongkan perawi sebagai perawi tsiqah. Ibnu Ma’in, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafizh Ibn Katsir, juga mengungkapkan hal yang senada.

Karena itu hadis tetang kembalinya Khilafah ar-Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah di atas bukanlah hadisdha’if. Al-Hafizh al-‘Iraqi dalam kitab Mahajjat al-Qarbi ilâ Mahabbat al-‘Arab menegaskan bahwa hadis tersebut sahih. Ibrahim bin Dawud al-Wasithi, di-tsiqah-kan oleh Abu Dawud ath-Thayalisi dan Ibnu Hibban, dan rijal sisanya (termasuk) dijadikan hujjah di dalam (kitab) sahih. Al-Haitsami di dalam Majma’ az-Zawâid mengomentari hadis tersebut, “Diriwayatkan oleh Ahmad dalam tarjamah An-Nu’man, dan al-Bazar lebih lengkap darinya dan Ath-Thabrani dengan sebagiannya dalam Mu’jam al-Awsath, dan para perawi (rijâl)-nya tsiqah.”

Hadis tersebut juga dinilai sahih oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dan dinyatakan hasan oleh Syaikh Syuaib al-Arna’uth.

Dengan demikian anggapan bahwa bisyarah nabawiyah akan kembalinya Khilafah adalah dha’ifmerupakan anggapan yang tidak benar dan keliru. Apalagi bisyarah akan kembalinya Khilafah itu bukan hanya didasarkan pada satu riwayat Imam Ahmad itu saja. Masih banyak hadis lain yang secara maknawisejalan dengan hadis sahih di atas.

Kesimpulan

Kembalinya Khilafah adalah pasti karena merupakan janji Allah dan bisyarah Nabi-Nya. Karena itu menyerang nash-nash syariah, baik al-Quran maupun as-Sunnah, atau memutarbalikkan maknanya demi imbalan dunia yang tidak seberapa, hanya akan sia-sia belaka. Umat Islam pun kini sudah lebih cerdas dan paham tentang Khilafah. Mereka tidak lagi bisa ditipu, siapapun yang menipu mereka.

Maka dari itu, daripada bersusah-payah menghabiskan energi untuk mengaburkan, menyerang atau membelokkan konsep Khilafah, lebih baik berjuang bersama-sama demi tegaknya kembali Khilafah. Pasalnya, apapun upaya untuk menghalangi tegaknya Khilafah tidak akan pernah berhasil karena melawan janji Allah dan bisyarah Nabi-Nya. Padahal janji Allah dan bisyarah Nabi-Nya itu pasti!

WalLahu a’lam. [(Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI)]


Filed under: Hadis Tagged: hadits khilafah dhaif

Khilafah: Yang Penting Subtansinya?

$
0
0

Soal:

Ada yang menyatakan kaidah ushul, “Al-‘Ibrah bi al-jawhar wa la bi al-mazhhar (Yang menjadi padoman adalah substansinya, bukan kulitnya).” Karena itu dalam konteks Khilafah, kewajiban untuk menegakkannya tidak harus berwujud Khilafah, dari nama hingga bentuk formalnya. Yang penting substansinya. Adapun nama atau kulitnya mutlak sama. Benarkah pandangan ini? Juga, apakah ada kaidah seperti ini? Kalau ada, apakah benar dan bisa digunakan?

Jawab:

Kaidah ushul ini harus dikaji terlebih dulu. Pertama: Kaidah ushul itu merupakan hukum syariah, sama dengan hukum syariah lain, yang digali dari dalil-dalil syariah. Karena itu harus diteliti apakah kaidah di atas benar-benar digali dari dalil-dalil syariah atau tidak.

Penggunaan istilah “jawhar” (substansi) dan “mazhhar” (kulit) sebenarnya tidak pernah digunakan oleh ulama fikih maupun ushul fikih. Kedua istilah ini lebih populer di kalangan ulama kalam. Mereka biasa menggunakan istilah “jawhar” (substansi) dan “aradh” (aksiden). Kedua istilah ini diambil dari filsafat Aristoles tentang substansi dan aksiden. Kedua istilah ini tidak akan kita temukan dalam khazanah fikih maupun ushul fikih klasik. Karena itu kaidah di atas pun tidak dikenal dalam kitab-kitab fikih maupun ushul fikih klasik.

Memang, ada nash-nash syariah yang seolah membahas masalah seperti ini. Misal, ada Hadis Nabi saw. yang menyatakan:

إِنَّ اللّٰهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلاَ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk (wajah) kalian maupun tubuh (fisik) kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan kalian (HR Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah).

Hadis seperti ini sama sekali tak bisa digunakan untuk membangun kaidah yang mengacu pada “jawhar”(substansi) dan “mazhhar” (kulit). Pasalnya, topik hadis ini membahas tentang nilai manusia di mata Allah, yang tidak ditentukan oleh bentuk dan fisiknya, tetapi oleh hati dan amal perbuatannya. Hati tempat iman, sedangkan amal perbuatan standarnya hukum syariah. Jadi, yang dinilai adalah iman dan keterikatan pada hukum syariah. Inilah yang ditegaskan dalam hadis lain:

لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

Orang Arab tidak mempunyai kelebihan atas orang non-Arab, kecuali karena ketakwaan-nya (HR Ahmad).

Hati tempat iman. Di hati pula keikhlasan yang merupakan output keimanan tersebut berada. Keikhlasan ini menjadi salah satu syarat, apakah amal perbuatan itu diterima atau tidak. Syarat lainnya, agar perbuatan diterima oleh Allah, yakni harus sesuai dengan tuntunan Rasul saw. atau hukum syariah. Inilah yang ditegaskan oleh dalam al-Quran:

الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً

Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kalian, siapakah di antara kalian yang paling sempurna amal perbuatannya (QS al-Mulk []: 2).

Karena itu kaidah al-‘ibrah bi al-jawhar bukan merupakan kaidah fikih, ushul maupun syariah. Kaidah ini juga tidak dihasilkan dari istinbath atas dalil-dalil syariah, sebagaimana hukum syariah yang lain.

Kedua: Kaidah fikih, ushul maupun syariah sebagai hukum syariah memang sama-sama digali dari nash syariah, sebagaimana hukum syariah yang lain, tetapi ada perbedaan. Perbedaannya adalah pada penisbatan istilah yang digunakan. Dari segi istilah, kata “jawhar” (substansi) dan “mazhhar” (kulit) bukan merupakan kata yang digunakan dalam ranah hukum syariah atau fikih secara umum. Keduanya biasa digunakan oleh ahli kalam dan filsafat.

Ketiga: Kata “jawhar” (substansi) dan “mazhhar” (kulit) ini diambil dari filsafat Aristoteles tentang substansidan aksiden. Menggunakan kaidah ini dalam kajian hukum Islam akan memaksa penggunaan logikasubstansi dan aksiden Aristoles dalam ranah hukum Islam, yang nota bene berbeda, dan tidak bisa digunakan.

Ini tentang status kaidah ushul di atas. Adapun tentang istilah khilafah—sebagai ism wa musamma (istilah dan konotasi) yang telah digunakan oleh nash syariah dan didefinisikan oleh syariah—maka statusnya sama dengan kata shalat, shaum, zakat, haji, jihad dan ism[un] syar’i yang lain.

Jika shalat sebagai ism wa musamma tidak diambil semua, misalnya yang diambil hanya substansinya, sebut saja zikir (eling), logikanya kalau orang tersebut sudah zikir (eling), berarti sudah menunaikan kewajiban shalat. Jika shaum sebagai ism wa musamma juga tidak diambil semua, misalnya, hanya substansinya, yaitu menahan diri, maka orang yang tidak makan dan minum, logikanya sudah dihukumi berpuasa, dan kewajiban berpuasanya gugur meski tidak niat. Begitu seterusnya. Faktanya, tidak ada satu pun ulama yang menyatakan pandangan seperti itu.

Sebagaimana hukum shalat, zakat, puasa, haji, jihad maupun yang lain, khilafah sebagai ism syar’i harus diambil apa adanya, dengan ism wa musamma (istilah dan konotasi)-nya. Nama, bentuk negara, sistem pemerintahan, struktur dan seluruh hukum syariah yang terkait dengan Khilafah harus diambil sebagaimana kita mengambil hukum shalat, zakat, puasa, haji, jihad maupun yang lain, yang merupakanism syar’i.

Karena itu tidak disebut khilafah negara kesatuan yang menganut demokrasi, republik, monarki, teokrasi; atau negara federasi yang menganut monarki, demokrasi, republik dan sebagainya. Tidak pula disebutkhilafah negara yang dipimpin oleh orang kafir, presiden, raja, atau kaisar. Bukan pula khilafah negara yang berbentuk nation state meski dideklarasikan sebagai khilafah, seperti Darul Islam Indonesia (DII), Daulah Islam Irak wa as-Syam (ISIS), atau yang lain.

Jika ada yang mengatakan, apakah bisa disamakan Khilafah dengan shalat? Bukankah shalat dinyatakan dengan tegas dalam bentuk sunnah fi’liyyah, qawliyyah dan taqriyyah yang jelas, ketika Nabi saw. memperagakan shalat di atas Bukit Shafa, yang disaksikan para sahabat, kemudian beliau memerintahkan mereka untuk mengerjakan shalat seperti beliau? Apakah hal yang sama juga diperagakan Nabi saw. dalam menjalankan pemerintahan atau negara?

Jawabannya sudah jelas. Nabi saw. telah memperagakan secara jelas pemerintahan dan praktik kenegaraan selama 10 tahun, setelah hijrah ke Madinah. Dalam rentang 10 tahun itu, bukan hanya sunnah fi’liyyah yang diperagakan Nabi saw. dalam menjalankan pemerintahan dan praktik kenegaraan, tetapi sunnah qawliyyah dan taqriyyah di dalamnya sangat banyak. Semuanya ini bisa dibaca antara lain dalam kitab karya Al-Hafidh al-Kattani, At-Taratib al-Idariyyah dan Majmu’ah al-Watsa-iq as-Siyasiyyah li al-‘Ahdi an-Nabawi wa al-Khilafah ar-Rasyidah karya Dr. Hamidu-Llah.

Karena itu ketika Nabi saw. wafat tidak ada yang tidak jelas. Nabi saw. sendiri bersabda:

تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ مَنْ يَعِشُ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اِخْتِلاَفًا كَثِيْرًا عَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الراَّشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذْ

Aku meninggalkan kalian dalam keadaan yang jelas-sejelasnya, malamnya seperti siang harinya. Tidak akan menyimpang dari keadaan itu setelah aku, kecuali orang yang celaka. Siapa saja di antara kalian yang masih hidup akan melihat banyak perselisihan. Kalian wajib berpegang teguh dengan apa yang kalian ketahui tentang Sunnahku dan Sunnah Khulafaur-Rasyidin yang mendapat hidayah. Kalian wajib menggigit sunnah-sunnah tersebut kuat-kuat dengan gigi geraham (HR Ibn Majah).

Karena itu, begitu Rasul saw. wafat, tidak ada ikhtilaf di kalangan Sahabat tentang kewajiban mengangkat khalifah yang menggantikan beliau dalam mengurus urusan umat, agama dan negara. Bahkan mereka lebih mendahulukan urusan ini ketimbang mengurus jenazah Rasulullah saw. Padahal menyegerakan pengurusan jenazah hukumnya fardhu. Namun, karena ada fardhu yang lebih penting dan krusial, maka pengurusan jenazah Nabi saw. yang agung tersebut ditangguhkan.

Kalaupun ada perselisihan, bukan terletak pada wajib-tidaknya mengangkat khalifah, tetapi tentang siapa kandidat yang paling layak. Ini masalah biasa. Pasalnya, Nabi saw. sendiri tidak menunjuk putra mahkota, sebagaimana yang diklaim oleh orang Syiah. Jika kemudian Abu Bakar ra. menunjuk, bukan berarti tindakan beliau menyalahi Sunnah Nabi saw. Pasalnya, penunjukkan Abu Bakar ra. terhadap Umar ra. dilakukan setelah Abu Bakar ra. mengetahui pendapat seluruh penduduk Madinah, bahwa Umarlah kandidat yang mereka inginkan untuk menggantikan beliau. Begitu seterusnya.

Tinggal satu masalah: Bagaimana dengan penyebutan Khilafah, yang kadang disebut Imamah atau Daulah Islamiyah? Khalifah juga tidak selalu disebut Khalifah, tetapi kadang disebut Amirul Mukminin, Imam, atauSulthan al-Muslimin, dan seterusnya. Bukankah kalau ini merupakan ism syar’i seharusnya konsisten, tetapi nyatanya tidak. Bagaimana ini?

Jawabannya, bahwa penggunakan istilah lain selain Khilafah dan Khalifah—seperti Imamah dan Daulah Islamiyah—untuk menyebut Khilafah ini merupakan penggunaan istilah menurut konvensi keilmuan. Istilah Khilafah digunakan dalam nash syariah. Istilah Imamah digunakan oleh ulama Ushuluddin. Adapun istilah Daulah Islamiyah digunakan kemudian setelah buku Plato dan Aristoteles diterjemahkan. Istilah yang terakhir ini digunakan sebagai terminologi modern, setelah digunakan oleh Ibn Qutaibah dan Ibn Khaldun. Jadi, kedua istilah terakhir ini merupakan sinonim dari istilah Khilafah.

Penggunaan kedua istilah ini diterima oleh para ulama karena musamma (konotasi)-nya sama, dan tidak ada sedikit pun perbedaan di antara ketiganya. Sebaliknya, penggunaan istilah negara republik, kerajaan,federasi, republik-demokratik, uni-emirate, dan sebagainya sebagai sinonim Khilafah jelas tidak bisa. Alasannya, karena musamma (konotasi)-nya memang berbeda.

Adapun penggunaan istilah Imam, Amirul Mukminin, Sulthan al-Muslimin, Rais ad-Daulah al-Islamiyahuntuk menyebut Khalifah juga boleh. Pasalnya, istilah-istilah tersebut musamma (konotasi)-nya sama. Tentu berbeda jika presiden, raja, emir, perdana menteri atau yang lain digunakan untuk menyebutKhalifah; karena konotasinya berbeda.

Harus juga diperhatikan, bahwa di balik istilah tersebut ada konotasi (musamma), yang menggambarkan konsep (fikrah) dan metode (thariqah) tertentu. Masing-masing juga dibangun dengan akidah dan sistem yang berbeda. Karena itu penggunaan istilah yang mempunyai konotasi berbeda jelas merupakan bentuk penyesatan berpikir (tadhlil fikri). Misal, negara kesatuan republik, uni-emirate atau kerajaan Arab untuk menyebut Khilafah jelas merupakan bentuk penyesatan berpikir (tadhlil fikri).

WalLahu a’lam. []


Filed under: Politik Tagged: islam substantif

Bolehkah Berutang dari Negara Asing?

$
0
0

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullâh wa barakâtuhu.

Syaikhuna, semoga Allah memuliakan engkau dengan Islam dan semoga Allah memuliakan Islam dengan engkau dan saya berdoa kepada Allah agar menjadi bagian dari orang yang membaiat engkau dengan khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu… Saya punya pertanyaan seputar masalah berutang dari negara asing dan institusi-institusi keuangan internasional… Pertanyaannya: kapan berutang itu boleh dan apa syarat-syarat yang karenanya boleh berutang? Apakah ada perbedaan jika negara itu negara mu’ahadah atau negara harbiyah??? Semoga Allah menolong engkau untuk apa yang di dalamnya ada kebaikan bagi Islam dan kaum Muslimin di dunia dan akhirat. Wassalâmu’alaikum wa rahmatullâh wa barakâtuhu.

 

Jawab:

Wa’alaikumussalâm wa rahmatullâh wa barakâtuhu.

Tampaknya terjadi kerancuan pada Anda apa yang dinyatakan di al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah “adapun berutang dari negara asing dan institusi-institusi keuangan internasional, maka itu secara syar’iy tidak boleh. Sebab berutang darinya tidak terjadi kecuali dengan bunga ribawi. Dan jika tidak maka dengan syarat-syarat tertentu.” Seolah-olah Anda menduga bahwa ungkapan tersebut memberi pengertian bahwa di situ ada syarat-syarat yang dengannya boleh berutang dari negara asing dan institusi-institusi keuangan internasional, lalu Anda bertanya tentang syarat-syarat tersebut. Sementara masalahnya tidak demikian. Akan tetapi, ungkapan itu memberi pengertian bahwa berutang dari negara-negara asing dan institusi-institusi keuangan internasional adalah tidak boleh dikarenakan dua sebab: di dalamnya ada bunga ribawi dan di dalamnya ada syarat-syarat. Dan karena berutang itu begitu maka tidak boleh. Buku al-Amwâl menjelaskan masalah tersebut di paragraf sisanya. Di situ dinyatakan:

(Bunga ribawi adalah haram secara syar’iy, baik untuk individu atau negara. Dan syarat-syarat tersebut menjadikan negara-negara dan institusi-institusi kreditor itu memiliki kekuasaan terhadap kaum Muslimin dan membuat kehendak kaum Muslimin dan tindakan-tindakan (kebijakan-kebijakan) mereka tergadai dengan kehendak negara-negara dan institusi-institusi yang memberi utang itu. Dan yang demikian itu secara syar’iy adalah tidak boleh. Utang internasional itu termasuk musibah paling berbahaya atas negeri Islam dan termasuk sebab-sebab pemaksaan kontrol kaum kafir terhadap negeri-negeri kaum Muslimin. Dan umat mengalami derita panjang karena akibatnya. Karena itu, utang internasional itu tidak boleh bagi khalifah untuk merujuknya guna menutupi belanja atas pos-pos ini.)

Atas dasar itu, maka berutang dari negara-negara asing sesuai penjelasan di atas adalah tidak boleh. Adapun pertanyaan sisanya seputar negara asing itu jika dalam kondisi perang atau terikat perjanjian, maka masalah itu sebagai berikut:

Sesuai kaidah-kaidah utang internasional saat ini maka berutang itu tidak akan kosong dari pelanggaran-pelanggaran syara’ “riba dan syarat-syarat yang menyalahi syariah”. Atas dasar itu maka tidak boleh berutang dari negara asing, baik apakah negara asing itu negara yang sedang memerangi kita (daulah muhâribah) atau negara yang terikat perjanjian (dawlah mu’âhadah) menurut perjanjian-perjanjian internasional saat ini.

 

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

5 Shafar 1436 H

27 November 2014 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_41754

 

Sumber :

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau
Jawaban Pertanyaan: Berutang dari Negara Asing
Kepada Ahmad Sa Saad


Filed under: Ekonomi Tagged: hutang luar negeri

Bolehkah Mengkritik Penguasa di Muka Umum?

$
0
0

Tanya :

Bolehkah mengkritik penguasa di depan umum? Apakah tidak termasuk ghibah yang dilarang Islam? (Adiyat, Bima NTB)

Jawab :

Mengkritik penguasa di muka umum hukumnya boleh dan tak termasuk ghibah yang dilarang dalam Islam. Dalilnya ada dua; Pertama, dalil-dalil mutlak mengenai kritik kepada penguasa. Kedua, adanya dalil-dalil bahwa mengkritik penguasa yang zalim tidaklah termasuk ghibah yang diharamkan dalam Islam.

Dalil pertama, adalah dalil-dalil mutlak mengenai amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa. Misal sabda Nabi SAW :

أَفْضَلُ الْجِهَادِ، كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (haq) kepada penguasa (sulthan) yang zalim.” (HR Abu Dawud 4346, Tirmidzi no 2265, dan Ibnu Majah no 4011).

Dalil ini mutlak, yakni tanpa menyebut batasan tertentu mengenai cara mengkritik penguasa, apakah secara terbuka atau tertutup. Maka boleh hukumnya mengkritik penguasa secara terbuka, berdasarkan kemutlakan dalil tersebut, sesuai kaidah ushuliyah : al ithlaq yajri ‘ala ithlaqihi maa lam yarid dalil yadullu ‘ala al taqyiid (dalil mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan batasan/syarat). (M. Abdullah Al Mas’ari, Muhasabah Al Hukkam, hlm. 60).

Bolehnya mengkritik secara terbuka juga diperkuat dengan praktik para shahabat Nabi SAW yang sering mengkritik para Khalifah secara terbuka. Diriwayatkan dari ‘Ikrimah RA, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA telah membakar kaum zindiq. Berita ini sampai kepada Ibnu Abbas RA, maka berkatalah Ibnu Abbas RA :

لو كنت أنا لم أحرقهم، لنهي رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تعذِّبوا بعذاب الله. ولقتلتهم، لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم: من بدَّل دينه فاقتلوه

Kalau aku, niscaya tidak akan membakar mereka karena Nabi SAW telah bersabda,”Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api),” dan niscaya aku akan membunuh mereka karena sabda Nabi SAW,’Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR Bukhari no 6524). Hadits ini jelas menunjukkan Ibnu Abbas telah mengkritik Khalifah Ali bin Abi Thalib secara terbuka di muka umum. (Ziyad Ghazzal, Masyru’ Qanun Wasa’il Al I’lam fi Al Daulah Al Islamiyah, hlm.25).

Adapun dalil kedua, adalah dalil bahwa mengkritik penguasa yang zalim tak termasuk ghibah yang diharamkan Islam. Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin telah menjelaskan banyak hadits Nabi SAW yang membolehkan ghibah-ghibah tertentu sebagai perkecualian dari hukum asal ghibah (haram).

Misalnya, hadits dari ‘A`isyah RA bahwa :

عن عائشة رضي الله عنها أن رجلاً استأذن على النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رآه قال: (بئس أخو العشيرة، وبئس ابن العشيرة)

 

“Seorang laki-laki minta izin (untuk bertemu) Nabi SAW, kemudian Nabi SAW bersabda,”Dia adalah saudara yang paling jahat bagi keluarganya atau anak yang paling jahat di tengah-tengah keluarganya.” (HR Bukhari no 5685 & Muslim no 2591). Hadits ini menunjukkan Nabi SAW telah melakukan ghibah, yaitu menyebut seseorang di hadapan umum lantaran kejahatan orang itu.

Berdasarkan dalil-dalil semacam ini, para ulama telah menjelaskan bahwa ghibah di hadapan umum kepada orang yang jahat, termasuk juga penguasa yang zalim, hukumnya boleh. Imam Ibnu Abi Dunya meriwayatkan pendapat Ibrahim An Nakha`i (seorang tabi’in) yang berkata :

ثلاث لا يعدونه من الغيبة : الامام الجائر والمبتدع والفاسق المجاهر بفسقه

“Ada tiga perkara yang tidak dianggap ghibah oleh mereka (para shahabat), yaitu; imam yang zalim, orang yang berbuat bid’ah, dan orang fasik yang terang-terangan dengan perbuatan fasiknya.”

Al Hasan Al Bashri (seorang tabi’in) juga berkata :

ثلاث ليس لهم غيبة : صاحبهوىوالفاسق المعلن بالفسق والامام الجائر

”Ada tiga orang yang boleh ghibah padanya, yaitu; orang yang mengikuti hawa nafsu, orang fasik yang terang-terangan dengan kefasikannya, dan imam yang zalim.” (Ibnu Abi Dunya, Al Shumtu wa Adabul Lisan, hlm. 337 & 343).

Memang ada ulama yang mengharamkan mengkritik pemimpin secara terbuka berdasar hadits Iyadh bin Ghanam, bahwa Nabi SAW berkata

من أراد أن ينصح لسلطان بأمر فلا يبد له علانية ولكن ليأخذ بيده فيخلو به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه له

Barangsiapa hendak menasehati penguasa akan suatu perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasehatnya, itu baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa itu.” (HR Ahmad, Al Musnad, Juz III no. 15369). Namun hadits ini dha’if sehingga tidak boleh dijadikan hujjah, karena dua alasan : (1) sanadnya terputus (inqitha’), dan (2) ada periwayat hadits yang lemah, yaitu Muhammad bin Ismail bin ‘Iyasy. (M. Abdullah Al Mas’ari, Muhasabah Al Hukkam, hlm. 41-43). Wallahu a’lam.[www.konsultasi.wordpress.com]

Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2014/12/07/bolehkah-mengkritik-penguasa-di-muka-umum/

Tulisan terkait :

1. Bolehkah Menasehati Penguasa di Tempat Umum, Baik secara Langsung maupun Melalui Demonstrasi?

2.  Bolehkah Menasihati Penguasa di Tempat Umum?

3. Kapan Ghibah Diperbolehkan?


Filed under: Politik Tagged: hukum demonstrasi

Larangan Penetapan Harga, Berlaku Untuk Kepemilikan Umum?

$
0
0

Keputusan pemerintah Jokowi untuk menaikan harga BBM, sontak menuai gelombang penolakan masyarakat dari berbagai kalangan. Dua minggu sejak keputusan itu ditetapkan, gelombang penolakan masih terjadi di berbagai daerah. Seperti biasa, kenaikan harga BBM senantiasa diikuti kenaikan harga barang-barang lain. Kenaikannya sangat tidak sebanding dengan kompensasi yang diberikan pemerintah. Di sisi lain, alasan pemerintah sangat tidak logis dan sekedar untuk menutupi alasan sesungguhnya, yakni demi menjaga kepentingan asing. Oleh sebab itu, wajar bila kebijakan ini dinilai sebagai kebijakan yang zhalim, bohong, dan khianat.

Penolakan terhadap sebuah kebijakan yang menyengsarakan rakyat bahkan bertentangan dengan syari’at merupakan suatu kewajiban. Sebab, ia adalah bagian dari aktivitas muhasabatul hukkâm (mengorekasi penguasa). Akan tetapi, sebagaimana kewajiban-kewajiban syar’iy lainnya, aktivitas mengoreksi penguasa tidak boleh dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan syari’at seperti melakukan perusakan terhadap fasilitas umum, bentrok fisik dengan aparat, dan aktivitas-aktivitas fisik lainnya.

Di tengah memuncaknya penolakan masyarakat terhadap kebijakan Jokowi, muncul juga opini—khususnya di dunia maya dan jejaring sosial—bahwa penolakan atas kenaikan harga BBM, atau lebih tepatnya tuntutan kepada Jokowi untuk menurunkan kembali harga BBM justru bertentangan dengan hukum Islam lain, yaitu terkait dengan larangan tas’îr (penetapan harga). Terlepas apakah motivasi penyebaran opini tersebut murni dilatarbelakangi persoalan fiqih atau lebih merupakan dukungan terhadap kebijakan yang ada.

Melalui tulisan singkat ini, penulis berusaha mendudukkan hukum larangan tas’îr tersebut. Secara khusus,apakah larangan tas’ir juga berlaku pada barang yang merupakan kepemilikan umum seperti BBM?

 

Tas’îr dalam Islam

Dalam bahasa arab, tas’îr berasal dari kata sa’ara. Ibnu ‘Ibâd dalam al-Muhîth fi al-lughah, menyatakan bahwa ungkapan sa’aro ahlu sûq (para pedagang dipasar menetapkan harga) artinya as’arû (mereka menetapkan harga). Sementara itu as-si’r artinya harga. Al-Fairuz Abadi dalam …, as-si’r adalah patokan harga (alladzi yaqûmu ‘alauhi tsaman). Dengan demikian, secara bahasa at-tas’îr artinya penetapan harga(taqdîr as-si’r).

Sementara itu, di dalam istilah para fuqaha, at-tas’îr adalah penetapan harga oleh penguasa agar para pedagang di pasar tidak menjual barang-barang mereka kecuali dengan harga yang telah ditetapkan oleh penguasa (al-Imam Zakariya al-Anshariy, Asnal Mathâlib, VIII/50). Lebih luas dari itu, Imam as-Syaukanirahimahullah mendefiniskan at-atas’ir sebagai “penetapan harga oleh penguasa atau wakilanya, atau siapa saja yang memiliki kekuasan dalam mengatur urusan kaum muslimin, bagi para pedagang di pasar, agar mereka tidak menjual barang-barang mereka kecuali dengan harga tertentu, tidak melebihi batas itu atau menguranginya, demi maslahat” (al-Imam asy-Syaukani, Nailul Author, VIII/370). Dengan kata lain, penetapan harga maksimal atau minimal juga merupakan bentuk tas’îr.

Penetapan harga oleh penguasa hukumnya haram menurut pandangan Jumhur fuqha (Jumhur ulama Malikiyah, ar-Rajih/al-Mu’tamad dalam madzhab Syafi’iy, pandangan yang masyhur dikalangan ulama Hanabilah serta riwayat dari kalangan sahabat dan tabi’in). Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Anas RA:

عن أنس -رضي الله عنه- قال: غلا السعر على عهد رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فقالوا: يا رسول الله! سعر لنا. فقال: «إن الله هو المسعر، القابض الباسط الرزاق، وإني لأرجو أن ألقى ربي، وليس أحد منكم يطلبني بمظلمة، في دم ولا مال. (سنن الترمذي 5/ 141 برقم 1235، سنن أبي داود 9/ 311 برقم 2994)

 

“Suatu saat di masa Rasulullah SAW harga merangkak naik. Lalu orang-orang mengatakan, ‘wahai Rasulullah, patoklah harga untuk kami’. Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang menyempitkan dan melapangkan rizki, dan sungguh aku berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan suatu kezaliman, baik dalam darah atau harta’.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Daud).

Juga didasarkan pada hadis Abu Hurairah RA:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَأَنَّ رَجُلًا جَاءَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ سَعِّرْ فَقَالَ بَلْ أَدْعُو ثُمَّ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ سَعِّرْ فَقَالَ بَلْ اللَّهُ يَخْفِضُ وَيَرْفَعُ(سنن أبي داود، 9/310 برقم2993)

Seorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ‘Ya Rasulullah, patoklah harga’. Beliau menjawab, ‘Berdo’alah’. Kemudian datang yang lain dan berkata, ‘Ya Rasulullah, patoklah harga’. Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya Allah lah yang menurunkan dan menaikan harga’.” (HR. Abu Dawud)

Kedua hadis tersebut dengan jelas menunjukan bahwa tas’îr hukumnya haram dan merupakan kezaliman. Bila itu dilakukan, maka pemerintah berdosa, karena telah melakukan keharaman. Oleh sebab itu, seluruh warga negara berhak mengadu kepada mahkamah mazhalim untuk mengadukan kebijakan itu agar dibatalkan.

Adapun madzhab Hanafi yang berpandangan bahwa larangan ini sebatas makruh adalah pendapat yang lemah, sebab terdapat qarinah (indikasi) tegas dalam hadist ini, yaitu pernyataan tersirat Rasulullah SAW bahwa penetapan harga merupakan kezhaliman yang layak diadukan. Begitupun pendapat Madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa tas’îr boleh dilakukan berdasarkan musyawarah dengan ahlu ro’y saat terjadi dhoror, yakni ketika para pedagang menaikan bahan-bahan pokok. Pandangan ini lemah, sebabdhoror tidak boleh dihilangkan dengan kezaliman, melainkan dengan cara-cara lain yang tidak bertentangan dengan syari’at. Tentu bila dhoror yang dimaksud di sini adalah kenaikan harga secara alami. Akan tetapi, bila yang dimaksud dengan dhoror oleh madzhab Hanafi adalah ghobn fâhisy(penetapan harga sebagian pedagang melebihi harga pasar), maka penetapan harga oleh pemerintah terhadap pedagang tersebut tidak termasuk tas’îr, melain izâlat ghabn fâhisy (pemberantasan kecurangan dengan menaikan harga melebihi harga pasar). Hal ini bukan hanya boleh, melainkan wajib dilakukan oleh pemerintah. Oleh sebab itu, pada dasarnya tidak ada pertentangan antara pandangan jumhur dengan pandangan madzhab Hanafi tersebut (Selanjutnya lihat al-‘Inayah Syarhul hidayah, lil Imam Muhammad Bin Muhammad al-Babirty al-Hanafiy, XIV/283).

Dari pandangan ekonomis, penetapan harga mengakibatkan munculnya tujuan yang saling bertentangan. Harga yang tinggi, pada umumnya bermula dari situasi meningkatnya permintaan atau menurunnya suplai. Pengawasan harga hanya akan memperburuk situasi tersebut. Harga yang lebih rendah akan mendorong permintaan baru atau meningkatkan permintaannya, serta akan mengecilkan hati para importir untuk mengimpor barang tersebut. Pada saat yang sama, hal tersebut akan mendorang produksi dalam negeri, mencari pasar luar negeri (yang tak terawasi), atau menahan produksinya sampai pengawasan harga secara lokal itu dilarang. Akibatnya, akan terjadi kekurangan supply. Di sisi lain, penetapan harga juga akan membuka peluang pasar-pasar gelap yang menjualbelikan barang berbeda dengan harga yang telah ditetapkan. Alih-alih, menyelesaikan masalah, malah menambah masalah baru dan membuat harga semakin tinggi. Selain itu, penetapan harga juga bisa saja berimbas pada menurunnya produksi. Alhasil, tas’îr bukan hanya tindakan zhalim bagi pemilik barang, tapi juga dhororbagi masyarakat secara umum.

Cara Islam menurunkan harga

Sebagaimana diketahui, kenaikan harga diakibatkan oleh dua faktor utama. Pertama,  kelangkaan barang (menurunnya penawaran), baik terjadi secara alamiah, seperti berkurangnya produksi, ataupun permainan para pedagang dengan maraknya pelaku penimbunan (ihtikar), atau sebab lain seperti terjadi bencana. Kedua, tingginya permintaan, semisal menjelang hari-hari besar Islam. Dalam sistem kapitalis, kenaikan harga juga bisa diakibatkan oleh penurunan nilai mata uang terhadap barang dan mata uang lain (inflasi).

Semua faktor di atas, sesungguhnya bisa dikontrol dan diselesaikan tanpa harus melakukan tas’îr. Bila kelangkaan itu disebabkan oleh maraknya para penimbun, maka Islam telah melarang ihtkar(menimbun). Dalam hadis riwayat Muslim dari Sa’id Ibnu Musayyib dari Mu’ammar, Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ)رواه مسلم)

“Siapa saja yang menimbun barang maka ia berdosa.(HR. Muslim)

Dalam lafadz lain, Imam Muslim meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئ)رواه مسلم)

 

“Tidak menimbun kecuali orang yang berdosa.” (HR. Muslim)

 

Al-khâti‘ artinya al-mudznib al-‘âshiy (orang yang berdosa). Sementara, ihtikâr adalah menimbun atau menyimpan barang hingga harganya naik (jam’ul sila’ intizhôron lighalâihâ) sehingga pemilik barang bisa menjual dengan harga yang lebih tinggi, sementara masyarakat kesulitan untuk mendapatkan barang tersebut.

Adapun bila kenaikan barang akibat berkurangnya supply barang atau meningkatnya permintaan, maka negara berkewajiban untuk menambah supply dan melakukan pengadaan barang dari wilayah kaum muslimin lain atau dengan cara impor, bahkan dengan cara membebaskan bea masuk, sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Beliau menyuplai kebutuhan penduduk Hijaz dengan mendatangkan barang dari Mesir dan wilayah Syam.

Dua cara ini, bila sungguh-sungguh dilakukan oleh negara maka tas’îr menjadi tidak perlu untuk dilakukan. Sementara itu, kenaikan harga barang akibat melemahnya nilai tukar mata uang, masalah ini tidak akan terjadi bila sistem moneter Islam diterapkan, yakni dengan mengubah sistem mata uang yang berlaku sekarang dengan sistem mata uang emas dan perak. Sebab, nilai intrinsik dan ekstrinsik kedua mata uang ini sama, maka kenaikan atau penurunan harga keduanya tidak akan berpengaruh besar terhadap harga barang, seperti yang terjadi dalam sistem kapitalis sekarang.

Penetepan Harga pada Barang Milik Umum

Larangan tas’îr memang bersifat umum mencakup seluruh jenis barang. Sebab, nash-nash yang menjadi dasar larangan itu bersifat umum dan mutlak. Baik terkait makanan pokok ataupun bukan. Baik dilakukan pada saat perang atau dalam kondisi damai. Baik dalam kondisi naiknya harga barang atau saat turun, dan seterusnya. Meski demikian, larangan tas’îr tidak bisa diterapkan pada barang-barang kepemilikian umum yang pemanfaatannya memerlukan biaya dan usaha besar, serta tidak mudah dimanfaatkan secara perorangan. Sebab dalam barang-barang tersebut, negara lah yang memiliki shalahiyah(kewenangan) untuk melakukan distribusi sekaligus menetepakan teknis distribusi milik umum tersebut kepada seluruh kaum muslimin, baik dengan cara membagikannya secara gratis, menjualnya sesuai biaya produksinya, atau menjualnya sesuai dengan harga pasar dengan mengembalikan seluruh keuntungannya kepada kaum muslimin sesuai dengan kemaslahatan mereka. Negara dalam hal ini berkedudukan sebagai wakil kaum muslimin. Negara menyimpan harta yang berasal dari kepemilikan umum di baitul mal dalam pos khusus, yakni diwân milkiyyah ‘âmmah. Pemisahan pos ini ditujukan agar distribusinya benar-benar bisa merata atau dirasakan dampaknya oleh seluruh rakyat. Dengan kata lain, dipisahkan dari pos zakat yang pos penerimanya lebih ketat, dan dipisahkan dari pos fai‘i yang pos penerimanya lebih longgar. (Lihat: Al-Amwal fi daulatil khilafah, lil ‘allamah ‘Abdul Qadîm Zallum).

Alhasil, larangan tas’îr tidak berlaku dalam barang-barang yang merupakan kepemilikan umum. Sebab, negara merupakan wakil kaum muslimin dalam pengelolaan harta milik bersama mereka. Hukum larangan tas’îr hanya bisa diterapkan pada jenis harta yang merupakan milik pribadi (al-milkiyyah fardiyyah). Hal tersebut dikarenakan makna kepemilikan itu adalah hak kuasa sepenuhnya atas barang itu. Sementara, fakta tas’îr adalah pembatasan atas hak kepemilikan pribadi rakyat (al-hajru ‘alaihim). Itulah yang dilarang dan mengakibatkan kezaliman. Namun, fakta itu tidak ada dalam kekepemilikan umum yang pengaturannya diserahkan kepada negara.

Oleh sebab itu, dalam konteks kenaikan harga BBM sesungguhnya tidak berlaku larangan tas’îr karena BBM merupakan harta milik umum. Tuntutan masyarakat untuk menurunkan harga BBM juga tidak bisa dipahami sebagai tuntutan untuk melakukan tas’îr, melainkan tuntutan untuk membuat kebijakan yang lebih pro terhadap kemaslahatan rakyat dalam hal distribusi harta yang sesungguhnya merupakan milik mereka. Sebab, madharat akibat penaikan harga BBM sangat berat bagi masyarakat.

Lebih jauh dari itu, rakyat wajib mengingatkan pemerintah agar pengelolaan harta milik umum tidak diserahkan kepada swasta. Sungguh, liberalisasi migaslah yang membuat BMM selalu dituntut naik. Oleh sebab itu, kebijkan penaikan harga BBM bukan hanya zalim, melainkan juga bertentangan dengan syari’at karena dilatarbelakangi oleh liberalisasi migas kepada asing. Akibatnya, pemerintah dituntut selalu mengedepankan kepentingan mereka ketimbang kepentingan rakyat. Inilah kebijakan yang khianat, yang seringkali disertai dalih-dalih yang tidak logis, seperti masalah beban APBN, subsidi yang tidak tepat sasaran, subsidi yang komsumtif, dan seterusnya. Tak heran, bila kebijakan yang bertentangan dengan syari’at ini akhirnya menjadi kebijakan yang zalim dan bohong.

BMM Milik Umum

Kepemilikan umum adalah izin syari’ kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh syari’ bahwa barang-barang tersebut untuk suatu komunitas—mereka masing-masing saling membutuhkan—dan syari’ melarang benda tersebut dikuasai oleh hanya seorang saja.

Dalam Islam, barang-barang tersebut dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, barang yang merupakan hajat hidup orang banyak (marâfiqul jamâ’ah), jika tidak ada di dalam suatu negeri atau suatu komunitas, maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya. Kedua, barang tambang yang depositnya melimpah.Ketiga, sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.

BMM masuk dalam katagori barang milik umum jenis pertama dan kedua, setidaknya dengan tiga wajhul istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil). Pertama, melalui tahqîq manath (kajian fakta/realitas) dari lafadz an-Nâr (api) pada sabda Rasulullah SAW,

المسلمون شركاء في ثلاث في الماء والكلاء والنار   (رواه أبو داود عن ابن عباس)

Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang dan api.” (HR. Abu Dawud)

Para fuqaha terdahulu memahami lafadz an-nâr, sebagai cahaya yang dihasilkan dari api. Sebagain lain men-tahqîq, bahwa yang dimaksud adalah batu sebagai sumber api. Imam as-Syaukani, dalam Nailul Author menyatakan, “hadis-hadis dalam bab ini secara keseluruhan menunjukan adanya hak bersama(isytirôk) dalam tigal hal di atas secara mutlak, tak ada satupun dari ketiganya keluar dari hukum ini kecuali dengan dalil” (al-Imam as-Syaukani, Nailul Author, VI/38). Oleh sebab itu, semua jenis energi yang bersumber dari api termasuk dalam katagori ini, termasuk di dalamnya listrik dan BBM.

Kedua, meski hadis di atas menggunakan lafadz tsalâts (tiga), yang merupakan ‘adad mu’ayyan (bilangan tertentu) yang dapat diambil mafhum mukhalafah-nya. Dalam arti yang dilarang untuk untuk dimiliki perorangan itu adalah (tiga) benda tersebut, bukan empat, dua, atau bilangan lainnya, dan meski tiga benda ini juga berbentuk isim jamid (benda dan bukan sifat hingga bisa ditarik mafhumnya atau di-qiyas-kan pada benda lain). Dengan pengkajian yang lebih mendalam dan penelaahan terhadap hadis-hadis lainnya, ternyata Rasulullah SAW membiarkan orang-orang Thaif dan Khaibar untuk memilikinya untuk mengairi sawah dan kebun mereka. Dari fakta ini dapat disimpulkan, andai larangan kepemilikin air itu karena zatnya, niscaya Rasulullah SAW melarang mereka untuk memilikinya, namun ternyata tidak. Hal ini menunjukan hukum isytirôk (kepemilikan bersama) adalah karena sifat tertentu, yakni sifat al-ihtyâj ilaiha(kebutuhan atas benda itu). Oleh sebab itu, sifat ini dapat dijadikan sebagai ‘illat hukum isytirôk pada barang-barang tersebut. Dalam ilmu ushul yang demikian itu disebut dengan ‘illat mustanbath (‘illat yang digali dari beberapa dalil-dalil syar’iy).

Dikarenakan hukum ini sesungguhnya memiliki ‘illat, maka bisa diqiyaskan pada benda lain, seperti BBM (andai ia tidak bisa dimasukan dalam fakta an-nâr/api). Air, padang, dan api adalah ashal (…). Al-isytirôk(kepemilikan bersama dan larangan privatisasi) sebagai hukum. BBM sebagai furu’ (fakta cabang). Al-ihtiyaj ilaiha/ kaunuha min marofiqil jama’ah (fakta benda-benda tadi sebagai hajat hidup orang banyak) sebagai ‘illat (alasan hukum). Inilah rukun-rukun dalam kasus qiyas BBM atas air, padang, dan api. Sekali lagi, perlu dicatat bahwa qiyas ini hanya dijadikan sandaran ber-istidhlal bila kita tidak memasukan BMM sebagai manath dari api.

Ketiga, penarikan kesimpulan yang lebih jelas dari kedua poin di atas adalah fakta bahwa BBM merupakan tambang yang depositnya melimpah. Sementara Rasulullah SAW melarang setiap jenis tambang yang depositnya melimpah untuk dimiliki perorangan.

عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ : أَنَّهُ وَفْدَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِى بِمَأْرِبَ فَقَطَعَهُ لَهفَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ : أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزِعَ مِنْهُ

 

“Dari Abyadh bin Hammal: beliau menghadap kepada Nabi saw dan memohon diberikan bagian dari tambang garam yang menurut Ibnu Mutawakkil, berada di daerah Ma’rib lalu beliau memberikannya. Namun tatkala orang tersebut berpaling, seseorang yang berada di majelis beliau berkata, “Tahukah Anda bahwa yang Anda berikan adalah [seperti] air yang mengalir? Maka beliau pun membatalkannya.” (HR. Baihaqi)

 

Bagaimana Kebijakan sesuai Syari’at dan Pro Rakyat?

Karena BBM merupakan harta miliki umum, maka haram diserahkan kepada swasta, baik perorangan ataupun kelompok, terlebih kepada perusahaan asing. Sebaliknya, BBM wajib dikelola oleh negara dengan prinsip ri’âyah (pengelolaan urusan rakyat) bukan bisnis. Sebab, barang milik umum tidak boleh dibisnikan. Rasulullah SAW bersabda,

المسلمون شركاء في ثلاث في الماء والكلاء والناروَثَمَنُهُ حَرَامٌ(رواه ابن ماجه عن ابن عباس)

Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang, dan api. Dan harganya haram.(HR. Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas)

Negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaan harta milik umum, sebalikanya ia wajib mendistribusikannya kepada pemiliknya, sesuai ijtihad khalifah. Negara dapat mendistribusikannya secara cuma-cuma, menjualnya sesuai biaya produksinya atau menjualnya sesuai dengan harga pasar dan mengembalikan hasil penjualannya kepada rakyat. Semua itu dilakukan dengan memperhatikan kemaslahatan rakyat. Menjual harta milik umum sesuai dengan harga pasar pada dasarnya boleh, namun bila itu menimbulkan dhoror dan menyengsarakan rakyat maka menjadi haram, seperti yang terjadi pada kasus pengelolaan BMM saat ini.

Menyerahkan BMM kepada pihak asing merupakan bentuk pelanggaran terhadap syari’at. Sementara menjualnya sesuai dengan harga pasar merupakan bentuk kezhaliman. Sebab, meski memang tidak setiap orang menggunakan BBM secara langsung, namun faktanya kenaikan harga BBM akan mendongkrak harga-harga barang yang lain, menyebabkan infalsi, menurunkan daya beli dan akibat-akibat buruk lainnya. Akhirnya, masyarakat menjadi semakin sengsara. Pengalihan dana subsidi kepada sektor lain—andai itu benar dilakukan—sangatlah tidak sebanding dengan dampak kenaikan harga BMM sendiri. Oleh karena itu, kemaslahatan masyarakat mengharuskan distribusi kepemilikan umaum seperti BBM dilakukan dengan cara mendistribusikannya secara cuma-cuma atau paling tidak menjulanya dengan harga murah.

Karena BBM merupakan perkara yang sangat vital, maka bila suatu saat pasokan BBM dalam negeri tidak mencukupi—jika kondisi ini terjadi meski pemerintah mengelolanya sendiri secara sungguh-sungguh—maka negara dapat melakukan subsitusi dari harta milik umum lainya atau subsidi dari pemasukan posbaitul mal lainya, selain pos harta milik umum. Akan tetapi, kebijakan ini mustahil dilakukan dalam sistem kapitalis seperti sekarang. Kebijakan pro rakyat ini hanya akan terwujud dalam sistem Islam dalam naungan Khilafah. Khilafah lah yang akan mengembalikan kekayaan alam kepada seluruh warganya. Mengembalikannya kepada orang-orang yang beriman dan memberikan kesempatan kepada orang-orang kafir yang tunduk pada pemerintahan Islam untuk menikmatinya. Allah SWT berfirman,

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (الأعراف: 32)

 

Katakanlah,”Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik”. Katakanlah, “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. 7:32)

Wallahu A’alam bi as-Shawab. [Abu Muhtadi]


Filed under: Ekonomi

Hukum Otopsi Dalam Pandangan Syariah Islam*

$
0
0

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI**

Pengetian dan Macam Otopsi

Otopsi (bedah mayat) adalah pemeriksaan mayat dengan jalan pembedahan (surgery, at tasyriih). Ada tiga macam otopsi; (1) otopsi anatomis, yaitu otopsi yang dilakukan mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu anatomi. (2) otopsi klinis, yaitu otopsi untuk mengetahui berbagai hal yang terkait dengan penyakit (misal jenis penyakit) sebelum mayat meninggal. (3) otopsi forensik, yaitu otopsi yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap korban pembunuhan atau kematian yang mencurigakan, untuk mengetahui sebab kematian, menentukan identitasnya, dan sebagainya.

Pendapat Ulama Tentang Otopsi

Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum otopsi di atas dalam dua pendapat.

Pertama, membolehkan ketiga otopsi di atasan. Aasannya, otopsi dapat mewujudkan kemaslahatan di bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan. Ini adalah pendapat sebagian ulama, seperti Syeikh Hasanain Makhluf (ulama Mesir), Syeikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi (ulama Suriah), dan beberapa lembaga fatwa seperti Majma’ Fiqih Islami OKI, Hai`ah Kibar Ulama (Arab Saudi), dan Fatwa Lajnah Da`imah (Arab Saudi). (Lihat : As-Sa’idani, Al-Ifadah Al-Syar’iyah fi Ba’dh Al-Masa`il Al-Thibiyah, hlm. 172; M. Ali As-Salus,Mausu`ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashirah, hlm. 587; Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 170; Al-Hazmi, Taqrib Fiqh Al-Thabib, hlm. 90).

Kedua, mengharamkan ketiga otopsi tersebut. Alasannya, otopsi telah melanggar kehormatan mayat. Padahal Islam melarang melanggar kehormatan mayat yang sepatutnya dijaga, berdasarkan sabda Nabi SAW :

كسر عظم الميت ككسره حياً

“Memecahkan tulang mayat sama dengan memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (kasru ‘azhmi al-mayyit ka-kasrihi hayyan). (HR Abu Dawud, no 3207, hadits shahih; HR Ahmad, Al Musnad, no 24.783).

Ini adalah pendapat sebagian ulama lainnya, seperti Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani (ulama Palestina), Syeikh Bukhait Al-Muthi’i, dan Hasan As-Saqaf. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 170;Nasyrah Soal Jawab, 2/6/1970).

Tarjih (Memilih Pendapat Terkuat)

Menurut kami, pendapat yang terkuat (rajih) adalah pendapat kedua, yang mengharamkan ketiga jenis otopsi, berdasarkan dua dalil sebagai berikut :

Pertama, pendapat yang membolehkan dalilnya adalah kemaslahatan, atau (Mashalih Mursalah). PadahalMashalah Mursalah dalam ilmu ushul fiqih bukanlah dalil syar’i (sumber hukum) yang kuat, atau disebut dalil syar’i yang mukhtalaf fiihi (keabsahannya sebagai sumber hukum diperselisihkan oleh para ulama). Sumber hukum yang kuat menurut jumhur (mayoritas) ulama, adalah yang tak diperselisihkan oleh para ulama (muttafaq ‘alaihi), yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas. Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Mashalih Mursalah tidak layak menjadi dalil syar’i. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/444);

Kedua, terdapat hadits-hadits shahih yang melarang melanggar kehormatan mayat, seperti mencincang, menyayat, atau memecahkan tulangnya sebagaimana di atas.

Namun, keharaman otopsi ini hanya untuk mayat muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 179; Nashiruddin Al-Albani, Ahkam Al-Jana`iz, hlm. 299).

Sebab di samping hadits dengan lafal mutlaq (tak disebut sifatnya, yaitu semua mayat) seperti dalam riwayat Abu Dawud di atas, ternyata ada hadits shahih dengan lafal muqayyad (disebut sifatnya, yaitu mayat mu`min/muslim), yakni sabda Nabi SAW :

ان كسر عظم المؤمن ميتا مثل كسره حيا

“Sesungguhnya memecahkan tulang mu`min yang sudah mati, sama dengan memecahkannya saat dia hidup.” (inna kasra ‘azhmi al-mu`min maytan mitslu kasrihi hayyan.) (HR Ahmad, no 24.353 & 24.730; Imam Malik, Al-Muwathha`, 2/227, no 253; Imam Ad-Daruquthni, Sunan Ad-Daruquthni, 8/208, no 3459; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, 14/297; Al-Thahawi, Musykil Al-Atsar, 3/281; Al-Albani, Shahih wa Dhaif Al-Jami’ Ash-Shaghir, 9/353).

Penyimpulan hukum bahwa otopsi hanya haram untuk mayat muslim dan boleh untuk mayat non-musim, sejalan dengan sebuah kaidah ushuliyah (kaidah untuk menyimpulkan hukum Islam) yang menyebutkan :

المطلق يجري على إطلاقه ما لم يرد دليل يدل على التقييد

Al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at taqyiid.

(dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya batasan/muqayyad). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Juz 1 hlm. 208)

Kesimpulannya, otopsi hukumnya haram jika mayatnya muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh.

Mengkritisi Fatwa MUI Tentang Otopsi

Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah, pada dasarnya mengharamkan otopsi (otopsi forensik dan otopsi klinis), tapi kemudian membolehkan asalkan ada kebutuhan pihak berwenang dengan syarat-syarat tertentu.

Dalam fatwa MUI tersebut pada “Ketentuan Hukum” nomor 1 disebutkan,”Pada dasarnya setiap jenazah harus dipenuhi hak-haknya, dihormati, keberadaannya dan tidak boleh dirusak.” Ini artinya, menurut MUI hukum asal otopsi adalah haram.

Kemudian pada “Ketentuan Hukum” nomor 2 pada Fatwa MUI tersebut disebutkan, “Otopsi jenazah dibolehkan jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh pihak yang punya kewenangan untuk itu.” Ini berarti hukum asal otopsi tersebut dikecualikan, yaitu otopsi yang asalnya haram kemudian dibolehkan asalkan ada kebutuhan dari pihak berwenang.

Kebolehan otopsi tersebut menurut MUI harus memenuhi 4 (empat) syarat. Dalam “Ketentuan Hukum” nomor 3 pada Fatwa MUI tersebut, disebutkan 4 syarat tersebut, yaitu ;”

(1) otopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang dibenarkan secara syar’i (seperti mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum, penelitian kedokteran, atau pendidikan kedokteran), ditetapkan oleh orang atau lembaga yang berwenang dan dilakukan oleh ahlinya,

(2) otopsi merupakan jalan keluar satu-satunya dalam memenuhi tujuan sebagaimana dimaksud pada point,

(3) jenazah yang diotopsi harus segera dipenuhi hak-haknya, seperti dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, dan

(4) jenazah yang akan dijadikan obyek otopsi harus memperoleh izin dari dirinya sewaktu hidup melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan/atau izin dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.” (Lihat Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah).

Fatwa MUI tentang otopsi jenazah tersebut di atas menurut kami tidak sah dan tidak dapat diterima, dengan 5 (lima) alasan sebagai berikut;

Pertama, dalil syar’i yang mengecualikan haramnya otopsi sebenarnya tidak ada. Karena tidak ada dalil syar’i yang sah dari Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas yang mengecualikan keharaman otopsi (yang membolehkan otopsi). Dalam kaidah ushul fiqih (qaidah ushuliyah) ditetapkan bahwa :

العام يبقى على عمومه ما لم يرد دليل التخصيص

Al-‘aam yabqaa ‘alaa ‘umummumihi maa lam yarid dalil at-takhshiish. (hukum yang berlaku umum tetap dalam keumumannya, kecuali ada dalil yang mengecualikan (mengkhususkan).”

Kedua, dalil takshis (yang mengecualikan) haramnya otopsi yang disebut MUI, yaitu adanya kebutuhan (al haajat) untuk melakukan otopsi, juga tidak sah. Karena kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI, yang menurut kami dapat ditafsirkan sebagai “kemaslahatan” (al mashlahah) atau kepentingan, adalah argumentasi (dalil) yang lemah. Dalil mashlahat ini ujung-ujungnya akan kembali kepada sumber hukum yang disebutMashalih Mursalah, yang kelemahannya sudah kami singgung di atas. Karena dalil Mashalih Mursalah itu tidak termasuk dalam dalil yang disepakati jumhur ulama, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas.

Kalaupun menggunakan dalil Mashalih Mursalah, maka pendapat MUI tersebut justru tidak memenuhi kriteria maslahat dalam Mashalih Mursalah, yaitu kemaslahatan yang kosong dari dalil, yakni kemaslahatan yang tak ada dalil yang membatalkanya dan tidak ada pula dalil yang mengabsahkannya. Dalam ilmu ushul fiqih, kemaslahatan yang dibatalkan dalil disebut al maslahah al mulghah. Sedang kemaslahatan yang diabsahkan dalil disebut al maslahah al mu’tabarah. (Lihat Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqih, hlm. 150-151).

Padahal, kemaslahatan otopsi itu jelas termasuk kemaslahatan yang dibatalkan dalil, karena sudah ada dalil syar’i yang jelas-jelas membatalkan kemaslahatan otopsi, yaitu hadits shahih yang melarang merusak mayat, sesuai sabda Nabi SAW :

كسر عظم الميت ككسره حياً

“Memecahkan tulang mayat sama dengan memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (HR Abu Dawud, no 3207, hadits shahih; HR Ahmad, Al Musnad, no 24.783).

Jika kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI tersebut ditafsirkan sebagai “al haajat” dalam terminologi ushul fiqih, juga tidak sah. Memang dalam ushul fiqih istilah “al haajat” dapat berkedudukan sama dengan “al dhahuurat” (kondisi darurat), seperti disebut dalam sebuah kaidah fiqih : al haajat tanzilu manzilah al dharuurah (kebutuhan dapat berkedudukan sebagai kondisi darurat). Namun kondisi darurat ini tidak terwujud dalam kasus otopsi. Karena pengertian darurat menurut Imam Suyuthi dalam Al Asybah wa An Nazha`ir adalah “sampainya seseorang pada suatu batas/kondisi yang jika dia tidak melakukan yang dilarang, maka dia akan mati atau mendekati mati.” (Arab : wushuuluhu haddan in lam yataanawal mamnuu’ halaka aw qaaraba).

Ketiga, syarat untuk membolehkan otopsi (wasiat saat hidup atau izin ahli waris) dalam fatwa MUI tersebut tidak sah. Karena wasiat saat hidup dari seseorang, hanya sah untuk barang-barang yang dimiliki oleh yang bersangkutan, seperti tanah, atau rumah yang menjadi hak milik yang bersangkutan. Adapun wasiat untuk mengotopsi tubuhnya setelah dia mati, tidak sah. Karena setelah mati, tidak ada lagi hubungan hukum (seperti kepemilikan) antara seseorang dengan sesuatu yang dimilikinya pada saat dia hidup. Buktinya hartanya wajib diwaris, istrinya wajib diceraikan, dan tubuhnya wajib dikuburkan. (Abdul Qadim Zallum, Hukmu As Syar’i fi Al Istinsakh).

Demikian pula izin ahli waris untuk mengotopsi jenazah, juga tidak sah. Karena ahli waris tidak punya hak untuk mengizinkan. Sebab hak ahli waris hanya terbatas pada benda waris (tanah, rumah, uang dll) bukan pada jenazah pihak yang mewariskan benda waris (al muwarrits).

Tidak sahnya wasiat untuk diotopsi, baik dari orang yang bersangkutan atau dari ahli warisnya, diperkuat dengan kaidah fiqih yang menyatakan :

من لا يملك التصرف لا يملك الإذن فيه

Man laa yamliku at-tasharrufa laa yamliku al-idzin fiihi. (Barangsiapa tidak berhak melakukan tasharruf [perbuatan hukum], tidak berhak pula memberikan izin [kepada orang lain] untuk melakukan perbuatan hukum/tasharruf tersebut). (Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, 3/211; M. Shidqi al-Burnu,Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 11/1081;Hasan Ali al-Syadzili, Hukm Naql A’dha` Al-Insan fi Al-Fiqh al-Islami, 109).

Keempat, otopsi dalam sistem pidana Islam (nizham ‘uqubat fil Islam) sebenarnya tidak dapat menjadi bukti pembunuhan (bayyinah al qatl). Karena pembuktian terjadinya pembunuhan dalam sistem pidana Islam hanya sah dengan salah satu dari dua jalan pembuktian, yaitu : Pertama, pengakuan (iqraar) dari pihak pembunuh. Kedua, kesaksian (syahaadah). (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54-55).

Untuk kesaksian, jumlah saksinya adalah dua saksi laki-laki, atau jika saksinya perempuan, maka satu saksi laki-laki setara dengan dua saksi perepmpuan. Jadi saksi dalam kasus pembunuhan adalah : dua saksi laki-laki, atau satu saksi laki-laki dan dua saksi perempuan, atau empat saksi perempuan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54-55).

Kelima, syarat yang disebut fatwa MUI tersebut, yaitu otopsi merupakan satu-satunya jalan, sudah gugur. Karena beberapa tahun belakangan ini dalam dunia kedokteran sudah ada PMCT (Post Mortem CT Scan), yaitu penggunaan mesin pencitraan (CT Scan) yang dapat digunakan mengungkap rahasia medis orang mati. PMCT ini dapat menggantikan tindakan pembedahan dalam proses otopsi. Keuntungan PMCT (Post Mortem CT Scan) di antaranya adalah diagnosisnya tidak invasif dan dianggap tidak merusak mayat.Wallahu a’lam [ ]

= = = =

*Makalah disajikan dalam Kajian Akademik Hukum Bedah Mayat, diselenggarakan oleh Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia dan Departemen IKF &Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi Jakarta, pada hari Rabu 17 Desember 2014.

**Dosen Ushul Fiqih di STEI Hamfara Jogjakarta, Pimpinan Pondok Pesantren Hamfara Jogjakarta. Alumnus Departemen Biologi Fakultas MIPA IPB Bogor (1997), dan Magister Studi Islam UII Jogjakarta (2009). Pernah menjadi santri di PP Nurul Imdad Bogor (1990-1992) dan PP Al Azhhar Bogor (1992-1994). Aktif dalam dakwah sebagai anggota DPP HTI (Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia).

Tulisan terkait :

1.  Hukum Praktikum Bedah Mayat (Otopsi)


Filed under: Kesehatan Tagged: otopsi

Hukum Karyawan Muslim Memakai Atribut Natal

$
0
0

Tanya :

Bolehkah karyawan muslim di mal atau pusat perbelanjaan memakai atribut Natal (seperti topi sinterklas)?

Jawab :

Haram hukumnya karyawan muslim mengenakan atribut Natal, seperti baju dan topi Sinterklas. Dalil keharamannya ada dua; pertama, karena mengenakan atribut Natal tersebut termasuk perbuatan menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar). Kedua, karena perbuatan tersebut merupakan bentuk partisipasi (musyarakah) muslim dalam hari raya kaum kafir yang sudah diharamkan dalam Syariah Islam.

Haramnya menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar) didasarkan pada banyak dalil syar’i. Di antaranya sabda Rasulullah SAW :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.” (man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum). (HR Abu Dawud, no 4033; Ahmad, Al Musnad, Juz 3 no. 5114; Tirmidzi, no 2836). Hadits ini menurut Nashiruddin Al Albani adalah hadits hasan shahih.

Yang dimaksud menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar), adalah menyerupai kaum kafir dalam hal aqidah, ibadah, adat istiadat, atau gaya hidup (pakaian, kendaraan, perilaku dll) yang memang merupakan bagian dari ciri-ciri khas kekafiran mereka. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 4/175; Ali Ibrahim Mas’ud ‘Ajiin, Mukhalafah Al Kuffar fi As Sunnah An Nabawiyyah, hlm. 14).

Berdasarkan dalil hadits tersebut, haram hukumnya bagi seorang karyawan muslim mengenakan atribut atau asesoris Natal, seperti baju atau topi sinterklas. Karena atribut atau asesoris Natal tersebut merupakan baju atau atribut yang sifatnya khas yang melambangkan syiar atau simbol kekafiran. (‘Isham Mudir, Haqiqah Baba Nuwail wa Al Karismas, hlm.19).

Adapun haramnya muslim berpartisipasi (musyarakah) dalam hari raya kaum kafir (seperti Natal, Waisak, Nyepi, dll), dalilnya adalah firman Allah SWT :

وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ

Dan [ciri-ciri hamba Allah adalah] tidak menghadiri /mempersaksikan kedustaan/kepalsuan.” (walladziina laa yasyhaduuna az zuur). (QS Al Furqaan [25] : 72). Imam Ibnul Qayyim meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas, Adh Dhahhak, dan lain-lain, bahwa kata az zuur (kebohongan/kepalsuan) dalam ayat tersebut artinya adalah hari raya orang-orang musyrik (‘iedul musyrikiin). Berdalil ayat ini, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa haram hukumnya muslim turut merayakan (mumaala`ah), menghadiri (hudhuur), atau memberi bantuan (musa`adah) pada hari-hari raya kaum kafir. (Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlidz Dzimmah, 2/156).

Berdasarkan dalil ayat tersebut, haram hukumnya bagi seorang karyawan muslim mengenakan atribut atau asesoris Natal. Karena perbuatan tersebut merupakan bentuk partisipasi atau turut serta merayakan hari raya kaum kafir.

Maka dari itu, karyawan muslim tidak boleh diam saja dan bahkan wajib menolak ketentuan dari atasannya untuk mengenakan atribut Natal, baik atasannya muslim maupun non muslim. Karena Islam tidak membolehkan menaati aturan yang melanggar Syariah Islam. Sabda Rasulullah SAW :

لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق

”Tidak ada ketaatan kepada makhluk (manusia) dalam bermaksiat kepada Al Khaliq (Allah SWT).” (HR Ahmad, Al Musnad, Juz 5 no. 20672 & Al Hakim, Al Mustadrak, no 5870).

Demikian pula para ulama apalagi pemerintah, haram berdiam diri. Ulama wajib memberi nasihat atau fatwa kepada para karyawan muslim, dan juga melakukan kritik (muhasabah) kepada pemerintah. Pemerintah khususnya wajib melarang para pemilik mal atau pusat perbelanjaan untuk memaksa karyawannya yang muslim mengenakan atribut Natal.

Jika pemerintah mendiamkan pemaksaan atribut Natal, dan para pemilik mal tetap mengharuskan karyawannya yang muslim memakai atribut Natal, padahal karyawan tersebut sudah menyampaikan penolakan, maka dalam kondisi seperti ini terdapat udzur syar’i bagi karyawan muslim tersebut, yaitu adanya paksaan (ikraah) yang dapat menghilangkan dosa. Dari Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

تجاوز الله عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

”Sesungguhnya Allah telah mengangkat (dosa) dari umatku; yaitu (dosa karena) tersalah (tidak sengaja), lupa, dan apa-apa yang dipaksakan atas mereka.” (HR Ibnu Majah no 2045 dan Al Hakim, Al Mustadrak, no 2801). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/176, hadits hasan). Wallahu a’lam.[www.konsultasi.wordpress.com] M.Shiddiq Al-Jawi

Tulisan terkait :

1.  MUALLAF TURUT MERAYAKAN HARI RAYA AGAMA LAIN DI TENGAH KELUARGANYA.

2. HUKUM MENIRU-NIRU KEBIASAAN ORANG KAFIR


Filed under: Pakaian-Penampilan Tagged: natal

Makna Manthiqul Ihsas dan Ihsasul Fikriy

$
0
0

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Yang terhormat al-‘alim syaikhuna al-amir Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah: saya punya pertanyaan problematik di dalam buku at-Takattul al-Hizbiy. Disitu dinyatakan kata “mukhlishan” dalam kalimat: “sampai seandainya ia ingin untuk tidak menjadi mukhlis, ia tidak kuasa atas yang demikian”. Lalu apa artinya? Demikian juga saya mohon penjelasan makna “manthiq al-ihsâs” dan “ihsâs al-fikriy”.

Terima kasih banyak dan semoga Allah membalas Anda yang lebih baik dengan al-Khilafah pada masa Anda dan Anda menjadi imam kami, amin.

Muhammad Dhuha dari Indonesia. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Jawab:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullâh wa barakatuhu.

Tampaknya Anda maksudkan dengan pertanyaan Anda adalah teks berikut dari buku at-Takattul al-Hizbiy halaman 25-26:

(Dan yang demikian itu bahwa penginderaan yang mengantarkan kepada pemikiran di dalam Hizb, pemikiran ini di tengah umat bersinar diantara berbagai pemikiran dan menjadi salah satu dari pemikiran-pemikiran di tengah umat itu. Pada awalnya paling lemah sebab paling akhir kelahirannya dan paling baru keberadaannya. Pemikiran ini belum mengkristal sama sekali. Belum ada suasana untuknya. Akan tetapi, dikarenakan pemikiran itu hasil manthiq al-ihsâs, yakni pemahaman hasil dari kesadaran yang bersifat penginderaan (al-idrâk al-hissiy), maka ia mewujudkan penginderaan bersifat pemikiran (ihsas al-fikriy) yakni mewujudkan penginderaan yang jelas hasil pemikiran yang mendalam. Maka –tentu saja- ia menyinari orang yang bertabiat dengannya dan menjadikannya seorang yang mukhlis, sampai seandainya ia ingin untuk tidak menjadi seorang yang mukhlis, ia tidak kuasa atas yang demikian) selesai.

Dan pertanyaan Anda pun tentang makna manthiqul ihsas dan ihsasul fikriy serta kenapa pemikiran ini menjadikan pengembannya seorang yang mukhlis.

Bagian besar dari pertanyaan Anda itu ada jawabannya di buku Mafâhîm Hizbut Tahrir. Di dalamnya dijelaskan makna manthiq al-ihsâs dan makna ihsâs al-fikriy. Di buku Mafâhîm halaman 58-59 dinyatakan sebagai berikut:

(Tidak boleh sama sekali memisahkan perbuatan dari pemikiran atau dari tujuan tertentu atau dari iman. Sungguh di dalam pemisahan ini –betapapun kecil- ada bahaya terhadap perbuatan itu sendiri, terhadap hasil-hasilnya, dan kelangsungannya. Karena itu, tujuan tertentu itu harus menjadi pemahaman yang jelas bagi setiap orang yang berusaha berbuat hingga ia memulainya.

Dan merupakan keniscayaan manthiq al-ihsâs merupakan asas. Yakni hendaknya pemahaman dan pemikiran itu keduanya merupakan hasil dari penginderaan bukan dari semata asumsi-asumsi untuk masalah-masalah khayali. Dan hendaknya penginderaan terhadap fakta itu berpengaruh di dalam otak, bersama informasi awal ia mewujudkan gerakan otak yang berupa pemikiran. Inilah yang merealisasi kedalaman dalam berpikir dan merealisasi hasil dalam perbuatan. Manthiq al-ihsâs mengantarkan kepada ihsâs al-fikriy yakni kepada penginderaan yang dikuatkan oleh pemikiran yang ada pada diri manusia. Karena itu, penginderaan para pengemban dakwah misalnya, setelah pemahamannya adalah lebih kuat dari penginderaan mereka sebelum itu) selesai.

Sesungguhnya manthiq al-ihsâs itu berarti seseorang mengambil pemikiran setelah penginderaannya secara langsung terhadap fakta dan menelaahnya, bukan melalui jalan talaqqiy (menerima) dan talqin (pengajaran/instruksi) yang tidak dipastikan kebenarannya. Dan tentu saja itu bukan dari jalan asumsi-asumsi untuk masalah-masalah khayali. Jadi manthiq al-ihsâs berarti pemikiran yang bersandar pada penginderaan secara langsung. Manthiq al-ihsâs lebih kuat dan lebih kokoh dari yang lain sebab berhubungan dengan penginderaan secara langsung. Kesadaran seseorang tentang sejauh mana kemerosotan dan keterbelakangan yang menimpa Afrika, yang dia peroleh melalui informasi yang ia terima, kesadarannya itu berbeda jauh dari kesadarannya terhadap kemerosotan ini, pada saat ia melakukan kunjungan ke Afrika dan menelaah langsung fakta di sana. Melalui penelaahan itu, ia sampai kepada kesimpulan terhadap Afrika yang ada dalam kondisi terbelakang dan mundur.

Adapun ihsâs al-fikriy (penginderaan intelektual) maka itu kebalikan ihsâs ash-sharf (penginderaan murni), yaitu ia mengindera fakta tanpa memiliki pemikiran yang berkaitan dengan fakta ini. Jika pada dirinya ada pemikiran dan ia mengindera fakta tersebut setelah pemikiran itu sampai kepadanya, maka penginderaannya dan pemahamannya terhadap fakta tersebut tanpa diragukan lagi adalah lebih kuat dan lebih kokoh dari penginderaannya yang murni yakni penginderaannya sebelum adanya pemikiran tersebut. Jadi sampainya penginderaan setelah adanya pemikiran berkaitan dengannya disebut ihsâs al-fikriy. Misalnya, persepsi seseorang terhadap fakta Afrika setelah pengetahuannya tentang makna kemerosotan dan pemahamannya tentang perbedaan antara kemerosotan dan kebangkitan, adalah lebih kuat dari persepsinya terhadap fakta Afrika sebelum ia mengetahui secara intelektual (pemikiran) atas makna kemerosotan dan kebangkitan. Penginderaannya tentang betapa mengerikannya eksploitasi Barat kafir terhadap Afrika dan perampokan Barat terhadap kekayaan Afrika menjadi lebih kuat setelah ia mengetahui secara pemikiran mengenai politik negara-negara Barat terhadap Afrika, penginderaannya itu lebih kuat dari penginderaannya tentang eksploitasi tersebut sebelum adanya pengetahuan ini. Karena itu, syabab Hizbut Tahrir di Afrika mengindera merosotnya masyarakat di sana dan betapa mengerikannya eksploitasi negeri mereka. Penginderaan mereka jauh lebih banyak dari orang lain karena pemahaman mereka terhadap makna kemerosotan dan penelaahan mereka terhadap politik negara-negara imperialis terhadap negeri mereka dan pengetahuan mereka terhadap kerakusan negara-negara ini. Sedangkan orang lain, maka penginderaan mereka terhadap hal itu adalah lebih lemah, bahkan sebagian dari mereka tidak memperhatikannya.

Pemikiran transformatif yang dicapai oleh partai ideologis terjadi melalui manthiq al-ihsâs yang mengantarkan kepada hasil-hasil yang benar dan jujur. Darinya lahir ihsâs al-fikriy yang menjadikan pengembannya memandang fakta dan menginderanya secara benar dan jujur. Karena itu, pemikiran ini tanpa diragukan lagi mewujudkan pemahaman-pemahaman yang benar pada pemiliknya. Dia tidak berhenti pada batas informasi-informasi teoritik. Jadi pengemban pemikiran ini memahami hakikat-hakikat perkara. Maka ia tidak mampu kecuali menjadi orang yang mukhlis dan jujur seperti pemikiran yang ia emban. Ia tidak mampu menipu dirinya sendiri dan membisikinya bahwa faktanya berbeda dengan apa yang ia lihat. Akan tetapi ia memandang fakta menurut hakikatnya. Ia mengetahui solusi menurut hakikatnya. Sehingga ia tidak kuasa kecuali menjadi seorang yang mukhlis, selama ia adalah pengemban pemikiran ini. (www.syariahpublications.com)

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

15 Shafar 1436 H

07 Desember 2014 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_41993

Sumber :

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fikriyun”

Jawaban Pertanyaan: Makna Manthiqul Ihsas dan Ihsasul Fikriy

Kepada Dhuha Ghufron


Filed under: Dakwah

Ahlus Sunnah Menolak Khilafah?

$
0
0

Soal:

Ada yang mengklaim Ahlus Sunnah, tetapi tidak mau memperjuangkan Khilafah. Alasannya, perjuangan menegakkan Khilafah bukan bagian dari paham Ahlus Sunnah. Mereka juga tidak mempersoalkan hukum apa yang diterapkan oleh negara. Yang penting maqashid-nya. Benarkah demikian?

Jawab:

Klaim ini jelas tidak benar. Pasalnya, tidak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah yang menyatakan, bahwa menegakkan Khilafah tidak wajib. Berikut ini adalah pendapat ulama Ahlus Sunnah:

  1. Imam al-Mawardi (w. 450 H), dari mazhab Syafii:

وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُوْمُ بِهَا وَاجِبٌ بِالْإجْمَاعِ وَإِنْ شَذَّ عَنْهُمُ اَلْأَصَمُّ

Melakukan akad Imamah (Khilafah) bagi orang yang [mampu] melakukannya wajib berdasarkan Ijmak meskipun al-Asham menyalahi mereka (ulama) [dengan menolak kewajiban Khilafah](Lihat: Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah,hlm. 5).

  1. Ibn Hazm (w. 456 H), dari mazhab Zhahiri:

إتَّفَقَ جَمِيْعُ أهْلِ السُنَّةِ وَجَمِيْعُ الْمُرْجِئَةِ وَجَمِيْعُ الشِيْعَةِ وَجَمِيْعُ الْخَوَارِجِ عَلَى وُجُوْبِ اْلإمَامَةِ….

Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji’ah, semua Syiah dan semua Khawarij mengenai kewajiban adanya Imamah (Khilafah) (Ibn Hazm, Al-Fashlu fi al-Milal wa Ahwa’ wa an-Nihal, IV/87).

وَاتَّفَقُوْا أَنَّ الْإِمَامَةَ فَرْضٌ وَأَنَّهُ لاَ بُدَّ مِنْ إِمَامٍ حَاشَا النَّجْدَاتِ..

Mereka (ulama) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu fardhu dan bahwa harus ada seorang imam (khalifah), kecuali an-Najadat (Ibn Hazm, Maratib al-Ijma’, hlm. 207).

  1. Imam Abu Ya’la al-Farra’ (458 H), mazhab Hambali:

نَصْبَةُ اْلإِمَامِ وَاجِبَةٌ وَقَدْ قَالَ أَحْمَدُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِيْ رِوَايَةِ مُحَمَّدِ ابْنِ عَوْفِ بْنِ سُفْيَانَ الْحِمْصِيِّ(اَلْفِتْنَةُ إذَا لَمْ يَكُنْ إمَامٌ يَقُوْمُ بِأَمْرِ النَّاسِ).

Mengangkat seorang imam (khalifah) adalah wajib. Imam Ahmad ra. dalam riwayat Muhammad bin ‘Auf bin Sufyan al-Himshi berkata, “Adalah suatu ujian jika tak ada seorang imam (khalifah) yang menegakkan urusan manusia.” (Abu Ya’la Al Farra’, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 19).

  1. Al-Qahir al-Baghdadi (w. 469 H), mazhab Ahlus Sunnah:

وَقَالُوْا فِي الرُّكْنِ الثَّانِيْ عَشَرَ الْمُضَافِ إِلىَ الْخِلاَفَةِ وَاْلإِمَامَةِ: إِنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ وَاجِبٌ عَلىَ اْلأُمَّةِ، لِأَجْلِ إِقَامَةِ اْلإِمَامِ يَنْصِبُ لَهُمُ الْقُضَاةَ وَاْلأُمَنَاءَ، وَيَضْبَطُ ثُغُوْرَهُمْ، وَيُغْزِيْ جُيُوْشَهُمْ، وَيَقْسِمُ اْلفَيْءَ بَيْنَهُمْ، وَيَنْتَصِفُ لِمَظْلُوْمِهِمْ مِنْ ظَالِمِهِمْ

Mereka [ulama Ahlus Sunnah] berkata mengenai rukun ke-13 yang disandarkan kepada Khilafah atau Imamah, bahwa Imamah atau Khilafah itu fardhu atau wajib atas umat Islam, agar Imam dapat mengangkat para hakim dan orang-orang yang diberi amanah; menjaga perbatasan mereka; menyiapkan tentara mereka; membagikan fai’ mereka; dan melindungi orang yang dizalimi dari orang-orang yang zalim.” (Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu bayna al-Firaq, I/340).

  1. Imam al-Ghazali (w. 505 H), mazhab Ahlus Sunnah-Syafii:

فَبَانَ أَنَّ السُّلْطَانَ ضَرُوْرِيٌّ فِيْ نِظَامِ الدِّيْنِ وَنِظَامِ الدُّنْيَا، وَنِظَامُ الدُّنْيَا ضَرُوْرِيٌّ فِيْ نِظَامِ الدِّيْنِ، وَنِظَامُ الدِّيْنِ ضَرُوْرِيٌّ فِيْ الْفَوْزِ بِسَعَادَةِ اْلآخِرَةِ، وَهُوَ مَقْصُوْدُ الْأَنْبِيَاءِ قَطْعًا، فَكَانَ وُجُوْبُ اْلإِمَامِ مِنْ ضَرُوْرِيَّاتِ الشَّرْعِ الَّذِيْ لاَ سَبِيْلَ إِلىَ تَرْكِهِ فَاعْلَمْ ذَلِكَ..

Jelaslah bahwa kekuasaan itu penting demi keteraturan agama dan keteraturan dunia. Keteraturan dunia penting demi keteraturan agama, sedangkan keteraturan agama penting demi keberhasilan mencapai kebahagiaan akhirat. Itulah tujuan yang pasti dari para mabi. Karena itu kewajiban adanya imam (khalifah) termasuk hal-hal yang penting dalam syariah yang tak ada jalan untuk ditinggalkan. Ketahuilah itu!(Al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hlm. 99).

  1. Al-Imam al-Quthubi (w. 671 H), mazhab Maliki:

وَلاَ خِلَافَ فِيْ وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ الْأُمَّةِ وَلاَ بَيْنَ الْأَئِمَّةِ، إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ الْأَصَمِّ، حَيْثُ كَانَ عَنِ الشَّرِيْعَةِ أَصَمُّ. وَكَذَلِكَ كُلُّ مَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ وَاتَّبَعَهُ عَلىَ رَأْيِهِ وَمَذْهَبِهِ.

Tak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban hal itu (mengangkat khalifah) di antara umat dan para imam [mazhab], kecuali apa yang diriwayatkan dari al-Asham, yang dia itu memang ‘asham’ (tuli) dari syariah. Demikian pula setiap orang yang berkata dengan perkataannya serta mengikuti dia dalam pendapat dan mazhabnya (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, I/264).

  1. Al-Imam an-Nawawi (w. 676 H), mazhab Syafii:

أَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ يَجِبُ عَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ

Mereka [para Sahabat] telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, XII/ 205).

  1. Ibn Taimiyyah (w. 728 H), mazhab Hanbali:

يَجِبُ أَنْ يُعْرَفَ أَنَّ وِلاَيَةَ أَمْرِ النَّاسِ مِنْ أَعْظَمِ وَاجِبَاتِ الدِّيْنِ، بَلْ لاَ قِيَامَ لِلدِّيْنِ إِلاَّ بِهَا. فَإِنَّ بَنِيْ آدَمَ لاَ تَتِمُّ مَصْلَحَتُهُمْ إِلاَّ بِالْاِجْتِمَاعِ لِحَاجَةِ بَعْضِهِمْ إِلىَ بَعْضٍ، وَلاَ بُدَّ لَهُمْ عِنْدَ اْلاِجْتِمَاعِ مِنْ رَأْسٍ حَتىَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ” رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ سَعِيْدٍ وَأَبِيْ هُرَيْرَةَ … وَلِأَنَّ اللهَ تَعَالَى أَوْجَبَ اْلأَمْرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيَ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَلاَ يَتِمُّ ذَلِكَ إِلاَّ بِقُوَّةٍ وَإِمَارَةٍ

Wajib diketahui bahwa kekuasaan atas manusia termasuk kewajiban agama terbesar. Bahkan agama tak akan tegak tanpa kekuasaan. Pasalnya, manusia tak akan sempurna kepentingan mereka kecuali dengan berinteraksi karena adanya hajat dari sebagian mereka dengan sebagian lainnya…Tak boleh tidak pada saat berinteraksi harus ada seorang pemimpin hingga Rasulullah saw. bersabda, “Jika keluar tiga orang dalam satu perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat satu orang dari mereka untuk menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud, dari Abu Said dan Abu Hurairah). Ini karena Allah telah mewajibkan amar makruf nahi mungkar, sementara kewajiban ini tak akan berjalan sempurna kecuali dengan adanya kekuatan dan kepemimpinan.” (Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, XXVIII/390).

  1. Ibn Hajar (w. 852 H), mazhab Syafii:

وَأَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ يَجِبُ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ وَعَلىَ أَنَّ وُجُوْبَهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ.

Mereka [para ulama] telah bersepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan akal (Ibn Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari,XII/205).

10. Imam ar-Ramli (w. 1004 H), mazhab Syafii:

يَجِبُ عَلىَ النَّاسِ نَصْبُ إِمَامٍ يَقُوْمُ بِمَصَالِحِهِمْ، كَتَنْفِيْذِ أَحْكَامِهِمْ وَإِقَامَةِ حُدُوْدِهِمْ…لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ بَعْدَ وَفَاتِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَلىَ نَصْبِهِ حَتَّى جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ، وَقَدَّمُوْهُ عَلىَ دَفْنِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ تَزَلِ النَّاسُ فِيْ كُلِّ عَصْرٍ عَلىَ ذَلِكَ

Wajib atas manusia mengangkat imam (khalifah) yang menegakkan kepentingan-kepentingan mereka seperti menerapkan hukum-hukum mereka (hukum Islam), menegakkan hudud mereka…Hal itu berdasarkan Ijmak Sahabat setelah wafatnya Nabi saw. mengenai pengangkatan imam hingga mereka menjadikan itu sebagai kewajiban yang terpenting, dan mereka mendahulukan hal itu atas penguburan jenazah Nabi saw. Manusia senantiasa pada setiap masa selalu berpendapat demikian (wajib mengangkat imam/khalifah) (Syamsuddin ar-Ramli,Ghayat al-Bayan).

11. Syaikh Dr. Wahbah Zuhaili:

تَرَى اْلأَكْثَرِيَّةُالسَّاحِقَةُمِنْعُلَمَاءِاْلإِسْلاَمِوَهُمْأَهْلُالسُّنَةِوَالْمُرْجِئَةُوَالشِّيْعَةُوَاْلمُعْتَزِلَةُإِلاَّنَفَراً مِنْهُمْ، وَاْلخَوَارِجُمَا عَدَا النَّجْدَاتِ : أَنَّاْلإِمَامَةَأَمْرٌوَاجِبٌأَوْفَرْضٌمُحَتَّمٌ

Mayoritas ulama Islam—yaitu ulama Ahlus Sunnah, Murji’ah, Syiah dan Muktazilah (kecuali segelintir dari mereka) dan Khawarij (kecuali Sekte an-Najdat) berpendapat bahwa Imamah (Khilafah) adalah perkara yang wajib atau suatu kefardhuan yang pasti (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, VIII/272).

Inilah pendapat seluruh ulama kaum Muslim, dari berbagai mazhab, khususnya Ahlus Sunnah. Selain itu juga ada pendapat ulama Syiah Zaidiyah:

12. Imam ‘Ali asy-Syaukani (w. 1250 H):

فَصْلٌ يَجِبُ عَلىَ اْلمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ إِمَامٍ: أَقُوْلُ قَدْ أَطَالَ أَهْلُ اْلعِلْمِ اْلكَلاَمَ عَلىَ هَذِهِ اْلمَسْأَلَةِ فِي اْلأُصُوْلِ وَاْلفُرُوْعِ… وقال: وَقَدْ ذَهَبَ اْلأَكْثَرُ إِلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ وَاجِبَةٌ …فَعِنْدَ اْلعِتْرَةِ وَ أَكْثَرِ اْلمُعْتَزِلَةِ وَ اْلأَشْعَرِيَّةِ تَجِبُ شَرْعاً

Pasal: Wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang imam (khalifah): Saya mengatakan, sungguh para ulama telah membicarakan masalah ini dengan panjang lebar dalam perkara ushul dan furu’ (Asy-Syaukani, As-Saylu al-Jarar, IV/hal. 503). Beliau juga mengatakan, “Mayorias ulama berpendapat Imamah itu wajib…Karena itu menurut ‘Itrah (Ahlul Bait), mayoritas Muktazilah dan Asy’ariyah, [Imamah/Khilafah] itu wajib menurut syariah.” (Asy-Syaukani, Nayl al-Authar, VIII/265).

Jadi, tidak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah, termasuk Syiah, Muktazilah, Murji’ah, Khawarij, juga Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, Zhahiri dan Zaidi, yang mengatakan Khilafah tidak wajib. Dari zaman dulu hingga sekarang, semuanya sepakat, bahwa hukum menegakkan Khilafah dan mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum Muslim.

Ada yang berpendapat, bahwa yang wajib adalah mengangkat khalifah, bukan mendirikan Khilafah. Jawabannya, bahwa Khalifah tidak akan pernah ada, kecuali ada Khilafah. Alasannya, Khalifah adalah kepala negara yang mengepalai Khilafah. Menyebut kepala negara yang mengepalai republik dengan sebutan khalifah jelas keliru, karena manath-nya beda. Harus dicatat, setiap hukum mempunyai manath, dan setiap manath mempunyai hukum. Khalifah adalah kepala negara yang mengepalai Khilafah adalahmanath. Karena itu kewajiban untuk mengangkat seorang khalifah tidak akan gugur dengan pengangkatan seorang presiden. Khalifah dan presiden adalah dua fakta yang berbeda.

Jadi, yang tidak memperjuangkan Khilafah sebenarnya bukan pengikut Ahlus Sunnah, tetapi pengikut al-Asham yang Muktazilah dan an-Najadat yang Khawarij.

Mengenai hukum apa yang diterapkan oleh negara? Pendapat Ahlus Sunnah jelas, yaitu hukum syariah. Alasannya, karena Ahlus Sunnah berpendapat bahwa baik dan buruk harus dikembalikan pada syariah, bukan akal. Qadhi al-Baqillani (w. 403) mengatakan:

اَلْحَسَنُ مَا حَسَّنَهُ الشَّرْعُ وَالْقَبِيْحُ مَا قَبَّحَهُ الشَّرْعُ

Baik adalah apa yang dinyatakan baik oleh syariah, sedangkan buruk adalah apa yang dinyatakan buruk oleh syariah (Al-Baqillani, Al-Anshaf fima Yajibu I’tiqaduhu wa la Yajuzu al-Jahlu bihi, hlm. 50).

Alasannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Adhuddin al-Iji (w. 757 H) jelas, bahwa dalam perkara yang terkait dengan pujian dan celaan, serta pahala dan dosa, hanya syariah bisa menentukan, bukan akal (Al-Iji, Al-Mawaqif fi ‘Ilm al-Kalam, hlm. 323-324). Ini berbeda dengan Muktazilah, yang menyatakan, bahwa akal bisa saja memutuskan baik dan buruk.

Karena itu ketika negara menghasilkan dan menerapkan hukum dengan bersumber pada akal, maka praktik seperti ini bukan merupakan praktik Ahlus Sunnah meski mereka yang melakukan itu mengklaim sebagai pengikut Ahlus Sunnah.

Tentang maqashid, pandangan ini dinisbatkan kepada Imam asy-Syathibi (w. 790 H). Namun, Asy-Syathibi sendiri menegaskan, bahwa mendirikan Khilafah/Imamah hukumnya fardhu kifayah. Beliau juga tidak pernah menggunakan maqashid sebagai alasan untuk menolak kewajiban mendirikan Khilafah (Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat, I/127). (www.konsultasi.wordpress.com)

WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]


Filed under: Politik Tagged: khilafah

Hukum Membeli Rumah dengan Menjaminkan Tanahnya

$
0
0

Tanya :

Ustadz, bolehkah seseorang membeli rumah secara kredit dari developer dengan menjaminkan tanahnya? Akadnya bai’ istishna’, dan tanah tersebut sudah menjadi hak milik (bukan objek jual beli). (Hamba Allah, Makassar)

Jawab :

Pembelian rumah dengan akad bai’ istishna’ tersebut hukumnya sah selama memenuhi segala syarat dalam bai’ istishna’. Namun tidak sah menjadikan tanah di bawah rumah itu sebagai jaminan (rahn).

Mengenai sahnya membeli rumah dari developer secara kredit dengan akad bai’ istishna’, karena akadbai’ istishna’ dapat diterapkan pada kasus tersebut. Definisi akad istishna’ (manufactoring contract) adalah akad atas suatu barang di dalam tanggungan yang mensyaratkan adanya proses pembuatan barang oleh pihak pembuat (penjual). Akad bai’ istishna’ hukumnya boleh, karena Nabi SAW pernah melakukannya, yaitu pernah meminta untuk dibuatkan cincin dan mimbar. (HR An Nasa`i no 9511;Abu Dawud no 1082; Al Bukhari no 875). (Ziyad Ghazal, Masyru’ Qanun Al Buyu’, hlm. 88).

Akad bai’ istishna’ termasuk akad jual-beli, namun memiliki hukum-hukum khusus. Di antaranya pada saat akad, barangnya tidak/belum ada, namun sudah dijelaskan sifat-sifatnya. Bai’ istishna’ memang mirip dengan bai’ salam (jual beli pesan) yang barangnya sama-sama belum ada saat akad. Bedanya, dalam bai’ salam tidak disyaratkan penjual membuat barang, sedang dalam bai’ istishna’ penjual disyaratkan membuat barang. Dalam bai’ salam disyaratkan pembayaran harus dilakukan di depan, sedang dalam bai’ istishna’ pembayaran tak harus di depan, tapi boleh dibayar di belakang (utang) dan boleh pula diangsur (cicilan). (Ziyad Ghazal, Masyru’ Qanun Al Buyu’, hlm. 93; Husamuddin Khalil, ‘Aqd Al Istishna’ Ka Al Bada`il Al Syar’iyyah, hlm. 29; Ahmad Bilkhair, ‘Aqd Al Istishna’ wa Tathbiqatuhu al Mu’ashirah, hlm. 4-5).

Berdasarkan definisi akad bai’ istishna’ di atas, membeli rumah dari developer dengan sistem kredit seperti yang ditanyakan hukumnya sah menggunakan akad bai’ istishna’, selama memenuhi segala syarat-syaratnya.

Hanya saja, jika pembeli menggunakan jaminan (rahn) berupa tanah yang ada di bawah rumah tersebut, akad jaminan (rahn) ini batil atau tidak sah, berdasarkan 2 (dua) alasan sbb;

Pertama, karena tak dapat terwujud penerimaan (al qabdhu) pada tanah yang dijaminkan tersebut. Sebab tanah tersebut bukan tanah kosong yang memungkinkan penerimaan (al qabdhu), melainkan tanah yang sudah menyatu dengan bangunan rumah di atasnya. Padahal adanya penerimaan (al qabdhu) atas jaminan oleh pihak yang berpiutang adalah syarat agar akad jaminan (rahn) bersifat mengikat (luzuum). Dalilnya firman Allah SWT (yang artinya), “maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang/diterima (oleh pihak yang berpiutang) (fa-rihaan maqbuudhah).” (QS Al Baqarah [2] : 283). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/339).

Kedua, karena tanah yang dijaminkan tersebut tak memenuhi syarat sebagai barang jaminan (rahn). Sebab salah satu syarat barang jaminan adalah barang itu boleh dijual-belikan. Kaidah fiqih menyebutkan: kullu maa jaaza bai’uhu jaaza rahnuhu (setiap barang yang boleh dijual-belikan, boleh dijaminkan). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 23/180; M. Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, 8/509).

Tanah jaminan tersebut tidak memenuhi syarat, karena tidak boleh diperjual-belikan. Sebab tanah itu sudah menyatu dengan bangunan di atasnya, sehingga tidak dapat diserahkan (tasliim) oleh penjual kepada pembeli. Padahal syara’ telah melarang menjual barang yang tidak dapat diserahkan (tasliim) oleh penjual kepada pembeli, sesuai sabda Nabi SAW,”Janganlah kamu menjual apa-apa yang tak ada di sisimu.” (Arab : laa tabi’ maa laisa ‘indaka) (HR Abu Dawud no 3505, Tirmidzi no 1250). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/289).

Jadi, tanah tersebut tidak sah sebagai jaminan. Solusinya memilih beberapa alternatif, yaitu meneruskan akad jual beli rumah tersebut tanpa jaminan, atau membatalkan (fasakh) akad jual beli rumah tersebut. (Qadhi Shafad, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah, hlm. 108). Atau jika dibutuhkan rahn maka harus barang lain yang bisa diperjualbelikan. Wallahu a’lam.(Ustadz Shiddiq al Jawi) (www.konsultasi.wordpress.com)

Tulisan terkait :

1. Hukum Gadai Syariah.

2. Hukum Gadai Emas.

3. Hukum Memanfaatkan Barang Gadai (Rahn).

4. Menggunakan Barang yang Dibeli secara Kredit sebagai Jaminan, Bolehkah?

5. Hutang dengan Jaminan Sawah dan Hasil Panennya.

6.  Menjadikan Barang yang Dibeli Sebagai Jaminan, Bolehkah

 


Filed under: Ekonomi Tagged: agunan, jaminan

Sebab Anjloknya Harga Minyak Secara Tiba-Tiba

$
0
0

Pertanyaan:

Beberapa media massa hari ini, Rabu 7/1/2015 melansir berita bahwa harga minyak mentah Brent (Brent crude oil) tercatat pada level US$ 49,66 per barel. Harga minyak mentah Amerika (American crude) juga anjlok ke harga US$ 47 per barel. Perlu diketahui bahwa harga minyak pada tahun 2014 telah pernah mencapai US$ 115 per barel di awal musim panas Juni 2014. Kemudian harga minyak kembali turun secara gradual sampai pada awal musim dingin pada akhir Desember 2014 ke level harga US$ 60 per barel. Bahkan harganya terus turun hingga harga minyak mentah Texas (west Texas crude oil) pada level US$ 58,53 per barel. Harga pada minggu pertama Januari 2015 sampai ke level US$ 50 per barel. Artinya harga minyak turun lebih dari 50% dalam waktu lima bulan! Lalu apa sebab anjloknya harga minyak secara tiba-tiba ini? Apa kemungkinan yang ada untuk harga minyak di masa mendatang?

 

Jawab:

Turunnya harga minyak itu memiliki sebab-sebab yang berbeda. Yang paling menonjol adalah faktor ekonomi murni, bebas dari tujuan-tujuan politik… Diantaranya juga ada faktor politik untuk menggerakkan faktor ekonomi, semisal kepentingan pemilik faktor politik tersebut…

Adapun faktor ekonomi murni, bebas dari tujuan politik, maka itu mencakup: (meningkatnya penawaran atau menurunnya permintaan…), (ketegangan dan khususnya eskalasi militer di wilayah-wilayah minyak dan sekitarnya…), (spekulasi di pasar minyak dan eksploitasi data-data melemahnya perekonomian negara-negara berpengaruh dalam hal minyak baik ekspor atau impor…)

Adapun faktor politik untuk menggerakkan faktor ekonomi ke arah kepentingan negara pemilik aksi politik itu. Misal (bertambahnya produksi atau penawaran sejumlah besar cadangan minyak,namun bukan karena kebutuhan ekonomi), akan tetapi (untuk menurunkan harga dengan tujuan mempengaruhi politik negara-negara pesaing, khususnya negara yang neraca APBN-nya bergantung pada harga minyak), atau (untuk membatasi produksi minyak bebatuan (shale oil) dengan jalan menurunkan harga minyak alami ke batas yang lebih rendah dari biaya produksi minyak bebatuan (shale oil) agar eksplorasi minyak bebatuan (shale oil) tidak ekonomis).

Dan kami akan memaparkan perkara-perkara ini, kemudian kami simpulkan pada sebab yang lebih rajih seputar anjloknya harga minyak itu:

Pertama, faktor ekonomi murni,bebas dari tujuan politik:

  1. Penawaran dan Permintaan

Minyak sama saja dengan komoditi lainnya. Harganya ditentukan melalui faktor permintaan dan penawaran. Ketika pasar melihat penawaran minyak berlebih, maka harganya turun. Ini terjadi pada kondisi krisis ekonomi melanda negara-negara pengimpor yang menurunkan permintaan,karena melemahnya kemampuan negara yang dilanda krisis itu untuk mengimpor minyak dengan harga tinggi. Maka permintaan minyak pun turun, sehingga harga minyakjuga turun … dan semisal itu pula ketika permintaan minyak melonjak melebihi penawaran, maka harga minyak juga melonjak.

  1. Ketegangan dan meningkatnya tensi secara militer:

Ada juga faktor lain yang mempengaruhi harga minyak, yaitu ekspektasi yakni prediksi pasar minyak, seperti terjadinya kerusakan pasokan akibat perang atau ketegangan di wilayah-wilayah minyak… Dan karena itu, maka ketegangan geopolitik di Timur Tengah yang merupakan wilayah minyak mungkin menjadi sebab naiknya harga minyak, meski tidak terjadi perubahan dalam hal kuantitas minyak yang ditawarkan atau kuantitas permintaan terhadap minyak. Pasar minyak kadang kala terdorong ke arah naiknya harga minyak jika dikhawatirkan kerusakan pasokan mungkin terjadi. Ketika ketegangan itu mereda maka harga minyak turun dan kembali ke nilai sebelumnya atau ke harga hakiki. Sebagai contoh, seruan perang antara negara Yahudi dan Amerika Serikat dan Iran pada Februari 2012 menyebabkan naiknya harga minyak. Majalah Forbes menyebutkan: “bersamaan dengan naiknya harga minyak sampai ke level tertinggi sejak beberapa tahun, sebagian besar sebabnya adalah kekhawatiran geopolitik dengan diletakkannya Iran di atas meja pergolaan militeristik sekali lagi” (Invasi Iran Akan Mendorong AS ke Resesi, Forbes Februari 2012).

  1. Spekulasi dan ekploitasi data-data ekonomi:

Data-data ekonomi yang buruk dari beberapa negara yang memiliki hubungan berpengaruh pada minyak, baik ekspor maupun impor, misalnya AS dan Cina, bisa menyebabkan jatuhnya harga minyak, tanpa mempedulikan perubahan penawaran dan permintaan terhadap minyak. Pada kondisi ini, pasar mengawatirkan perlambatan akibat ekonomi. Pasar menafsirkannya bahwa itu merupakan penurunan pasti konsumsi minyak dan berikutnya harga minyak pun turun. Para spekulan mencari prediksi-prediksi pasar untuk menaikkan harga minyak atau menurunkannya untuk mendapat keuntungan. Akibatnya, harga minyak terpengaruh melalui penawaran dan permintaan.

Data-data ekonomi dan spekulasi itu berkaitan dengan sejumlah pemain utama, terdiri dari negara-negara produsen minyak (misal Rusia, Kanada, Arab Saudi … dan lainnya), dan negara-negara importir minyak (misal, Cina, Jepang … dan lainnya), perusahaan-perusahaan multi nasional (misal Exxonmobile, BP … dan lainnya) serta kartel minyak (misal, OPEC, para pedagang minyak yang sudah dikenal dengan nama para spekulan). Semua kelompok itu memiliki kemampuan mempengaruhi harga minyak, baik melalui pengaruh terhadap penawaran dan permintaan, ataupun melalui antisipasi terhadap fluktuasi harga minyak karena spekulasi. Data-data ekonomi dan spekulasi hasil dari terjadinya krisis ekonomi di negara-negara yang memiliki keterkaitan itu bisa dengan kuat mempengaruhi harga minyak.

Kedua, faktor politik untuk menggerakkan faktor ekonomi demi kepentingan pemilik aksi politik tersebut.

  1. Isu minyak bebatuan (shale oil)

AS berhasil melampaui Arab Saudi dan Rusia sebagai eksportir minyak terbesar di dunia disebabkan ekstraksi minyak melalui pemecahan batuan sedimen di bawah tanah. Bank of America menyebutkan pada musim panas 2014: “AS akan terus menjadi produsen terbesar minyak di dunia pada tahun ini, melampui Arab Saudi dan Rusia, dalam mengekstraksi energi dari minyak bebatuan (shale oil). Itulah yang membangkitkan perekonomian dalam negeri. Produksi minyak mentah AS, berdampingan dengan cair, dan pemisahan minyak dari gas alam, telah melampaui negara lain pada tahun ini. Produksi minyak AS lebih dari 11 juta barel pada kuartal pertama tahun ini… (“AS menjadi produsen minyak terbesar setelah menyalip Arab Saudi”, Bloomberg, 4 Juli 2014).

Revolusi minyak dan gas bebatuan (shale oil and gas) di AS menyebabkan peningkatan produksi minyak dari 5,5 juta barel per hari pada tahun 2011 menjadi saat ini 10 juta barel per hari. Hal itu bisa menutupi sebagian besar kebutuhannya sehingga impor minyak AS dari Arab Saudi menurun sampai setengahnya yaitu menjadi 878 ribu barel per hari dari sebelumnya 1,32 juta barel per hari.

Akan tetapi masalah minyak bebatuan (shale oil) adalah biaya produksinya mencapai 75 dolar per barel. Sementara biaya produksi minyak alami tidak lebih dari 7 dolar per barel. Ini artinya bahwa negara-negara produsen minyak bebatuan (shale oil) terutama AS akan terpukul jika harga minyak menurun hingga level di bawah biaya produksi itu…

  1. Isu penurunan harga bukan karena kebutuhan ekonomi akan tetapi sebagai bagian dari sanksi terhadap negara pesaing:

Ada dua isu internasional yang memiliki pengaruh dan menjadi perhatian global:

Isu perundingan nuklir Iran dan isu pendudukan Rusia terhadap Krimea. Kedua negara ini neraca APBN-nya banyak bergantung pada ekspor minyak. Ketika harga minyak turun secara tiba-tiba menjadi setengahnya, maka tanpa diragukan lagi akan berpengaruh terhadap politik kedua negara itu terhadap kedua isu tersebut. APBN Rusia, kontribusi minyak dan gas yakni energi sebesar 50%, bahkan beberapa estimasi menyatakan lebih dari itu. Maka Rusia memerlukan agar harga minyak pada level US$ 105 per barel supaya neraca APBN-nya seimbang.

Neraca APBN Iran, kontribusi minyak malah lebih dari itu… Bahkan mencapai lebih dari 80% dari neraca APBN-nya. Iran memandang bahwa harga minyak harus dinaikkan pada level lebih dari US$ 130 per barel agar bisa mengkover proyek dalam negerinya dan bisa membantu para pengikutnya di kawasan. Karena itu, jika harga minyak anjlok sampai pada level ini, maka pasti akan sangat berpengaruh terhadap neraca APBN-nya.

Ketiga, dari paparan sebab-sebab sebelumnya itu maka jelaslah hal berikut:

  1. Faktor ekonomi murni,bebas dari tujuan politik:
  2. Penawaran dan permintaan hampir tidak ada perubahan selama beberapa tahun terakhir, tetapi hanya berubah sedikit yang tidak berpengaruh kepada anjloknya harga. Hingga musim panas lalu, harga minyak global stabil pada level sekitar US$ 106 per barel (minyak mentah West Texas) hampir selama empat tahun. Akan tetapi kemudian harga minyak anjlok, yang tidak bisa ditafsirkan penuh secara ekonomi. Produksi minyak lebih dari 80 juta barel per hari selama satu dekade lalu sejak 2004. Pada akhir 2013, pasar minyak global menghasilkan minyak 86,6 juta barel per hari. Kemudian produksi minyak meningkat. Setelah itu permintaan minyak pun meningkat pada akhir tahun 2013 dan selama kuartal ketiga tahun 2014. Hingga akhirnya penawaran dan permintaan berdekatan. Berdasarkan data yang diberikan oleh IEA (International Energy Agency) pada kuartal ketiga 2014, rata-rata penawaran mencapai 93,74 juta barel dan rata-rata permintaan mencapai 93,08 juta barel (situs IEA). Itu hanya penambahan kecil selama empat tahun yang berpengaruh pada turunnya harga secara gradual beberapa dolar per barel. Akan tetapi tidak mungkin harga minyak itu anjlok menjadi setengahnya selama lima bulan kecuali jika faktor ekonomi itu tidak menjadi faktor utama.
  3. Ketegangan dan eskalasi militer, hal itu juga bukan hal baru bahkan hampir tetap selama empat tahun terakhir… Krisis kawasan tidak meningkat drastis secara tiba-tiba sehingga bisa menyebabkan anjloknya harga minyak secara tiba-tiba. Eskalasi dan ketegangan di kawasan sejak 2011 hingga sekarang terus terjadi hampir-hampir tidak ada yang mengejutkan.

Perlu diketahui bahwa pada dasarnya di tengah terjadinya krisis politik di kawasan dan di dunia akan terjadi kenaikan harga minyak seperti yang terjadi pada sejumlah insiden sejak tahun 1973. Dan sekarang krisis di Ukraina, Suria, Irak dan Libya makin intensif. Maka justru bisa diduga harga minyak akan melonjak menjadi US$ 120 per barel, bahkan bisa sampai US$ 150 per barel menurut beberapa prediksi. Anjloknya harga minyak dalam model seperti ini adalah tidak biasa jika faktor penyebabnya adalah ekonomi saja. Sebab krisis dan perang akan berpengaruh pada jalan pasokan dan berikutnya bisa menurunkan penawaran dan harga pun meningkat, bukannya malah menurun. Jadi ada sebab lain selain faktor ekonomi murni.

  1. Spekulasi dan eksploitasi data-data ekonomi. Sejak tahun 2008 ketika krisis ekonomi pada puncaknya dan berbagai masalah tidak stabil ternyata harga minyak tidak memburuk akan tetapi justru membaik. Karena itu, bisa dikatakan bahwa faktor ekonomi murni bukan menjadi sebab utama anjloknya harga minyak yang anjlok hingga 50 persennya dari level harga lima bulan sebelumnya.
  2. Faktor politik untuk menggerakkan ekonomi demi kepentingan pemilik faktor politik itu:
  3. Isu minyak bebatuan (shale oil):

Biaya ekstraksi minyak bebatuan (shale oil) antara 70 – 80 dolar per barel. Dengan menggunakan teknik modern untuk mengekstrak minyak, biaya itu bisa turun sampai pada level 50 – 60 dolar per barel. Perusahaan IHS (sebuah perusahaan research) meyakini bahwa biaya produksi per barel minyak bebatuan (shale oil) telah turun dari 70 dolar per barel ke 57 dolar per barel pada tahun lalu, karena orang-orang perminyakan telah mempelajari mekanisme menggali sumur secara cepat dan mengeluarkan lebih banyak minyak (“The Senate versus Shale Oil”, The Economist, 6 Desember 2014). Karena itu, anjloknya harga minyak menjadi 50 atau 40 dolar per barel membuat ekstraksi minyak bebatuan (shale oil) tidak ekonomis. Bahkan seandainya harga minyak anjlok ke level 60-70 dolar per barel sekalipun, ekstraksi minyak bebatuan (shale oil) masih belum ekonomis sebab keekonomian itu menuntut adanya selisih yang sesuai antara biaya dan harga jual.

Karena itu, tidak adanya penurunan produksi OPEC atau lebih tepat tidak adanya penurunan produksi Arab Saudi adalah termasuk sebab (anjloknya harga minyak)… Sudah diketahui bersama bahwa Amerika mengeksploitasi produksi minyak bebatuan (shale oil) disebabkan naiknya harga minyak alami di atas 100 dolar per barel. Karena itu, anjloknya harga minyak alami membuat produksi minyak bebatuan (shale oil) tidak ekonomis.

Harga minyak alami bisa menanggung penurunan harga minyak dan masih tetap ekonomis, sebab biaya produksinya tidak melebihi 7 dolar per barel.Sementara pada saat yang sama minyak bebatuan (shale oil) biaya produksinya mencapai sepuluh kali lipat dari biaya itu, seperti yang baru saja kami sebutkan. Atas dasar itu maka bagaimanapun harga minyak alami itu turun maka masih tetap ekonomis. Seperti yang dikatakan oleh Menteri Perminyakan Arab Saudi, Ali an-Nu’aimi, “bahwa OPEC tidak akan mengurangi produksinya sampai seandainya harga minyak mentah di pasar global anjlok hingga ke level US$ 20 per barel sekalipun” (Aljazeera, 24/12/2014). Ia menjelaskan bahwa “porsi OPEC dan demikian juga Arab Saudi tidak berubah sejak beberapa tahun lalu, yaitu sekitar 30 juta barel per hari diantaranya 6,9 juta barel berasal dari produksi Saudi. Sementara produksi di luar OPEC terus meningkat”.

Seperti sudah diketahui bersama, pemerintahan di Arab Saudi di bawah raja Abdullah sekarang memiliki hubungan yang kuat dengan Inggris. Atas dasar itu kita bisa mengatakan bahwa perhatian Arab Saudi untuk tidak menurunkan jumlah produksi dan menekan OPEC dalam hal itu adalah masih dalam cakupan politik Inggris yang bersepakat dengan Arab Saudi untuk mempengaruhi produksi Amerika atas minyak bebatuan (shale oil).

  1. Amerika mengetahui orientasi ini di dalam OPEC dengan pengaruh dari Arab Saudi yang memiliki peran besar di OPEC. Apalagi, OPEC telah melakukan pertemuan di pusatnya di Wina pada 27/11/2014 dan anggota OPEC tidak sepakat untuk menurunkan produksi untuk menguatkan harga. Hal itu karena Arab Saudi menolak penurunan produksi. Mereka menyebutkan bahwa mereka bisa menyelaraskan diri dengan penurunan harga dalam jangka pendek. Ketika Amerika mengetahui hal itu, maka John Kerry,menteri luar negeri AS,melakukan kunjungan ke Arab Saudi pada 11/9/2014 bertemu dengan Raja Arab Saudi, Raja Abdullah, di istana musim panasnya dalam sebuah kunjungan yang tidak direncanakan sebelumnya. Meskipun media massa menyebutkan sebab lain selain minyak untuk kunjungan itu, namun berbagai indikasi yang ada menunjukkan bahwa topik kunjungan tersebut adalah minyak dan harga minyak… Setelah kunjungan itu sendiri Arab Saudi mulai menambah produksi minyaknya lebih dari 100 ribu barel per hari selama sisa bulan September. Pada minggu pertama November Arab Saudi menurunkan harga minyak jenis Arab Light sebesar 45 cent per barel. Hal itu lantas mendorong harga minyak terus turun cepat dari harga US$ 80 per barel. Pejabat senior di kementerian luar negeri Amerika menegaskan bahwa pasokan minyak global dibahas dalam pertemuan itu.

Ketika dia tidak berhasil meyakinkan Arab Saudi untuk menurunkan produksinya, dia membahas isu tersebut dari sisi yang lain. Dia mengekspresikan persetujuan atas penurunan harga dan bahwa hal itu akan berpengaruh pada Rusia yang menduduki Krimea dan juga berpengaruh pada Iran dalam konteks pembicaraan nuklir. Dia berpandangan bahwa kedua justifikasi itu akan mendapatkan keridhaan dari Arab Saudi. Akan tetapi dia meminta agar penurunan harga itu pada batas US$ 80 per barel. Dan tampak bahwa Arab Saudi setuju atas hal itu atau menampakkan persetujuan. Surat kabar Inggris The Times pada edisi 166/10/2014 menyebutkan bahwa “Arab Saudi telah mengambil posisi yang diperhitungkan dengan hati-hati terhadap dukungannya untuk menurunkan harga minyak ke level US$ 80 per barel sehingga membuat ekstraksi minyak bebatuan (shale oil) tidak ekonomis. Satu hal yang bisa membuat Amerika Serikat kembali mengimpor minyak dari Arab Saudi dan mengeluarkan gas bebatuan (shale gas) dari pasar”. Ungkapan ini tumbuh dari posisi Inggris di belakang Arab Saudi dalam menghadapi Amerika yang bekerja menggiatkan perekonomiannya sampai lepas dari dampak-dampak krisis finansial meski merugikan dan memukul pihak lain. Sudah diketahui bersama bahwa rezim Abdullah Ali Saud sekarang ini loyal kepada Inggris.

Amerika Serikat memperlihatkan persetujuan kepada Arab Saudi, dari sisi persetujuan atas penurunan harga. Begitu juga, AS memperlihatkan kepada Eropa bahwa tuduhan Eropa bahwa Amerika tidak memberikan tekanan serius terhadap Rusia karena menduduki Krimea dan tidak menekan Iran secara serius pada isu energi nuklir… AS memperlihatkan kepada Eropa bahwa tuduhan itu tidak benar dengan bukti persetujuannya untuk menurunkan harga minyak yang berpengaruh pada neraca APBN kedua negara itu (Rusia dan Iran)… Kemudian AS membuat senang sebagian oposisi Rusia. Jauh sebelumnya, pada Maret lalu miliarder Goerge Soros mengusulkan kepada pemerintah Amerika sarana untuk menghukum Rusia karena menggabungkan semenanjung Krimea, yaitu dengan jalan menurunkan harga minyak… Begitulah, Kerry berusaha memperlihatkan persetujuannya terhadap penurunan harga akan tetapi pada batas tertentu, kemudian mengelabui Eropa dan oposisi Rusia bahwa Amerika serius dalam menolong Ukraina melawan Rusia, berlawanan dengan realita sebenarnya…

Akan tetapi, untuk pertama kalinya Amerika mendapati dirinya tidak berhasil. Angin berhembus tidak seperti yang diharapkan oleh perahu. Penurunan minyak terjadi sampai ke level US$ 60 per barel hanya dalam beberapa bulan saja, sebab Arab Saudi berkeras untuk tidak menurunkan produksinya, bahkan Arab Saudi justru meningkatkan produksinya. Semua ini melahirkan reaksi di pasar minyak seperti yang sudah diketahui berupa pengaruh aspek-aspek tertentu terhadap harga pasar.

Keempat, adapun yang mungkin terjadi sekarang:

  1. Ada kesulitan harga akan kembali ke level sebelumnya.
  2. Akan tetapi, penurunan harga yang terus berlanjut akan berpengaruh pada kedua pihak:
  3. Terhadap Arab Saudi, dan Eropa yang ada di belakangnya khususnya Inggris. Sebab neraca APBN Arab Saudi tahun ini telah mengalami defisit sebesar 145 miliar Riyal Saudi dari anggaran belanja sebesar 860 miliar Riyal, yakni defisit sekitar 40 miliar dolar. Hal itu disebabkan turunnya harga minyak. Ini berpengaruh terhadap proyek-proyeknya di dalam negeri. Dan yang lebih penting lagi adalah apa yang menimpa ekspor Inggris ke Arab Saudi khususnya senjata disebabkan turunnya neraca APBN Arab Saudi dan defisit yang terjadi itu. Ekspor Inggris ke Arab Saudi tahun 2012 mencapai 7,5 miliar Pounsterling. Ditambah lagi investasi korporasi-korporasi Inggris yang mencapai sekitar 200 korporat dengan nilai sekitar 11,5 miliar Poundsterling dalam satu tahun. Semua itu akan terpengaruh oleh menurunnya kemampuan finansial Arab Saudi disebabkan turunnya harga minyak… Khususnya neraca pemerintah Arab Saudi 89 persen pemasukannya berasal dari ekspor minyak. Karena itu, terus berlanjutnya penurunan harga minyak akan berpengaruh dari aspek ini…
  4. Dari aspek lain, berlanjutnya penurunan harga minyak berpengaruh pada produksi Amerika atas minyak bebatuan (shale oil). Hal itu karena naiknya harga minyak pada tahun-tahun lalu membuat Amerika melakukan investasi miliaran dolar dalam ekstraksi minyak bebatuan (shale oil) di Amerika. Tampaknya hal itu berhasil sehingga menambah 4 juta barel minyak per hari sejak tahun 2008. Dan ini berpengaruh pada produksi minyak global.

Turunnya harga minyak akan menggiatkan perekonomian Amerika. Akan tetapi, kehilangannya dari perdagangan minyak bebatuan (shale oil) lebih besar dari itu. Tidak mudah bagi Amerika membiarkan Eropa, Saudi dan OPEC menghancurkan investasi Amerika.

  1. Berdasarkan hal itu, maka Amerika berusaha menggunakan teknik modern untuk menurunkan biaya produksi minyak bebatuan (shale oil) sehingga menjadi ekonomis meski harga minyak turun sekarang ini. Ini bukan perkara mudah, khususnya jika harga minyak terus turun. Tampaknya penurunan harga minyak belum akan berhenti. Hari ini 7/1/2015 dilaporkan harga minyak turun di bawah US$ 50 per barel… Bisa jadi, Amerika akan menyasar langsung Arab Saudi, lalu Amerika merekayasa beberapa krisis untuk Arab Saudi dan membuat defisit neraca APBN Arab Saudi meningkat sehingga Arab Saudi terpaksa menurunkan produksi minyaknya kemudian harga minyak pun meningkat… Atau bisa jadi, Amerika akan meringankan pemicuan krisis untuk Inggris di Yaman dan Libya dengan kompensasi Inggris menekan Arab Saudi sehingga Arab Saudi menurunkan produksi minyaknya dan berikutnya OPEC menurunkan produksinya sehingga harga minyak kembali naik lagi … karena salah satu dari ketiga faktor itu memerlukan strategi bahkan konspirasi… Atas dasar itu, krisis turunnya harga minyak akan terus menjadi obyek konflik, harga minyak akan terus berfluktuasi naik turun mengikuti pergolakan kekuatan atau mengikuti transaksi-transaksi kompromi berdasarkan metode kapitalisme…

Kelima, politik internasional sedang berada dalam turbulensi dan berguncang. Belum keluar dari satu krisis sudah masuk ke krisis berikutnya. Semua itu akibat rusaknya sistem kapitalisme yang mendominasi di dunia yang memang secara internal mengandung krisis internasional. Hal itu menciptakan kesempitan hidup bagi masyarakat khususnya dan untuk sistem internasional secara umum… Semua kerusakan, perusakan, kesengsaraan dan derita ini akan terus berlanjut selama sistem kapitalisme tetap mendominasi. Semua krisis-krisis ini tidak akan berhenti kecuali dengan solusi sistem Rabbani yang diwajibkan oleh Allah SWT terhadap hamba-hamba-Nya , yaitu sistem Khilafah Rasyidah yang secara inheren mengandung keadilan dan ketenteraman bagi siapa saja yang berteduh di bawah naungannya.

﴿وَيَقُولُونَ مَتَى هُوَ قُلْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَرِيبًا﴾

“Mereka berkata: “Kapan itu (akan terjadi)?” Katakanlah: “Mudah-mudahan waktu berbangkit itu dekat.”(TQS al-Isra’ [17]: 51)

 

16 Rabiul Awal 1436 H

07 Januari 2015 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_42758

Tulisan terkait :

1. Krisis Dolar, Kenaikan Harga Minyak, Logam dan Bahan Pangan.

2. Soal Jawab Kenaikan Harga Minyak Dunia.

 


Filed under: Ekonomi Tagged: minyak

Penjelasan Makna Tabarruj

$
0
0

Pertanyaan:

Syaikhuna yang dimuliakan. Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saya telah membaca apa yang Anda tulis mengenai pemakaian celana panjang di depan kerabat dan bahwa itu tidak syar’iy akan tetapi Anda tidak menyertakan dalil… Hanya saja, Anda mengatakan bahwa itu termasuk tabarruj. Sebagaimana yang kita pelajari bahwa makna tabarruj adalah semua hal yang menarik pandangan. Dan bisa saja pandangan masyarakat untuk tabarruj itu berbeda-beda dari satu negeri ke negeri lainnya. Celana panjang seperti yang saya ketahui di kehidupan sosial kami yang khusus diantara kerabat menjadi sesuatu yang tidak menarik pandangan. Sebab masyarakat di kehidupan khusus memakai pakaian gamis panjang dan celana panjang. Celana panjang itu tidak menarik pandangan sebab semua orang seperti kami. Dan masyarakat tempat kami hiduplah yang menentukan pandangannya untuk pakaian tersebut apakah di dalamnya ada tabarruj atau tidak, yakni apakah menarik pandangan atau tidak. Jadi saya mohon penjelasan dari Anda…

Dan semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan dan semoga Allah menolong Anda dan mendukung Anda dengan ahlu nushrah-Nya.

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Tabarruj secara bahasa adalah wanita menampakkan perhiasan dan kecantikannya kepada laki-laki. Di dalam Lisân al-‘Arab dikatakan: (dan at-tabarruj: menampakkan perhiasan kepada manusia asing dan tabarruj itu tercela. Sedangkan kepada suami maka tidak). Dan di dalam al-Qâmûs al-Muhîth dikatakan: (dia –perempuan- bertabarruj: dia -perempuan- menampakkan perhiasannya kepada laki-laki). Di dalamMukhtâr ash-Shihâh dikatakan: (dan at-tabarruj: wanita menampakkan perhiasannya dan kecantikannya kepada laki-laki…). Dan di dalam Maqâyîs al-Lughah dikatakan: [(baraja) al-bâ’ wa ar-râ’ wa al-jîm punya dua asal: salah satunya al-burûj dan azh-zhuhûr…, dan darinya at-tabarruj, yaitu wanita menampakkan kecantikan-kecantikannya). Dan dari kata izhhâr (menampakkan) dan dari kata al-burûz wa azh-zhuhûrdipahami bahwa keadaan perhiasan itu menarik pandangan seakan-akan ia –perempuan- menonjolkannya untuk laki-laki. Dan makna syar’iy tidak berbeda dengan yang demikian. Allah SWT berfirman:

﴿وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ﴾

Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.(TQS an-Nur [24]: 31)

 

Jadi janganlah seorang wanita menggerakkan kakinya dengan keras terhadap tanah sementara dia berjalan supaya keluar suara dari gelang kaki sehingga laki-laki tahu bahwa wanita tersebut memakai perhiasan di pergelangan kakinya di bawah pakaian. Semua ini berarti bahwa tabarruj itu secara bahasa dan syar’iy adalah perhiasan yang menarik pandangan/perhatian.

Dengan menerapkan makna ini terhadap pakaian celana panjang (pantalon) di kehidupan khusus di depan kerabat yang bukan mahram ketika mereka datang ke rumah sebagai bentuk shilaturrahim seperti mengucapkan selamat kepada kerabat mereka pada kondisi-kondisi yang dibenarkan oleh syara’ semisal hari raya… Jika pakaian itu tanpa gamis panjang di atasnya yang menutupi celah (selangkangan) celana di atas kedua paha, maka hal itu menarik pandangan (perhatian). Seorang wanita yang mengenakan celana panjang dan celah (selangkangan) atasnya di atas kedua paha tampak maka itu menarik pandangan (perhatian). Sedangkan jika ada gamis yang menutupi celah (selangkangan) atas dari celana di atas kedua paha dan semacam itu maka tidak menarik pandangan (perhatian) kecuali pada kondisi yang tidak biasa…

Bukan suatu keharusan didatangkan nash yang menyebutkan bahwa memakai celana di kehidupan khusus di depan kerabat yang bukan mahram adalah tabarruj. Akan tetapi dalil-dalil di atasnya menyebutkan realita tabarruj itu apa dan ini berlaku (sesuai) terhadap celana panjang dan blus tanpa gamis yang menutupi celah (selangkangan) celana panjang di atas kedua paha dan semacam itu. Karena itu di dalam jawab soal dinyatakan sebagai berikut: (dan memakai celana adalah tabarruj. Karena itu wanita tidak boleh muncul dengan celana panjang di depan kerabat yang bukan mahram ketika mereka datang untuk shilaturrahim atau memberikan ucapan selamat hari raya…) selesai. Jadi jawaban itu adalah tentang memakai celana panjang dan blus, yakni muncul tanpa ditutup dengan gamis. Dan bisa jadi jawaban itu telah rancu bagi sebagian akhwat sehingga sebagian dari mereka bertanya tentang topik tersebut untuk memperjelasnya lalu saya kirimkan jawaban sebagai berikut:

(Sesungguhnya apa yang dilansir di situs Hizb seputar memakai celana panjang di dalam rumah di depan kerabat yang bukan mahram, dan bahwa itu dinilai sebagai tabarruj sehingga tidak boleh di depan mereka… Jawaban ini adalah jika celana panjang itu terbuka, artinya celana panjang dan blus. Jadi celana panjang itu tampak. Pada kondisi demikian maka itu termasuk tabarruj. Sehingga tidak boleh memakainya di dalam rumah di depan kerabat yang bukan mahram ketika kunjungan mereka ke rumah untuk shilaturrahim pada hari-hari raya misalnya. Sedangkan jika di atas celana panjang itu ada rok yang tidak menarik pandangan (perhatian), menutupi celana panjang itu atau menutupi sebagian besar darinya … maka tidak merupakan tabarruj di rumah wanita itu di depan kerabat yang bukan mahram ketika kunjungan mereka ke rumah untuk shilaturrahim di hari-hari raya …) selesai.

Dan jelas dari pertanyaan tersebut bahwa pemilik pertanyaan itu tidak menelaah jawaban ini.

Dan tentu saja, jawaban itu adalah di dalam rumah, dan bukan di kehidupan umum. Sebab pakaian kehidupan umum sudah ma’ruf di mana di dalamnya harus terpenuhi tiga hal: menutupi aurat, tidak tabarruj dan mengenakan jilbab syar’iy. Masalah ini telah kami rinci di jawaban yang lainnya. (www.konsultasi.wordpress.com)

 

Saudaramu

 

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

22 Shafar 1436 H

14 Desember 2014 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_42161

 

Sumber :

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”
Jawaban Pertanyaan: Penjelasan Makna Tabarruj
Kepada Ranood Zagl

 

Tulisan terkait :

1. Hukum Menutup Kedua Kaki bagi Wanita.

2. Batas Busana Muslimah Bagian Bawah.

3. Seputar Pakaian Syar’iy untuk Perempuan.

4. Mengulurkan Jilbab, Sebatas Apa?

5.  Jilbab Tidak Sama dengan Kerudung.

6. Jilbab dan Khimar, Busana Muslimah dalam Kehidupan Sehari-Hari.

7.  Aurat Wanita terhadap Wanita.

8.  Hukum Wanita Muslimah Menampakkan Auratnya di Depan Wanita Kafir.

9.  BEKERJA MENJUAL PAKAIAN SEKSI.

10.  Kerudung Wajib Diulurkan ke Atas Dada, Tidak Boleh Diikat ke Belakang atau Dimasukkan ke dalam Baju.

11.  Berpakaian Sesuai Syariat Islam.


Filed under: Pakaian-Penampilan

Apa Batasan Tabarruj?

$
0
0

Soal:

Benarkah memakai celana panjang bagi perempuan termasuk tabarruj? Lalu apa dan siapa yang menentukan batasan tabarruj bagi kaum perempuan sehingga tidak boleh?

 

Jawab:

Tabarruj secara bahasa adalah menampakkan perhiasan dan kecantikan kepada laki-laki (asing). Di dalam Lisân al-‘Arab dikatakan, at-tabarruj berarti menampakkan perhiasan kepada orang asing; tabarrujitu tercela, sedangkan kepada suami tidak. Dalam al-Qâmûs al-Muhîth dikatakan, “Dia (perempuan) ber-tabarruj.” Artinya,  dia menampakkan perhiasannya kepada laki-laki (asing). Dalam Mukhtâr ash-Shihâh dikatakan, at-tabarruj adalah wanita menampakkan perhiasan dan kecantikannya kepada laki-laki (asing). Dalam Maqâyîs al-Lughah dikatakan, [barajaal-bâ’ wa ar-râ’ wa al-jîm mempunyai dua asal, salah satunya al-burûj dan azh-zhuhûr. Dengan demikian at-tabarruj yaitu wanita menampakkan kecantikannya.

Dari kata izhhâr (menampakkan) dan dari kata al-burûz wa azh-zhuhûr bisa dipahami, bahwa keadaan perhiasan itu menarik pandangan seakan-akan ia (perempuan) menonjolkannya untuk kaum laki-laki. Makna syar’i tidak berbeda dengan ini. Allah SWT berfirman:

وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ

Janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan (QS an-Nur [24]: 31).

Jadi, janganlah seorang wanita memukulkan kakinya dengan keras ke tanah saat dia berjalan agar gelang kakinya mengeluarkan suara sehingga kaum laki-laki tahu dan melihatnya, bahwa wanita tersebut memakai perhiasan di pergelangan kakinya di bawah pakaian. Semua ini menunjukkan bahwa tabarrujitu secara bahasa dan syar’i adalah perhiasan yang menarik perhatian.

Makna ini bisa diterapkan pada pakaian celana panjang dalam kehidupan khusus di depan kerabat yang bukan mahram saat mereka datang ke rumah sebagai bentuk silaturahmi, seperti mengucapkan selamat kepada kerabat mereka pada kondisi-kondisi yang dibenarkan oleh syariah, semisal hari raya. Seorang wanita yang mengenakan celana panjang dan selangkangan atasnya di atas kedua paha tampak, maka ini bisa menarik perhatian. Namun, jika ada gamis yang menutupi selangkangan atasnya dari kedua paha dan semacamnya, maka ini tidak menarik perhatian, kecuali pada kondisi yang tidak lazim.

Tidak perlu ada nash yang menyebutkan bahwa memakai celana dalam kehidupan khusus di depan kerabat yang bukan mahram adalah tabarruj. Dalil di atas telah menyebutkan fakta tabarruj itu seperti apa. Ini juga bisa mencakup celana panjang dan blus tanpa gamis yang menutupi selangkangan celana panjang di atas kedua paha dan sejenisnya. Karena itu dalam Soal-Jawab dinyatakan sebagai berikut:

Memakai celana adalah tabarruj. Karena itu wanita tidak boleh muncul dengan celana panjang di depan kerabat yang bukan mahram ketika mereka datang untuk silaturahmi atau memberikan ucapan selamat hari raya…

Jadi, jawaban ini untuk konteks memakai celana panjang dan blus yang tampak di luar tanpa ditutup dengan gamis. Bisa jadi jawaban ini telah menimbulkan kerancuan bagi sebagian akhwat sehingga sebagian dari mereka bertanya tentang topik ini. Untuk memperjelas masalah ini, perlu dijelaskan sebagai berikut:

Sesungguhnya apa yang telah dilansir di situs Hizb mengenai memakai celana panjang di dalam rumah di depan kerabat yang bukan mahram, dan bahwa itu dinilai sebagai tabarruj sehingga tidak boleh dilakukan di depan mereka, ini berlaku jika celana panjang itu terbuka, artinya celana panjang dan blus. Jadi celana itu tampak. Pada kondisi demikian, ini termasuk tabarruj. Wanita tidak boleh memakainya di dalam rumah di depan kerabat yang bukan mahram saat kunjungan mereka ke rumah untuk silaturahmi pada hari-hari raya, misalnya. Namun, jika di luar celana panjang itu ada rok yang tidak menarik perhatian, menutupi celana panjang itu atau menutupi sebagian besar darinya, maka ini tidak termasuktabarruj di rumah wanita itu di depan kerabat yang bukan mahram saat mereka berkunjung ke rumah untuk silaturahmi di hari-hari raya…

Tentu saja, itu berlaku dalam konteks di dalam rumah, bukan dalam kehidupan umum. Sebab, pakaian dalam kehidupan umum sudah ma’ruf, di dalamnya harus terpenuhi tiga hal: menutupi aurat (satr al-awrah), tidak tabarruj dan mengenakan jilbab syar’i. Masalah ini telah kami rinci.

Tinggal satu masalah, yaitu siapa yang menentukan bahwa ini termasuk tabarruj atau tidak? Apakah syariah, konvensi atau pakar?

Ada beberapa hal yang telah dinyatakan oleh Pembuat Syariah sebagai bentuk tabarruj, sehingga tak diragukan lagi hal itu termasuk tabarruj, dan hukumnya haram menurut nash syariah. Namun, karena dalil yang menyatakan itu merupakan dalil yang menyatakan kasus-perkasus, bukan dalam bentuk makna umum, selain itu juga tidak disertai ‘illat syariah, maka keharamannya terbatas pada kasus itu saja, tidak bisa digeneralisasi untuk yang lain; tidak pula bisa dianalogikan dengan yang lain.

Ada juga hal-hal yang tidak dinyatakan oleh syariah, tetapi ia ada setiap waktu dan sama setiap saat. Hal-hal seperti ini tidak membutuhkan dalil baru, karena masalahnya tidak terkait dengan hukumnya, tetapi terkait dengan faktanya. Ini merupakan deskripsi dan hakikat fakta. Ini tidak ada kaitannya dengan dalil, tetapi terkait dengan fakta, seperti apa?

Begitu juga, fakta seperti ini tidak diketahui melalui konvensi. Pasalnya, konvensi sekadar tradisi yang telah berkembang, lalu menjadi konvensi umum. Adapun tabarruj tidak seperti itu. Tabarruj bukanlah tradisi yang menjadi tradisi sebagian masyarakat, lalu berkembang di tengah mereka. Tabarrujmerupakan perhiasan tertentu yang digunakan kaum perempuan berdandan.

Karena itu penilaian tabarruj dari segi substansinya, tatacara dan posisinya, apakah dianggap tabarrujatau tidak, lalu siapa yang menjadi rujukan dalam menilai, inilah fakta tabarruj. Jadi, ini merupakan penilaian tentang perhiasan tertentu, apakah termasuk dalam kategori menampakkan perhiasan dan kecantikan, atau sekadar dandanan biasa. Jadi, masalah tabarruj ini sebenarnya merupakan masalah penilaian. Dengan kata lain, tabarruj ini merupakan fakta penilaian, bukan sesuatu yang menjadi tradisi masyarakat yang mereka buat, lalu berkembang di tengah-tengah mereka. Bukan pula sesuatu yang digunakan dalam peristilahan, karena merupakan fakta, bukan makna ungkapan, sementara istilah menyangkut ungkapan dan maknanya. Jadi, sekali lagi, tabarruj tidak termasuk dalam kategori ini, melainkan penilaian tentang obyek tertentu dari sudut pandang tertentu. Penilaian ini kembali pada sudut pandang tersebut.

Dengan meneliti fakta benda-benda yang membutuhkan penilaian, dan dengan mencermati fakta tersebut, maka tampak, bahwa masyarakatlah yang menjadi rujukan penilaian ini. Dengan kata lain, interaksi masyarakat yang menjadikan mereka sebagai rujukan penilaian ini. Jika mereka berselisih, masalahnya harus dikembalikan kepada pakar (ahli) dalam urusan ini. Karena itu agar dandanan tertentu bisa diketegorikan tabarruj atau tidak, penilaiannya kembali kepada masyarakat tersebut. Jika mereka menilai bahwa dandanan itu bisa menarik perhatian laki-laki asing, maka dari aspek mempertontonkan dandanan, serta kecantikan kepada orang asing ini termasuk dalam ketegori tabarruj. Namun, jika mereka menilai dandanan tersebut merupakan dandanan biasa, maka tidak termasuk tabarruj.

Jadi, tabarruj merupakan dandanan tertentu yang penilaiannya kembali kepada masyarakat, bukan dikembalikan pada syariah, konvensi atau istilah. Ini seperti benda-benda lain yang penilaiannya dikembalikan kepada masyarakat; seperti harga, upah, mahar dan sebagainya. Batasan dan siapa yang menentukan tidak dikembalikan pada syariah, tetapi pada standar masyarakat. Harga, upah dan mahar yang menentukan adalah masyarakat. Masyarakat pula yang menentukan, apakah harga itu termasuk dalam kategori ghabn fakhisy (penipuan yang keji), atau tidak? Masyarakat pula yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Jadi, masyarakatlah yang menentukan batasan tabarruj ini. Jika terjadi perselisihan dalam menentukan upah, harga, mahar, termasuk tabarruj ini, maka harus dikembalikan kepada ahli.

Karena itu, tidak boleh mencampuradukkan antara masalah tabarruj, menutup aurat dan pakaian wanita di tempat umum, yaitu jilbab. Ini adalah tiga hal yang berbeda. Maka dari itu, boleh jadi seorang wanita sudah menutup aurat, tetapi melakukan tabarruj. Boleh jadi dia berpakaian luas, sebagaimana perintah syariah, tetapi dia melakukan tabarruj. Begitulah fakta tabarruj, apa dan siapa yang menentukan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Hizb dalam nasyrahSoal-Jawab” 24 Muharram 1390 H/1 April 1970 M.[KH. Hafidz Abdurrahman] (www.konsultasi.wordpress.com)

Sumber : Majalah Al Waie edisi Februari 2015

Tulisan terkait :

1.  Penjelasan Makna Tabarruj.

2.  Hukum Kontes Kecantikan.

3.  Batas Busana Muslimah Bagian Bawah.

4.  Hukum Memanfaatkan Wanita untuk Menjadi Model Iklan.


Filed under: Pakaian-Penampilan Tagged: tabarruj

Seputar Masalah Wanita Haidh Membaca al-Quran

$
0
0

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saya telah banyak bertanya kepada Anda seputar masalah ini: apakah boleh bagi wanita haidh membaca al-Quran? Saya mendengar banyak jawaban yang berbeda… Lalu apa jawaban yang benar? Semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Masalah wanita haidh membaca al-Quran, di situ ada detil perbedaan pendapat diantara para fukaha. Banyak dari fukaha mengatakan hal itu haram. Diantara mereka ada yang memperbolehkannya dengan rincian-rincian dan syarat-syarat…

Yang saya rajihkan bahwa tidak boleh bagi wanita haidh membaca al-Quran. Hal itu karena sabda Rasulullah saw:

«لَا تَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلَا الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ» رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ

“Janganlah seseorang yang sedang haidh dan jangan pula seseorang yang sedang junub membaca sesuatupun dari al-Quran” (HR at-Tirmidzi)

Hadits ini meski ada kritik tentangnya, namun banyak fukaha mengambilnya. Meski demikian, telah dinyatakan di dalam hadits shahih pengharaman membaca al-Quran bagi orang yang sedang junub. Dan orang yang sedang haidh seperti orang yang sedang junub pada masalah ini. Abu Dawud dan an-Nasai telah mengeluarkan, dan dalam riwayat Ibn Majah semacam itu, dari Ali ra., ia berkata:

«كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ مِنَ الْخَلَاءِ فَيُقْرِئُنَا الْقُرْآنَ وَيَأْكُلُ مَعَنَا اللَّحْمَ، وَلَمْ يَحْجُبْهُ – أَوْ يَحْجُزْهُ – عَنِ الْقُرْآنِ شَيْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةَ»

“Nabi saw keluar dari kamar kecil lalu beliau membacakan al-Quran kepada kami dan makan daging bersama kami, tidak menghijab beliau –tidak menghalangi beliau- dari al-Quran sesuatupun selain junub.”

Jelas dari hadits tersebut bahwa junub menghalangi membaca al-Quran, artinya membaca al-Quran haram bagi orang yang junub. Dan orang yang haidh seperti orang yang junub, maka haram baginya membaca al-Quran sebagaimana haram bagi orang yang junub membaca al-Quran.

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

01 Rabiuts Tsani 1436 H

21 Januari 2015 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_43228

https://www.facebook.com/Ata.abualrashtah/photos/a.154439224724163.1073741827.154433208058098/393570050811078/?type=1&theater

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan: Seputar Masalah Wanita Haidh Membaca al-Quran
Kepada Leni Marlina

Tulisan terkait :

1. Hukum Seputar Wanita Haid.

2.  MEMBACA QUR`AN, MASUK MASJID, DAN MANDI WAJIB BAGI WANITA HAID.

3.  WANITA HAID BERDIAM DI MASJID


Filed under: Wanita Tagged: haid

Seputar Pakaian Syar’iy Untuk Wanita di Kehidupan Umum dan Kehidupan Khusus

$
0
0

Pertanyaan:

Nessrine Boudhafri

Semoga Allah SWT melimpahkan berkah kepada Anda amiruna dan menolong Anda… Akan tetapi pertanyaan dalam konteks ini, Anda katakan dalam jawaban Anda “Karena itu maka wanita tidak boleh mengenakan wig secara menyolok dalam kehidupan umum hingga meskipun wanita itu mengenakan jilbab, namun jika ia mengenakan kerudung di atas wig itu yang menutupinya secara sempurna dan tidak tersisa bekas di depan orang yang melihat”. Dari ini bisa dipahami bahwa boleh memakai wig di bawah kerudung atau di dalam rumah misalnya, kemudian tidakkah wig itu mengambil hukum menyambung rambut?

Bulughuka Maramiy

Tidakkah wig atau rambut buatan itu bisa dianggap menyambung rambut yang dilarang di dalam hadits?:

… اَلْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ

… orang yang menyambung rambut dan yang minta disambung rambutnya

Semoga Anda diberi balasan yang lebih baik.

Mosa Za:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Saudaraku yang dimuliakan, ada syubhat yang tampak ada di kami yaitu memakai jilbab di atas celana panjang yang mencapai lutut, apakah ini boleh?

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Pertanyaan-pertanyaan Anda memiliki obyek yang berdekatan, oleh karena itu saya akan menggeneralkan jawaban atasnya secara bersamaan:

  1. Wanita tidak boleh keluar ke kehidupan umum kecuali dengan pakaian syar’iy yang di dalamnya terpenuhi tiga hal: menutup aurat, mengenakan jilbab dan kerudung, dan tidak bertabarruj.
  • Adapun jilbab maka itu adalah pakaian luas yang menutupi pakaian yang di dalam, dan diulurkan untuk menutupi kedua kaki. Allah SWT berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ﴾

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzab [33]: 59)

Yakni hendaknya mereka (para wanita) mengulurkan ke seluruh tubuh mereka pakaian yang mereka kenakan di atas pakaian, untuk keluar, berupa mantel atau jubah yang mereka ulurkan hingga ke bawah. Karena itu dalam hal jilbab itu disyaratkan haruslah diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kaki. Sebab Allah SWT berfirman di dalam ayat tersebut:

﴿يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ﴾

“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzab [33]: 59)

Yakni hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka, sebab kata “min” di sini bukan untuk menyatakan sebagian (li at-tab’îdh) akan tetapi untuk menjelaskan (li al-bayân). Artinya, hendaklah mereka mengulurkan mantel atau jubah ke bawah sampai menutupi kedua kaki. Jika kedua kaki itu tertutup dengan sepatu atau kaos kaki maka hal itu bukan berarti tidak perlu mengulurkannya ke bawah dalam bentuk yang menunjukkan adanya irkhâ’ (penjuluran), meski tidak harus menutupi kedua kaki sebab kedua kaki itu tertutupi. Akan tetapi jilbab itu harus dijulurkan sampai kedua kaki agar disitu ada irkhâ’. Artinya, jilbab itu jatuh (menjulur) ke bawah secara menonjol yang darinya diketahui bahwa itu adalah pakaian kehidupan umum yang wajib dikenakan oleh perempuan di kehidupan umum, dan tampak di situ irkhâ’ yakni di situ terealisir firman Allah SWT “yudnîna“, yakni yurkhîna (hendaklah mereka mengulurkan). Ini berarti jilbab itu sampai ke tanah jika kedua kaki terbuka (tidak tertutup). Dan cukup sampai kedua kaki jika kedua kaki itu tertutup dengan sepatu atau kaos kaki, akan tetapi bukan kurang dari mencapai kedua kaki, dan hal itu agar terpenuhi konotasi kata “yurkhîna –hendaklah mereka mengulurkan-“.

Atas dasar itu, tidak boleh bagi wanita di kehidupan umum untuk keluar sementara dia mengenakan celana panjang dan di atasnya jubah panjang hingga kedua lutut, yakni tidak sampai kedua kakinya yang tertutup dengan sepatu. Ini tidak memenuhi makna syar’iy untuk jilbab. Dan bagi wanita juga tidak boleh keluar ke kehidupan umum kecuali ia menutupi pakaian dalam (pakaian rumahan) dan diulurkan ke bawah sampai kedua kakinya. Dan jika ia tidak mendapati jilbab itu maka ia tidak boleh keluar atau ia meminjam jilbab dari tetangganya. Hal itu karena apa yang diriwayatkan oleh imam Muslim di dalamShahîh-nya dari Ummu Athiyah, ia berkata:

«أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، الْعَوَاتِقَ، وَالْحُيَّضَ، وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ، وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ، وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ»، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ، قَالَ: «لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا»

“Rasulullah saw memerintahkan kami agar kami mengeluarkan pada hari Idul Fithri dan Idul Adhha, perempuan yang dipingit, wanita yang sedang haidh dan yang memiliki halangan (udzur). Adapun wanita haidh maka ia memisahkan diri dari shalat dan menyaksikan kebaikan dan seruan terhadap kaum Muslimin”. Aku katakan: “ya Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.” Beliau bersabda: “hendaklah saudaranya meminjaminya jilbabnya.”

  • Adapun kerudung, maka itu adalah penutup kepala yang menutupi rambut, leher dan bukaan baju “al-jayb”. Allah SWT berfirman:

﴿وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ﴾

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya” (TQS an-Nur [24]: 31)

Yakni hendaklah mereka mengulurkan penutup kepala mereka atas leher dan dada mereka, untuk menyembunyikan bukaan gamis dan bukaan baju berupa leher dan dada.

  • Adapun tabarruj maka artinya adalah perhiasan yang menarik pandangan. Memakai celana panjang itu menutup aurat, akan tetapi itu termasuk tabarruj jika di atasnya tidak ada jilbab. Wig termasuk tabarruj sebab menarik pandangan. Karena itu tidak boleh memakai wig secara menyolok dalam kehidupan umum meksipun wanita itu mengenakan jilbab, kecuali jika di atas wig itu dia mengenakan kerudung yang menutupi sempurna wig itu dan tidak lagi terlihat bekasnya di depan orang yang memandang. Sebab perhiasan itu meskipun tertutup, jika menarik pandangan maka itu merupakan tabarruj. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT terkait pengharaman menampakkan suara gelang yang dipakai di pergelangan kaki wanita di bawah pakaiannya. Jika ia menghentakkan kakinya ke tanah maka gelang itu mengeluarkan suara yang menunjukkan gelang itu, dan itu adalah tabarruj meskipun tertutupi. Sebab dengan mengeluarkan suaranya membuatnya menarik pandangan.

﴿وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ﴾

“Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (TQS an-Nur [24]: 31)

  1. Adapun apakah wig itu berlaku atasnya menyambung rambut, maka perkaranya tidak demikian. Wig bukan sambungan (menyambung) rambut, akan tetapi menyambung rambut dan meminta disambung rambut adalah yang memanjangkan rambut dengan mengikatkan rambut lain dengan rambutnya agar tampak indah dan panjang. Di dalam sumber-sumber bahasa mengenai makna al-wâshilah: di Lisân al-‘Arab “… al-wâshilah min an-nisâ`: wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut lain.” Ini adalah haram di mana saja wanita itu berada, hingga di dalam rumahnya sendiri sekalipun. Hal itu berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh imam al-Bukhari dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw, beliau bersabda:

«لَعَنَ اللَّهُ الوَاصِلَةَ وَالمُسْتَوْصِلَةَ…»

“Allah melaknat wanita yang menyambung rambut dan yang meminta disambung rambut…”

Adapun wig maka itu adalah rambut yang dikenakan di atas rambut asli. Dan itu termasuk tabarruj yang tidak boleh bagi wanita mengenakannya dalam kehidupan umum, semisal dengan ketidakbolehan mengenakan celana panjang dalam kehidupan umum tanpa jilbab, sebab itu adalah tabarruj. Dan tabarruj sebagaimana yang telah diketahui adalah haram.

Karena itu wanita boleh menggunakan wig di kepalanya di depan suaminya sebagai perhiasannya dalam kehidupan khusus. Akan tetapi wanita tidak boleh mengenakannya dalam kehidupan umum tanpa ada kerudung di atasnya yang menutupinya sempurna. Dan tampilnya wanita dengan wig dalam kehidupan umum adalah tabarruj dan itu adalah haram.

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

23 Rabiul Awal 1436 H

14 Januari 2015 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_42972

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:
Seputar Pakaian Syar’iy Untuk Wanita di Kehidupan Umum dan Kehidupan Khusus
Kepada Nessrine Boudhafri – Bulughuka Maramiy – Mosa Za

Tulisan terkait :

1. Hukum Menutup Kedua Kaki bagi Wanita.

2. Batas Busana Muslimah Bagian Bawah.

3. Seputar Pakaian Syar’iy untuk Perempuan.

4. Mengulurkan Jilbab, Sebatas Apa?


Filed under: Pakaian-Penampilan Tagged: jilbab

Jika Copas Blog Konsultasi Islam

$
0
0

Isi blog Konsultasi Islam boleh dicopy paste untuk kebaikan. Akan tetapi, mohon diperhatikan tanggal artikel yang kami publikasikan.

Ada beberapa tulisan yang sebenarnya bertentangan antara publikasi terdahulu dengan publikasi setelah beberapa waktu kemudian. Dalam kasus seperti ini, maka yang kami pakai adalah kesimpulan pada publikasi terbaru. Kami sengaja tidak menghapus tulisan terdahulu sebagai bahan wacana saja.

Demikian.


Filed under: Dari Kami Tagged: copas
Viewing all 374 articles
Browse latest View live