Quantcast
Channel: Konsultasi Islam
Viewing all 374 articles
Browse latest View live

As-Sunnah al-Fi’liyah al-Mutawâtirah

$
0
0

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Ada dua pertanyaan jika Anda berkenan, semoga Allah memberi Anda taufik…

  1. Di dalam buku asy-Syakhshiyyah al-Islamiyah juz III halaman 82 dinyatakan sebagai berikut:

“Dan hadits mutawatir itu qath’iy tsubut berasal dari Nabi saw, memberi faedah pengetahuan yang bersifat yakin/pasti (‘ilman yaqîniyan) dan wajib diamalkan dalam apa saja, baik berupa as-sunnah al-qawliyah (sunnah berupa ucapan) atau fi’liyah (berupa perbuatan) atau as-sukûtiyah (berupa diam persetujuan). Diantara hadits-hadits qawliyah mutawatirah adalah sabda Rasul saw:

«مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِداً فَلْيَتَبَوَأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»

“Siapa saja yang berdusta atas namaku secara sengaja maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”

Dan diantara as-sunnah al-fi’liyah al-mutawatirah adalah shalat lima waktu dan jumlah rakaatnya. Demikian juga apa yang dinyatakan tentang tata cara shalat, puasa dan haji.

Pertanyaan tentang “as-sunnah al-fi’liyah al-mutawatirah”, apakah “as-sunnah al-fi’liyah al-mutawatirah” itu? Apakah “as-sunnah al-fi’liyah al-mutawatirah” merupakan khabar tawatur tentang perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah saw? Ataukah “as-sunnah al-fi’liyah al-mutawatirah” adalah perbuatan tawatur yang dilakukan oleh orang-orang dari generasi ke generasi dari masa Rasulullah saw sampai hari kita ini?

Sebagian pentahqiq menjadikan apa yang mereka sebut “tawâtur ‘amal” atau “tawâtur tawâruts” sebagai salah satu jenis dari at-tawâtur. Misalnya asy-Syaikh Syubair Ahmad al-‘Utsmani dalam Muqaddimah “Fathal-Mulhim” halaman 18 mengatakan:

“dan bagian ketiga: tawâtur ‘amal dan tawâtur tawâruts, yaitu dilakukan pada setiap generasi sejak masa shahibu asy-syari’ah sampai hari kita ini oleh sejumlah besar orang yang melakukannya, di mana biasanya mereka mustahil berkolusi untuk berbohong atau keliru (ghalath), seperti siwak dalam wudhu. Ia adalah sunah, dan meyakini kesunahannya adalah fardhu. Sebab hal itu terbukti dengan at-tawâtur al-‘amaliy dan mengingkarinya adalah kufur… Termasuk dari hal itu adalah shalat lima waktu. Tidak ada seorang pun mukmin dan kafir yang berbeda pendapat dan tidak ada seorang pun yang meragukan bahwa shalat lima waktu itu Beliau lakukan bersama sahabat-sahabat beliau setiap sehari semalam pada waktu-waktu yang ditentukan, dan demikian juga orang yang mengikuti beliau di atas agama beliau menjalankan shalat seperti mereka setiap hari. Begitulah sampai hari ini. Tidak ada yang ragu bahwa penduduk Sind menjalankan shalat seperti yang dilakukan oleh penduduk Andalus, dan bahwa orang-orang Armenia melakukan shalat seperti yang dilakukan oleh penduduk Yaman…” selesai.

Apakah ini dan apa yang kita sebut “as-sunnah al-fi’liyah al-mutawatirah” adalah sama? Ataukah keduanya berbeda? Dan jika berbeda apakah kita menerima apa yang mereka namakan tawâtur ‘amal atau kita menolaknya?

  1. Para pentahqiq diantara ahli hadits seperti Ibn Hajar, an-Nawawi, as-Suyuthi dan selain mereka membagi hadits maqbul (yang diterima) menjadi “shahîh li dzatihi”, “shahîh li ghayrihi”, “al-hasan li dzatihi” dan “al-hasan li ghayrihi”, sementara kita mencukupkan dengan apa yang ada di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz I dan III dengan pembagian “ash-shahîh” dan “al-hasan”. Apakah ini hanya perbedaan dalam istilah saja tetapi makna atau konotasinya sama ataukah juga berbeda dalam hal makna? Semoga Allah memberkahi Anda.

 

Jawab:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

  1. As-sunnah al-mutawâtirah baik apakah berupa ucapan, perbuatan, taqrir (persetujuan) untuk ucapan atau perbuatan, tidak akan menjadi mutawatir kecuali jika dinukilkan secara mutawatir dari Rasulullah saw. Adapun pendapat bahwa perbuatan-perbuatan itu menjadi sunnah fi’liyah mutawâtirah jika dilakukan oleh banyak orang pada masa Rasulullah saw dan banyak orang pada masa at-tabi’un dan tabi’ut tabi’in tanpa dibuktikan dengan at-tawatur bahwa perbuatan-perbuatan itu dilakukan atau disetujui pelaksanaannya oleh Rasulullah saw, pendapat ini tidak benar. Tidak akan menjadi mutawatir kecuali jika dibuktikan dari Rasul saw secara at-tawâtur bahwa beliau melakukannya atau menyetujui pelaksanaannya.

Apa yang dilakukan oleh pemilik pendapat ini adalah termasuk perkara-perkara asumtif. Buktinya adalah contoh-contoh yang mereka sebutkan, seperti shalat lima waktu. Shalat lima waktu dibuktikan dengan at-tawatur dari Rasul saw. Adapun siwak, maka tentangnya ada hadits shahih dari Rasulullah saw. Dan penilaian kemutawatiran hadits-hadits ini disandarkan pada sanad hadits-hadits ini. Jika dinukilkan secara mutawatir maka hadits itu mutawatir, dan jika dinukilkan secara ahad maka tidak menjadi hadits mutawatir. Artinya yang menjadi patokan adalah sanad dari Rasulullah saw.

Pendapat mereka bahwa shalat lima waktu dilakukan di Sind, di Andalus, di Yaman dan di Armenia lima kali shalat, dimana mereka tidak berbeda pendapat bahwa shalat lima waktu itu lima … maka semua ini tidak menjadikannya mutawatir seandainya tidak dinukilkan dari Rasulullah saw secara tawatur… Yang menjadikannya mutawatir adalah terbuktinya penukilannya dari Rasul saw secara tawatur.

Ringkasnya bahwa at-tawatur itu bersandar pada sanad. Jika dinukilkan dengan penukilan mutawatir maka bisa dijadikan sandaran. Dan jika tidak berupa penukilan mutawatir maka dikaji sanadnya atau diputuskan berdasarkan hal itu. Seperti yang saya katakan barusan, pendapat mereka itu bersifat asumtif. Sebab mereka tidak bisa menyebutkan satu contoh saja yang tidak terbukti dari Rasulullah saw, akan tetapi kemutawatirannya ditetapkan dari perbuatan kaum muslim.

  1. Adapun shahîh li dzatihi dan shahîh li ghayrihi, dan hasan li dzatihi dan hasan li ghayrihi … masalah ini tentangnya ada kajian-kajian. Dan saya akan jelaskan masalah ini secara ringkas tanpa masuk dalam beberapa aspek perbedaan. Saya katakan:

Hadits shahîh adalah hadits yang dinukilkan dari Rasulullah saw dengan penukilan orang yang adil dan dhabith, bersambung sanadnya, tanpa ada illat dan tidak pula syadz. Ini adalah hadits shahîh, atau yang disebut shahîh li dzatihi. Tingkatannya berbeda-beda sesuai perbedaan sifat-sifat ini. Dan berikutnya dikedepankan shahîh al-Bukhariy kemudian Muslim kemudian yang sesuai syarat keduanya ….

Jika dhabthunya lebih ringan seraya memenuhi syarat-syarat shahîh maka hasan li dzatihi.

Jika bertambah banyak jalurnya yang shahih maka meningkatkan al-hasan sebagai shahîh maka disebutshahîh li ghayrihi.

Jika sanad tersebut tidak memenuhi syarat-syarat shahîh dan hasan maka dha’if.

Jika bertentangan dengan riwayat-riwayat dha’if dengan makna yang sama maka ada yang menyebutnyahasan li ghayrihi.

Sesuai dengan tabiat keadaan tersebut maka kami tidak menganggap dha’if bersama dengan dha’if bersama dengan dha’if … sebagai hasan, akan tetapi itu tetap dha’if.

Pengklasifikasian ini “al-hasan li ghayrihi” belum beredar pada masa pertama ilmu hadits. Dan orang pertama yang mengatakan hal itu seperti yang disebutkan oleh sebagian sumber adalah imam al-Baihaqi rahimahullah di beberapa tempat dari buku-buku beliau.

Ada perbedaan pendapat tentang “al-hasan li ghayrihi”, yakni penguatan dha’if dengan dha’if, dari sisi beramal dengannya. Sebagian dari mereka ada yang mengambilnya. Dan sebagian dari mereka ada yang tidak menerimanya dan menilainya dha’if, dan inilah yang rajih seperti yang kami katakan barusan.

Ini tidak membuat pengklasifikasian hadits-hadits selain apa yang kami sebutkan di buku-buku kami. Sebab hadits yang mereka katakan sebagai hasan li ghayrihi adalah hadits dha’if terkait sanadnya. Dan oleh karena itu maka al-hasan li ghayrihi bukan jenis baru.

 

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

26 Syawal 1436 H

11 Agustus 2015 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_50113


Filed under: Ushul Fikh Tagged: hadits

Khawatir Ibadah Tidak Diterima Allah

$
0
0

Tanya:

Ustadz, saya sering khawatir kalau-kalau ibadah yang saya lakukan, seperti sholat, puasa, dll, tidak diterima oleh Allah SWT. Bagaimana mengatasi rasa khawatir tersebut? (Farhan F, Karawang).

Jawab :

Perasaan khawatir atau takut tersebut sebenarnya hal yang baik bagi seorang muslim, bukan hal yang buruk, selama dia dapat meletakkan rasa takutnya itu secara proporsional, yaitu dapat meletakkan rasa takut (al khauf) dan rasa harap (ar raja`) secara seimbang (tawazun, i’tidal).

Jika dalam hati seorang muslim hanya rasa takut yang dominan, sementara rasa harap sangat tipis, akan melahirkan sikap putus asa dari rahmat Allah SWT yang tercela. Sebaliknya jika rasa takut sangat tipis, sedangkan rasa harap sangat besar, akan melahirkan sikap berani berbuat maksiat atau tidak takut berbuat dosa. Tentu ini juga tercela.

Keseimbangan rasa takut (al khauf) dan rasa harap (ar raja`) tersebut ditunjukkan oleh firman Allah SWT mengenai para nabi dan para wali-Nya :

 

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَباً وَرَهَباً

 

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas.” (QS Al Anbiyaa` [21] : 90).

Juga firman Allah SWT :

 

تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنْ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً

 

Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasatakut dan harap.” (QS As Sajdah [32] : 16).

Pada dua ayat ini terdapat petunjuk, bahwa seorang muslim dalam ibadahnya hendaknya menggabungkan dua perasaan sekaligus, yaitu rasa takut (khauf) dan dan rasa harap (raja`) secara bersamaan. (Al Jauharah Al Tharifi, Al Manhaj Ad Da’awi fi Al Kauf wa Ar Raja`, hlm. 43).

Bagaimana cara menghadirkan dua perasaan tersebut secara bersamaan dalam hati seorang muslim? Para ulama menerangkan, jika seorang muslim melakukan suatu amal saleh, hendaknya dia menghadirkan dalam hatinya dua perasaan sbb;

Pertama, perasaan bahwa Allah SWT adalah Rabb yang Maha Agung yang mempunyai hak untuk diibadahi oleh para hamba-Nya secara benar, yang berhak mengazab para hamba-Nya. Seraya mengingat bahwa amalnya masih sedikit, sementara dosa-dosanya masih banyak, atau mengingat bahwa dia belum beribadah secara benar, atau mungkin niat ibadahnya tidak ikhlas dan tidak lurus. Perasaan ini akan melahirkan rasa takut (khauf), bahwa bisa jadi Allah SWT tidak menerima amal-amal ibadahnya.

Kedua, perasaan bahwa Allah SWT adalah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang dengan rahmat-Nya yang sangat luas. Perasaan ini akan melahirkan rasa harap (raja`), sehingga seorang muslim akan selalu berharap bahwa Allah akan menerima amal-amalnya, memberi pahala kepadanya, dan mengampuni segala dosa dan kesalahannya. (Syekh Ahmad Al Fuda’i, “Ladayya Wiswaas Tsaqiilah min An Laa Yataqabbalallahu ‘Amaly”, http://consult.islamweb.net/).

Terkait dengan rasa takut itu, yang betul-betul harus diperhatikan adalah kita mesti mengendalikan rasa takut ke arah yang benar, yaitu mendorong perbaikan amal, bukan ke arah yang tidak benar, yaitu membuat putus asa dari rahmat Allah. Sebab putus asa dari rahmat Allah adalah sangat tercela, sebagaimana firman Allah SWT :

 

وَلا تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الكَافِرُونَ

 

Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS Yusuf [12] : 87).

Perlu ditambahkan, sesungguhnya kita sebagai manusia tidak dapat mengetahui apakah amal ibadah kita diterima atau tidak oleh Allah SWT. Itu adalah perkara ghaib yang tidak diketahui, kecuali oleh Allah SWT. Namun demikian, hendaknya kita selalu berprasangka baik (husnuzh zhann) bahwa Allah akan menerima amal ibadah kita, tentunya setelah kita memenuhi segala syarat dan rukun syar’i dari suatu ibadah. Sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits qudsi :

 

أنا عند ظن عبدي بي

 

Aku [Allah] mengikuti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.” (ana ‘inda zhanni ‘abdiy biy). (HR Bukhari no 6970; Muslim no 2675).

Kesimpulannya, cara mengatasi rasa khawatir itu adalah dengan menyeimbangkan rasa takut (al khauf) dan rasa harap (ar raja`), seraya selalu berprasangka baik (husnuzh zhann) kepada Allah SWT. Wallahu a’lam. [Ustadz M. Shiddiq Al Jawi]


Filed under: Ibadah Tagged: ibadah

Siapa Ahlul Halli Wal ‘Aqdi?

$
0
0

Soal:

Belakangan ini istilah “Ahlul Halli wal ‘Aqdi” menjadi perbincangan. Siapa sebenarnya mereka? Apa kriteria, fungsi dan tugasnya?

Jawab:

Istilah “Ahlul Halli wal ‘Aqdi” sebenarnya bukan istilah syariah, tetapi istilah yang dipopulerkan oleh para fukaha dan ahli sejarah.1 Mengapa ini tidak bisa disebut sebagai istilah syariah? Karena istilah ini tidak digunakan dalam nas-nas syariah. Karena itu, tidak semua fukaha menyebut dengan istilah yang sama.

Imam al-Mawardi dan al-Farra’, misalnya, menggunakan istilah Ahlul Halli wal ‘Aqdi.2 Al-Amidi dan ar-Ramli menyebutnya dengan istilah “Ahlul Ikhtiyâr”.3 Ibn Hazm menyebutnya dengan istilah “Fudhalâ’ al-Ummah”.4 Al-Qahir al-Baghdadi menyebutnya dengan istilah “Ahlul Ijtihâd wal ‘Adalah.”5 Semua ini mempunyai konotasi yang sama.

Secara bahasa Ahlul Halli wal ‘Aqdi adalah orang yang memberikan penyelesaian (Ahlul Hall) dan mengikat (wal ‘Aqd). Dalam Mu’jam Lughât al-Fuqahâ’, Al-‘Allamah Dr. Rawwas Qal’ah Jie mendefinisikannya dengan:

أَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ: ذُوْ الشَّوْكَةِ وَالسَّطْوَةِ وَالرَّأْيِ وَالتَّدْبِيْرِ فِي الْبِلاَدِ

Ahlul Halli wal ‘Aqdi: Orang yang mempunyai kekuatan, kekuasaan, pandangan dan pengaturan di dalam sebuah negeri.6

Dalam kitab yang lain, beliau mendefinisi-kannya dengan:

أَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ هُمْ أَهْلُ الشَّوْكَةِ الَّذِيْنَ اِلْتَفَّ النَّاسُ حَوْلَهُمْ، مِنَ الْعُلَمَاءِ، وَالرُّؤَسَاءِ، وَوُجُوْهُ النَّاسِ، وَهُمُ الْيَوْمَ نُوَّابُ الأُمَّةِ الَّذِيْنَ يَتِمُّ اِنْتِخَابُهُمْ مِنْ قِبَلِ الشَّعْبِ، فِيْمَا أَرَى.

Ahlul Halli wal ‘Aqdi adalah orang yang mempunyai kekuatan, yang menjadikan masyarakat berkumpul mengitari mereka, seperti ulama, para pemimpin dan para tokoh masyarakat. Mereka saat ini, menurut saya, adalah wakil umat yang dipilih oleh rakyat.7

Al-Mawardi memberikan tiga syarat untuk mereka. Pertama: Adil. Kedua: Mempunyai ilmu yang bisa digunakan untuk mengetahui orang yang berhak menduduki jabatan Imamah (Khi-lafah) berdasarkan syarat yang diakui. Ketiga: Pendapat dan kearifan yang bisa mengantarkan keterpilihan orang yang lebih layak menduduki jabatan Imamah serta mampu mengurus kemaslahatan umat lebih lurus dan bijak.8

Al-‘Allamah Dr. Rawwas Qal’ah Jie menetapkan empat syarat. Pertama: Muslim. Ini karena tugas mereka adalah mencalonkan Amirul Mukminin (Khalifah) dan mengontrol aktivitasnya, sedangkan ini tidak mungkin dilakukan oleh orang non-Muslim. Kedua: Alim, yaitu mempunyai ilmu yang memungkinnya untuk mengetahui siapa yang lebih layak bagi kaum Muslim. Ketiga: Mempunyai kekuatan, yang menjadikan orang-orang berkumpul mengitarinya, mengikuti dan menjalankan perintah dan pandangannya. Keempat: Bertakwa. Ini karena ketakwaan merupakan satu-satunya jaminan yang bisa melepaskan dari berbagai kepentingan.9

Adapun Dr. Ma’mum Hammus, dalam kitabnya, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah ‘ala Minhâj al-Wahyayn al-Kitâb wa as-Sunnah as-Shahîhah, merinci syarat Ahlul Halli wal ‘Aqdi sebagai berikut:

1-   Syarat kepemimpinan secara umum yaitu harus Muslim, berakal, laki-laki dan merdeka.

2-   Syarat kepemimpinan secara khusus yaitu adil, berilmu dan mempunyai pandangan dan bijak.10

Tugas dan fungsi Ahlul Halli wal ‘Aqdi antara lain:

1-   Memilih dan memberikan baiat in’iqâd kepada Khalifah. Imam al-Mawardi berkata, “Jika Ahlul Halli wal ‘Aqdi telah berkumpul untuk memilih, maka mereka harus memerik-sa kondisi orang yang mencalonkan untuk jabatan Imamah (Khilafah), yang memenuhi seluruh persyaratannya. Mereka harus men-dahulukan yang paling banyak kelebihan-nya, yang paling sempurna persyaratannya, dan yang paling segera ditaati rakyat, tanpa bergantung pada pembaiatannya.”11

2-   Memilah dan mendahulukan calon yang terbaik untuk Khalifah. Jika semua persyarakat terpenuhi oleh calon, dan sama, maka dipilih yang usianya lebih tua. Imam al-Mawardi berkomentar, “Meskipun tambahan usia, setelah usianya sudah balig dengan sempurna, itu bukan syarat, sekalipun kalau dibaiat yang usianya lebih muda juga boleh.”12

Dalam konteks ini, keabsahan baiat in’qâd yang diberikan kepada Khalifah bisa dikembalikan kepada mereka. Setidaknya ada beberapa pendapat:

1-   Jabatan Khilafah tidak dinyatakan sah kecuali dengan kesepakatan Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Ini adalah pendapat Abu Ya’la, Ibn Hazm azh-Zhahiri, serta Imam Ahmad dalam salah satu riwayat.13

2-   Khilafah dinyatakan sah melalui baiat yang diberikan oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi, yang bisa berkumpul saja. Tidak harus semuanya bersepakat. Ini adalah pendapat al-Mawardi, an-Nawawi, asy-Syaukani.14 Menurut al-Qalqasyandi, pendapat ini adalah pendapat mazhab Syafii yang paling sahih.15

3-   Khilafah bisa dinyatakan sah, berapa pun jumlah Ahlul Halli wal ‘Aqdi yang membai’at dia, tanpa disyaratkan harus adanya ijmak di kalangan mereka. Ini merupakan pendapat al-Amidi, Imam al-Haramain al-Juwaini dan al-Jurjani.16

Hanya saja, pendebatan di kalangan fukaha tentang Ahlul Halli wal ‘Aqdi tersebut telah diberi catatan oleh Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam kitabnya, Ma’âlim al-Khilâfah fî al-Fikr al-Islâmi.17 Kesimpulannya sebagai berikut:

1-   Mengangkat seorang khalifah hukumnya fardhu kifayah. Caranya dengan memberikan baiat kepada dia dengan sukarela, tanpa paksaan, baik dari orang yang mengangkat maupun yang diangkat.

2-   Baiat untuk mengangkat khalifah ini disebut baiat in’iqâd. Hukumnya fardhu kifayah. Karena fardhu kifayah, maka tidak harus dilakukan oleh semua orang; yang penting jumlahnya cukup dan berhasil menunaikan kifayah-nya, yaitu mendapat-kan kerelaan dari kaum Muslim. Bisa dengan baiat yang diberikan oleh mayoritas Ahlul Halli wal ‘Aqdi atau representasi umat, atau diamnya kaum Muslim terhadap baiat yang mereka berikan, atau mereka segera menaati hasil pembaiat tersebut, atau sarana lain.

3-   Mengenai status mereka yang memberikan baiat itu adalah Ahlul Halli wal ‘Aqdi, maka tidak mutlak harus mereka; termasuk berapa jumlah mereka apakah 4 orang, 40 orang, lebih banyak, lebih sedikit, tinggal di ibukota, atau daerah; semuanya ini tidak termasuk kriteria yang mengikat dan hukum syariah yang harus dilakukan.

Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa istilah Ahlul Halli wal ‘Aqdi adalah istilah baru yang digunakan oleh para fukaha dan ahli sejarah untuk menyebut orang-orang yang mempunyai kekuatan, pengaruh dan menjadi rujukan dalam menyelesaikan masalah. Mereka adalah para tokoh, ulama, pemimpin suku dan sebagainya. Dalam konteks ketatanegaraan Islam, karena kekuasaan ada di tangan umat, maka mereka bisa dianggap mewakili umat dalam menentukan siapa penguasa yang akan memimpin umat, khususnya dalam melaksana-kan fardhu kifayah dalam pengangkatan khalifah, yang tidak harus dilakukan oleh semua orang.

Inilah fakta Ahlul Halli wal ‘Aqdi, kriteria dan tugas yang mereka jalankan dalam ketata-negaraan. Hanya saja, keberadaan Ahlul Halli wal ‘Aqdi ini tidak mutlak. Apalagi ini juga bukan merupakan istilah syariah yang tidak bisa diotak-atik. Hanya saja, menyamakan Ahlul Halli wal ‘Aqdi dengan angota parlemen juga tidak sepenuhnya tepat. Apalagi ketika anggota parlemen itu tidak memiliki kekuatan, pengaruh dan tidak pula menjadi rujukan. Mereka pun “tokoh karbitan”. Tentu orang-orang seperti ini tidak memenuhi kriteria Ahlul Halli wal ‘Aqdi, sebagaimana yang dimaksud oleh para fukaha’ dan ahli sejarah yang menggunakan istilah ini.

Meski demikian, keberadaan Ahlul Halli wal ‘Aqdi dalam konteks ketatanegaraan sebagai representasi dari perintah musyarawah memang ada. Ini bisa ditemukan dalam Hadis Nabi saw. saat beliau belum mengenal penduduk Madinah, karena baru mendapatkan baiat in’iqâd dari mereka, dan belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di sana. Nabi saw. meminta kepada mereka:

اِخْتَرُوْا لِيْ اِثْنَا عَشَرَ نَقِيْبًا

Pilihkanlah untukku dua belas naqib (pemuka suku/kabilah) (HR Ibn Hisyam).

Dua belas naqib inilah yang diajak oleh Nabi saw. untuk melakukan musyawarah. Hanya saja, Nabi saw. tidak menyebutnya dengan istilah Ahlul Halli wal ‘Aqdi, tetapi Nuqabâ’, jamak dariNaqîb. Mereka bisa disebut Ahlul Halli wal ‘Aqdi, atau yang lain.

Karena itu penggunaan istilah Ahlul Halli wal ‘Aqdi di luar konteks ketatanegaraan juga tidak ada larangan, setidaknya secara bahasa. Misalnya, istilah ini diadopsi oleh sebuah organisasi, kemudian digunakan sebagai mekanisme dalam pemilihan puncuk pimpinan mereka. Uslubseperti ini boleh saja.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [KH. Hafidz Abdurrahman]

Catatan kaki:

1         Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 706; al-Farra’, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah,hlm. 26; al-Qalqasyandi, Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma’âlim al-Khilâfah, I/42-44.

2         Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 706; al-Farra’, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah,hlm. 26.

3         Ar-Ramli, Nihâyah al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj, VII/390; al-Amidi, Ghayât al-Marâm, hlm. 381.

4         Ibn Hazm, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, IV/167.

5         Al-Baghdadi, Al-Farq bayn al-Firaq, hlm. 211.

6         Al-‘Allamah Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jâm Lughât al-Fuqahâ’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996 M, hlm. 75.

7         Al-‘Allamah Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 2000 M, I/ 327.

8         Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 6; al-Farra’, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 19.

9         Al-‘Allamah Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 2000 M, I/328.

10        Dr. Ma’mun Hammus, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah ‘alâ Minhâj al-Wahyayn al-Kitâb wa as-Sunnah ash-Shahîhah, Wizarah al-I’lam, Damaskus, Suriah, cet. I, 2005 M, hlm. 140-143.

11        Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 7; al-Farra’, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 24.

12        Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 7.

13        Al-Farra’, Al-Ahkam as-Sulthâniyyah, hlm. 23 dan 24; Ibn Hazm, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, IV/ 167.

14        Al-Khathib asy-Syarbini, Mughnî al-Muhtâj, IV/130-131; asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl,hlm. 89.

15        Al-Qalqasyandi, Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma’âlim al-Khilâfah, I/44.

16        Al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/34; al-Juwaini, Al-Irsyâd, hlm. 425; al-Jurjani, Al-Mawâqif wa Syarhuhu, VIII/353.

17        Dr. Mahmud al-Khalidi, Ma’âlim al-Khilâfah fî al-Fikr al-Islâmi, hlm. 109-110.


Filed under: Politik Tagged: ahlul halli wal aqdi

Bolehkah Memenjarakan Pengemis dan Gelandangan?

$
0
0

Pertanyaan :

Bolehkah negara menghukum/memenjarakan pengemis dan gelandangan?

Jawaban :

Dengan berakhirnya Ramadhan, dan mudik, pemandangan yang lazim terjadi di ibukota adalah kembalinya pembantu rumah tangga ke rumah-rumah majikan mereka. Biasanya, ketika kembali ke Jakarta, mereka tidak hanya sendiri, tetapi mengajak serta teman atau kerabat di kampungnya. Tujuannya, tak lain, untuk mengadu nasib di ibukota.

Tak jarang, karena sulitnya lapangan kerja, atau karena tidak mempunyai kualifikasi untuk diserap oleh lapangan kerja yang ada, akhirnya mereka menjadi pengemis dan gelandangan. Menyikapi serbuan pendatang, serta pengemis dan gelandangan, Ahok [CNN, 6/6/2015] sempat mengancam akan memenjarakan mereka. Namun, rencana Ahok itu ditentang oleh anggota DPRD DKI Jakarta.

Kriminalisasi Pengemis dan Gelandangan 

Memenjarakan pengemis dan gelandangan jelas merupakan bentuk kriminalisasi terhadap keduanya. Pertayaannya, apakah memang mengemis dan menggelandang itu merupakan tindakan kriminal, sehingga harus dipenjarakan? Ini yang seharusnya dijawab terlebih dahulu. Jika tidak, maka masalah ini tidak akan bisa diselesaikan.

Mengemis, sebagai tindakan terpaksa untuk memenuhi hajat hidup jelas diperbolehkan, meski tidak terhormat. Bahkan, mereka mempunyai hak yang harus dihormati, tidak boleh dihina. Dalam hal ini, Islam mengajarkan:

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالَمْحرُوْمِ [الذاريات: 19]

“Dan di dalam harta mereka itu terdapat hak bagi orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak mendapatkan bagian.” [Q.s. ad-Dzariyyat: 19] 

Artinya, di dalam setiap harta orang kaya, di situ ada hak bagi orang yang meminta, juga hak bagi orang yang tidak mendapatkan bagian. Dalam menjelaskan tafsir ayat ini, al-Qurthubi mengutip pendapat beberapa ulama’, di antaranya, Qatadah dan az-Zuhri. Menurut mereka, al-Mahrum, adalah orang yang menjaga kesucian dirinya, meski kesulitan ekonomi, tetap tidak mau mengeluh dan meminta-minta, sehingga orang tidak tahu, kalau dia sangat membutuhkan. Sedangkan as-Sa’il, menurut al-Qurthubi, orang yang meminta karena tidak ada [Lihat, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, tafsir Q.s. ad-Dzariyyat: 19].

Karena itu, Allah melarang kita untuk menghina dan menghardik mereka:

وَأَمَّا السَّائِلَ فَلاَ تَنْهَرْ [الضحى: 10]

“Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka hendaknya kamu tidak menghardiknya.” [Q.s. ad-Dhuha:10] 

Bahkan, mengungkit pemberian yang kita berikan pun tidak boleh, karena bisa membatalkan pahala sedekah kita:

لاَ تُبْطِلُوْا صَدَقَاتِكُمْ بِالمَنِّ وَالأَذَى [البقرة: 264]

Janganlah Engkau rusak sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan penerimanya.”[Q.s. al-Baqarah: 264] 

Ini semua berlaku bagi orang yang meminta-minta, karena memang membutuhkan. Bukan karena menjadikannya sebagai profesi, sementara mereka sebenarnya tidak termasuk dalam kategori orang yang membutuhkan.

Adapun orang yang meminta-minta sebagai profesi, bukan karena terdesak kebutuhan, maka orang tersebut bisa dianggap melakukan maksiat. Dalam hal ini, Nabi saw. mengancam dengan ancaman yang keras:

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لَيَسْتَكْثُرَ [رواه مسلم]

“Siapa saja yang meminta harta orang untuk memperbanyak hartanya [bukan karena membutuhkan], maka sesungguhnya dia tak lain kecuali meminta bara api [neraka], maka hendaknya dia sedikitkan, atau perbanyak.” [Hr. Muslim]

Dalam riwayat lain disebutkan:

لاَ تَزَالُ المَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللهَ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مَزْعَةُ لَحْمٍ [رواه مسلم]

Tidaklah seseorang di antara kalian selalu meminta-minta, kecuali dia akan menghadap Allah, sementara wajahnya tidak terbungkus daging.” [Hr. Muslim]

Imam an-Nawawi memberikan penjelasan tentang makna hadits ini dengan mengatakan, “Ini berlaku untuk orang yang meminta, bukan karena terpaksa, yaitu meminta yang dilarang. Sabda Nabi yang menyatakan, “Takatsur[an]” maknanya adalah untuk memperbanyak harta, bukan karena terpaksa dan membutuhkan.” 

Karena itu, jika ada rencana mengkriminalisasi pengemis, maka mestinya jenis pengemis yang kedua, yaitu mereka yang menjadikan meminta sebagai profesi, bukan karena terpaksa atau membutuhkan. Mereka yang meminta-minta, ketika sudah kaya itu artinya ketika mereka meminta tujuannya untuk memperkaya diri, dan itu artinya mereka melakukan kebohongan publik.

Lain Pengemis, Lain Gelandangan 

Adapun gelandangan adalah mereka yang memang tidak mempunyai rumah. Mereka tinggal di jalan, di gerobak, di emper-emper toko, di bawah jembatan, dan sebagainya. Mereka belum tentu meminta-minta. Ada yang bekerja serabutan, menjadi pemulung dan kerja-kerja halal yang lainnya. Mereka bisa juga dimasukkan dalam ketegori al-Mahrum.

Gelandangan ini sebenarnya seperti pengemis, bahkan mungkin lebih sulit. Karena, boleh jadi pengemis ada yang mempunyai rumah, sedangkan gelandangan ini jelas tidak. Meski tidak semua gelandangan mau melakukan pekerjaan mengemis. Dalam konteks kebutuhan dasar, secara normal dua-duanya belum terpenuhi kebutuhannya, baik sandang, papan maupun pangan. Belum lagi, kesehatan, pendidikan dan keamanannya.

Kebutuhan pokok ini memang kewajiban yang harus dipenuhi pribadi, jika mampu. Jika tidak mampu, maka keluarga atau kerabatnya. Namun, jika semuanya tidak mampu, maka kewajiban ini menjadi kewajiban negara. Negara berkewajiban untuk membantu mereka, dengan menyediakan sandang, papan dan pangan yang bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka. Begitu juga, kesehatan, pendidikan dan keamanannya.

Di sinilah fungsi dan peranan negara. Dalam hal ini, negara benar-benar hadir untuk mengurusi urusan rakyatnya. Ini adalah kewajiban negara. Ini juga menjadi tujuan manusia bernegara. Jika tidak, maka adanya negara menjadi tidak ada artinya bagi mereka. Apalagi ketika negara sudah tidak memenuhi hak-hak mereka, negara malah mengkriminalisasi mereka.

Namun, tidak berarti negara harus terus-menerus menanggung beban hidup mereka, tentu tidak. Karena itu, di sini negara harus mempunyai data yang akurat; siapa di antara mereka yang mempunyai usia produktif, tetapi tidak bekerja? Termasuk apakah mereka tidak bekerja, karena tidak ada lapangan pekerjaan? Atau ada lapangan kerja, tetapi kualifikasi mereka tidak masuk?

Di sinilah fungsi dan peran negara. Jika ada pria yang berusia produktif, maka diwajibkan bekerja. Jika tidak ada lapangan kerja, maka negara harus membantu mengusahakan lapangan kerja. Jika ada lapangan kerja, namun kualifikasinya tidak bisa dimasuki, maka negara akan membantu meningkatkan kualifikasinya, sehingga dia bisa memasuki lapangan kerja yang tersedia.

Namun, jika tidak ada alasan apapun, tetapi tetap tidak mau bekerja, dengan lain, dia tidak bekerja karena malas, maka orang seperti ini baru bisa dikriminalisasikan oleh negara. Inilah konsep Islam dalam menyelesaikan masalah gelandangan dan pengemis. Begitulah keadilan Islam.

Namun, semua gambaran indah dan ideal yang diajarkan Islam ini tak akan bisa diwujudkan, kecuali jika Islam diterapkan dengan sempurna di bawah naungan Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah. [www.konsultasi.wordpress.com]

Sumber jawaban : Tulisan Ade Sudiana

Tulisan terkait :

  1. Hukum Memberi Uang kepada Pengemis


Filed under: Ekonomi Tagged: pengemis

Hukum Mendoakan Keburukan Bagi Penghalang Perjuangan Khilafah

$
0
0

Tanya:

Ustadz, bolehkah kita mendoakan keburukan bagi orang yang menghalang-halangi perjuangan tegaknya Khilafah? (Rahmat, Bogor).

Jawab :

Para fuqaha sepakat boleh (ja`iz) hukumnya seorang muslim mendoakan keburukan kepada orang kafir maupun kepada sesama muslim yang berbuat zalim kepadanya secara khusus, atau berbuat zalim kepada kaum muslimin secara umum. Misalnya merampas harta, memfitnah, memukul, menyiksa, membunuh, dan sebagainya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 20/267-268; Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm. 261-262; Imam Al Qarafi, Al Furuuq, 4/1428).

Imam Nawawi berkata :

 

وَقَدْ تَظَاهَرَ عَلىَ جَوَازِهِ نُصُوْصُ الْكِتَابِ وَالسُنَةِ وَأَفْعَالُ سَلَفِ الْأُمَةِ وَخَلَفِهَا

 

”Telah jelas kebolehan hal tersebut [mendoakan keburukan kepada orang yang berbuat zalim] berdasarkan nash-nash Al Qur`an dan As Sunnah. Juga berdasarkan perbuatan generasi umat Islam terdahulu (salaf) maupun generasi terkemudian (khalaf).” (Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm. 261).

Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :

 

لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنْ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ

 

Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (QS An Nisaa` [4] : 148).

Imam Ibnu Katsir meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas RA terhadap ayat tersebut yang berkata :

 

لَا يُحِبُ اللهُ أَنْ يَدْعُوَ أَحَدٌ عَلىَ أَحَدٍ إِلاَ أَنْ يَكُوْنَ مَظْلُوْماً فَإْنَهُ قَدْ أَرْخَصَ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلىَ مَنْ ظَلَمَهُ وَذَلِكَ قُوْلُهُ: { إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ } وَإِنْ صَبَرَ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ

 

”Allah tidak menyukai seseorang yang mendoakan keburukan kepada orang lain, kecuali jika dia dizalimi. Karena sesungguhnya Allah telah memberikan rukhshah (keringanan) kepadanya untuk mendoakan keburukan bagi orang yang telah menzaliminya. Yang demikian itu berdasarkan firman-Nya (إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ) (kecuali oleh orang yang dizalimi). Tapi jika dia bersabar, itu lebih baik baginya.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 2/197).

Adapun dalil As Sunnah, di antaranya doa Nabi SAW terhadap orang-orang kafir, yaitu Ri’il, Dzakwan, dan ‘Ushaibah dalam peristiwa di Bi’ir Ma’unah, setelah mereka membunuh para shahabat yang diutus Nabi SAW kepada mereka :

 

اللَّهُمَّ الْعَنْ رِعْلاً وَ ذَكْوَانَ وَعُصَيْبَةَ

 

Ya Allah, laknatilah Ri’il, Dzakwan, dan ‘Ushaibah!” (HR Bukhari dan Muslim).

 

Dalam hadits lainnya, Nabi SAW telah mendoakan kaum kafir pada Perang Ahzab :

 

مَلَأَ اللهُ قُبُوْرَهُمْ وَبثيُوْتَهُمْ نَارًا

 

”Semoga Allah memenuhi kuburan dan rumah mereka dengan api…” (HR Bukhari dan Muslim). (Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm. 261).

Mendoakan keburukan kepada sesama muslim yang berbuat zalim, juga boleh sesuai contoh doa Nabi SAW terhadap penguasa muslim yang mempersulit urusan umat Islam :

 

اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَتِيْ شَيْئًا فَشَقَ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ

 

“Ya Allah, siapa saja yang mengurus suatu urusan umatku lalu dia mempersulit mereka, maka persulitlah dia.”(Arab : allaahumma man waliya min amri ummatiy syai`an fa-syaqqa ‘alaihim, fasyquq ‘alaihi).(HR Bukhari dan Muslim). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 4/191).

Berdasarkan dalil-dalil Al Qur`an dan As Sunnah tersebut, jelaslah secara syar’i boleh hukumnya seorang muslim mendoakan keburukan kepada orang-orang yang telah berbuat zalim, baik muslim maupun non-muslim. Inilah hukum syar’inya secara umum.

Dapatkah hukum umum tersebut diterapkan pada kasus orang yang menghalangi perjuangan menegakkan Khilafah? Menurut kami, dapat diterapkan. Sebab perjuangan menegakkan Khilafah hakikatnya adalah mengamalkan kewajiban syariah yang paling agung (a’zhamul waajibaat). Karena hanya dengan Khilafah sajalah umat dapat mengamalkan seluruh hukum-hukum syariah secara menyeluruh (kaaffah), seperti sistem pemerintahan Islam, sistem ekonomi Islam, sistem pendidikan Islam, sistem pidana Islam, dll. Tanpa Khilafah, hukum-hukum syariah Islam itu tak mungkin diamalkan. (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm. 17).

Padahal Al Qur`an menegaskan orang yang menghalangi pengamalan satu hukum syariah saja, sudah layak disebut zalim (lihat QS Al Baqarah [2] : 114), lalu bagaimana kalau ada orang yang menghalangi tegaknya Khilafah yang akan mengamalkan seluruh hukum-hukum syariah secara kaaffah?

Hanya saja, meski secara syariah dibolehkan mendoakan keburukan kepada orang yang menghalangi perjuangan tegaknya Khilafah, yang lebih baik dan lebih besar pahalanya adalah bersabar, memberi maaf, dan mendoakannya mendapat hidayah Allah SWT. Karena Allah SWT telah berfirman :

 

وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الأُمُورِ

 

Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang patut diutamakan.” (QS Asy Syuura [42] : 43). Wallahu a’lam. [Ustadz M. Shiddiq Al Jawi]


Filed under: Doa Tagged: doa buruk

Kaedah Mâ Lâ Yatimmu al-Wâjib Illâ Bihi Fahuwa Wâjibun

$
0
0

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saya punya pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada al-‘alim al-fadhil hafazhahullah. Dan dua pertanyaan tersebut berkaitan dengan kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyan juz iii.

Pertanyaan seputar topik mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjibun – Sesuatu yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu hukumnya wajib-. Di mana dinyatakan di kitab tersebut, “Adapun bila (pelaksanaan) suatu kewajiban itu memiliki persyaratan, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa mewujudkan persyaratan tersebut bukan wajib. Yang wajib adalah apa-apa yang wajibnya ditetapkan oleh dalil. Hal itu seperti wajibnya shalat tertentu. Shalat tersebut disyaratkan dengan adanya thaharah…” Kalimat ini bisa dipahami, akan tetapi contoh tersebut menjadi obyek kerancuan. Sebab thaharah bukan merupakan syarat dalam wajibnya shalat, melainkan thaharah itu merupakan syarat penunaian shalat. Saya melihat di sebagian kitab ushul yang menggambarkan ungkapan ini dengan kemampuan (istithâ’ah) terkait dengan haji, haul terkait dengan nishab zakat. Saya dapati contoh itu lebih dekat untuk apa yang dimaksudkan. Lalu bagaimana pendapat Anda? Semoga Allah memberi balasan yang lebih baik kepada kita.

Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda dan semoga Allah memberkahi Anda.

Jawab:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Topik mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi:

Seperti yang Anda lihat saudaraku yang dimuliakan, awal topik itu adalah “mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi –sesuatu yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu-.. Pembicaraan tersebut adalah tentang pelaksanaan kewajiban dan bukan tentang penetapan hukum syar’iy wajib, sunnah atau mubah …. Jadi topik tersebut adalah tentang pelaksanaan kewajiban. Jika pelaksanaan kewajiban itu tidak sempurna kecuali dengan perkara tertentu, maka perkara tertentu itu menjadi wajib jika memenuhi syarat-syarat kaedah tersebut.

Saya ulangi bahwa topiknya adalah pelaksanaan kewajiban (tanfîdz al-wâjib) dan bukan tentang penetapan wajibnya kewajiban itu (laysa ‘an itsbâti wujûbihi). Dan berdasarkan asas inilah apa yang ada di dalam kitab tersebut dipahami. Dan akan saya sebutkan apa yang ada di dalam kitab tersebut seputar point ini agar Anda bisa melihat bagaimana dipahami dalam konteks ini:

“Sesungguhnya suatu kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu itu, hal itu ada dua bagian:pertama, kewajiban yang (pelaksanaannya) disyaratkan dengan sesuatu. Kedua, kewajiban yang (pelaksanaannya) tidak disyaratkan dengan sesuatu. Adapun apa kewajiban (pelaksanaannya) disyaratkan dengannya, maka tidak ada perbedaan bahwa tercapainya syarat tersebut bukan kewajiban. Melainkan kewajiban tersebut adalah apa yang kewajibannya didatangkan oleh dalil. Hal itu seperti wajibnya shalat tertentu. Kewajiban shalat tertentu itu disyaratkan dengan adanya suci (thaharah). Maka suci (thaharah) bukan wajib dari sisi seruan shalat, melainkan suci itu adalah syarat penunaian kewajiban tersebut (shalat).”

Dan sekarang, lihatlah apa yang Anda mintakan penjelasan tentangnya, yaitu “hal itu seperti wajibnya shalat tertentu. Wajibnya shalat tertentu itu disyaratkan dengan adanya thaharah”. Dan Anda katakan di dalam pertanyaan: “contoh itu rancu sebab thaharah bukan syarat dalam wajibnya shalat melainkan syarat penunaiannya.” Ini adalah ucapan yang benar. Akan tetapi tidak bertentangan dengan apa yang disebutkan di dalam kitab asy-Syakhshiyah al-Islamiyah juz iii itu jika Anda pahami konteks disebutkannya hal itu. Hal itu disebutkan dalam konteks “mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi – sesuatu yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu-”. Kalimat yang rancu terhadap Anda adalah sebagai berikut:

“Seperti wajibnya menyempurnakan shalat tertentu, maka itu disyaratkan dengan adanya thaharah”. Yakni pelaksanaan shalat tersebut tidak sempurna kecuali dengan adanya thaharah. Mungkin Anda katakan, jika begitu kenapa tidak disebutkan tambahan itu, yakni kenapa tidak disebutkan “wajibnya menyempurnakan shalat tertentu”. Jawabnya, karena pembahasannya adalah tentang penyempurnaan kewajiban (fî itmâm al-wâjib) dan bukan tentang penetapan kewajiban (laysa fi itsbât al-wujûb). Dan ini dikenal di dalam kitab-kitab ushul, yakni menyembunyikan sesuatu tertentu jika konteks menunjukkan atasnya. Dan di sini, konteks menunjukkan atasnya. Seperti yang Anda lihat di akhir paragraf yang kami kutipkan dari kitab asy-Syakhshiyah juz iii yang menyatakan sebagai berikut: “… jadi thaharah bukan wajib dari sisi seruan shalat, melainkan thaharah itu merupakan syarat penunaian kewajiban”. Dan itu apa yang Anda sebutkan di pertanyaan: “sebab thaharah bukan merupakan syarat pada wajibnya shalat melainkan merupakan syarat penunaiannya.” Bukankah ini adalah apa yang disebutkan di dalam kitab itu sendiri, semoga Allah merahmati Anda?

Seperti yang saya sebutkan barusan, merupakan perkara yang menonjol di dalam kitab-kitab ushul, membatasi ucapan dengan menyembunyikan sesuatu tertentu jika konteksnya menunjukan atas hal itu. Dan ini jelas ketika mereka membicarakan tentang “mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi –sesuatu yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu-“:

Contoh, di dalam kitab al-Mustashfa karya Abu Hamid al-Ghazali ath-Thusiy, beliau mengatakan pada bab “mas`alah mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi –masalah sesuatu yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu-…”. Beliau mengatakan: “jadi thaharah dalam shalat wajib disifati dengan wajib dalam wajibnya shalat”. Jelas dari hal itu bahwa dengan makna ini: “seperti thaharah dalam shalat wajib disifati dengan wajib dalam wajibnya menyempurnakan shalat”, yakni menunaikan shalat. Sebab wajibnya shalat sebagai hukum syara’ bergantung pada dalil dan tidak bergantung pada wajibnya thaharah.

Contohnya, al-Amidi pengarang kitab al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm dalam masalah ini mengatakan: “mâ lâ yatimmu al-wâjibu illa bihi –sesuatu yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu-“, ia menjelaskannya dengan jelas. Al-Amidi mengatakan: “seandainya asy-Syâri’ mengatakan, aku wajibkan atasmu shalat jika engkau suci”. Jelas dari ucapannya ini bahwa maksud darinya adalah: “aku wajibkan atasmu menunaikan shalat jika engkau suci”. Jelas dari itu, maksudnya adalah bahwa thaharah merupakan syarat dalam menunaikan shalat dan bukan syarat dalam wajibnya shalat. Akan tetapi konteks kalimat “mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi –sesuatu yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu-“ tidak membuat diperlukan lagi untuk menyebutkan penyempurnaan kewajiban atau penunaian sebab itu sudah jelas dari konteks kalimatnya.

Contoh, dinyatakan di dalam Syarh Mukhtashar ar-Rawdhah oleh Sulaiman bin Abdul Qawi ath-Thufi ash-Sharshariy, ia mengatakan pada mas’alah “mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi –sesuatu yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu-“, ia mengatakan: “seperti bergantungnya adanya shalat terhadap thaharah”. Mungkin ini sedikit lebih jelas dari dua sahabatnya, jadi ia menyebutkan “adanya” dan tidak menyebutkan “wujûb –wajibnya-”. Akan tetapi, maksud dari mereka semua adalah penunaian shalat, sebab konteks kalimat menunjukkan hal itu. Jadi kaedahnya adalah “mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi –sesuatu yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu-“, jadi pembicaraannya adalah tentang penunaian.

Contoh, dinyatakan di al-Madkhal ila Madzhab al-Imâm Ahmad karya Ibn Badran, ia lebih menjelaskan maksud itu dari teman-temannya. Ia mengatakan pada mas`alah “mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi –sesuatu yang suatu kewajian tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu-“:

“Ketahuilah bahwa masalah ini memiliki dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, apa yang bergantung pada wajibnya suatu kewajiban, dan ini tidak wajib secara ijmak baik merupakan sebab, syarat atau tidak adanya penghalang (‘adamu mâni’). Jadi sebab seperti nishab bergantung pada wajibnya zakat …” Anda lihat, bahwa kalimat ini “seperti nishab bergantung pada wajibnya zakat”, artinya wajibnya penunaian zakat.

Ia juga mengatakan, “dan syarat mukim (al-iqâmah) di suatu negeri ketika itu adalah syarat untuk wajibnya penunaian puasa…”. Di sini ia menjelaskan topik secara penuh, dan ia tidak mengatakan, “syarat untuk wajibnya puasa”.

Ia juga mengatakan, “ada kalanya merupakan syarat untuk terjadinya perbuatan atau bukan syarat. Jika merupakan syarat seperti thaharah dan semua syarat shalat …” Ia di sini menjelaskan bahwa thaharah merupakan syarat terjadinya perbuatan, yakni terjadinya shalat, artinya syarat untuk penunaiannya.

Atas dasar itu, apa yang kami sebutkan di asy-Syakhshiyyah pada awal pembahasan “mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjibun –sesuatu yang satu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu maka sesuatu itu wajib“, hal itu sekarang telah jelas, bukankan demikian? Saya ulangi:

“Sesungguhnya sesuatu yang satu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu, hal itu ada dua jenis: pertama, apa yang kewajibannya disyaratkan dengan sesuatu itu. Kedua, kewajibannya tidak disyaratkan dengannya, yakni dengan sesuatu itu. Adapun yang kewajibannya disyaratkan dengannya, maka tidak ada perbedaan bahwa tercapainya syarat tersebut bukan kewajiban, melainkan yang kewajiban itu adalah apa yang kewajibannya didatangkan oleh dalil. Hal itu seperti wajibnya sahalat tertentu, maka itu disyaratkan dengan adanya thaharah. Jadi thaharah bukan wajib dari sisi seruan shalat, melainkan thaharah itu merupakan syarat untuk penunaian kewajiban tersebut.” Selesai.

Adapun apa yang Anda sebutkan di akhir pertanyaan bahwa Anda membaca di beberapa kitab ushul “mereka menggambarkan istithâ’ah (kemampuan) terkait dengan haji dan haul terkait dengan nishab zakat”, maka itu meskipun jelas jenisnya apa, akan tetapi tidak banyak berbeda dari apa yang kami sebutkan. Sebab istithâ’ah (kemampuan) adalah untuk penunaian haji dan bukan karena haji itu wajib di dalam Islam atau tidak wajib. Jadi kemampuan itu adalah terkait dengan penunaian. Adapun haul terkait dengan nishab zakat maka yang masyhur di dalam contoh adalah “nishab dalam penunian zakat”. Seperti yang kami sebutkan di kitab al-Madkhal ilâ Madzhab al-Imâm Ahmad. Dan jika Anda telah membaca contoh kaidah “mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjibun –sesuatu yang satu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu maka sesuatu itu adalah wajib-“, jika Anda membaca contoh ini “haul pada nishab” maka itu tidak mendalam, akan tetapi yang lebih mendalam bahwa nishab tersebut dalam wajibnya penunaian zakat, dan haul merupakan syarat pada nishab sebab yang menjadi kewajiban adalah zakat dan bukan nishab, dan sesuatu yang satu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu, yakni sesuatu yang penunaian zakat tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu, yaitu kepemilikan nishab, dan di situ ada syarat untuk nishab ini yaitu berlalunya satu haul atas nishab tersebut. Diatas semua itu, mungkin saja di situ ada kerancuan, kecuali jika Anda membaca begini: (nishab dan syarat haul pada nishab, keduanya adalah wajib karena wajibnya penunaian zakat) atau semacam itu… Dan saya berharap perkara tersebut telah menjadi jelas dan gamblang, dengan izin Allah.

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. (www.konsultasi.wordpress.com)

 

Saudaramu

 

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

19 Dzulqa’dah 1436 H

03 September 2015 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_50757

Catatan :

Di soal-jawab aslinya ada dua pertanyaan. Kami sedikit edit dengan memisahkannya agar memudahkan pencarian berdasarkan tema pertanyaan.


Filed under: Ushul Fikh Tagged: kaidah

Definisi Hadits Masyhur

$
0
0

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saya punya pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada al-‘alim al-fadhil hafazhahullah. Pertanyaan tersebut berkaitan dengan kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyan juz iii.

Pertanyaan seputar topik hadits masyhur, dimana definisi di dalam cetakan kedua: “(hadits masyhur) adalah apa yang diriwayatkan oleh sejumlah orang dari sahabat yang tidak sampai batas tawatur, kemudian menjadi tawatur pada masa tabi’un dan tabi’ut tabi’in.” Kemudian di cetakan ketiga diubah: “(hadits masyhur) adalah riwayat yang dinukilkan oleh lebih dari tiga orang pada semua tingkatannya, tetapi tidak sampai batas at-tawatur.” Yang rancu bagi saya di sini adalah penjelasan kelanjutannya setelah definisi tersebut. Demikian juga contoh yang dipaparkan untuk hadits masyhur menurut apa yang sesuai dengan definisi cetakan kedua. Yaitu penjelasan dan penggambaran definisi sebelumnya dan bukan untuk definisi yang baru. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda dan semoga Allah memberkahi Anda.

Jawab:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Terkait definisi hadits masyhur:

Sebelum menjawab pertanyaan Anda, saya sebutkan hal berikut untuk pengetahuan dan pendahulan untuk jawaban:

  1. Sebelumnya telah ada yang bertanya kepada kami tentang definisi hadits masyhur yang ada di kitab kami, dan bahwa ada beberapa perbedaan … Kami telah menjawab pertanyaan ini sebagai berikut:

Kami katakan di asy-Syakhshiyah juz iii:

  1. Halaman 80 pada topik hadits: “dan jika dinukilkan oleh sekelompok orang tabi’u at-tabi’in dari sekelompok orang tabi’un dari satu orang atau lebih sahabat, jumlah mereka tidak sampai batas at-tawatur, maka itu (hadits) masyhur…”
  2. Di halaman 83 kitab yang sama tentang hadits masyhur: “hadits masyhur adalah hadits yang dinukilkan oleh lebih dari tiga orang pada semua thabaqat tetapi tidak mencapai batas at-tawatur”.

Dua definisi ini juga telah kami sebutkan di asy-Syakhshiyah juz i.

Kedua definisi itu benar:

Yang pertama adalah untuk ulama hanafi. Mereka tidak mensyaratkan jumlah perawi hadits pada masa sahabat, akan tetapi cukup satu orang atau lebih, akan tetapi mereka mensyaratkan jumlah tersebut pada masa tabi’un dan tabi’u at-tabi’in, artinya tawatur dari sekelompok orang (jamaah) dan terkenal .

Yang kedua (definisi) untuk jumhur khususnya menurut para ulama hadits. Mereka mensyaratkan jumlah pada tiga thabaqat “sahabat, tabi’un dan tabi’u at-tabi’in”. Meski ada perbedaan dalam hal jumlah (diantara mereka). Di antara mereka ada yang mensyaratkan pada setiap thabaqat lebih dari dua orang. Di antara mereka ada yang mensyaratkan lebih dari tiga orang…

Dan kami telah menyebutkan dua definisi itu di dalam buku kami, dan keduanya adalah definisi yang benar. Dan dengan begitu tidak perlu membuang salah satunya. Semua yang ada di situ, mungkin akan kami nisbatkan masing-masing definisi itu kepada pemiliknya jika kami memandang itu harus …)

  1. Dan sekarang kami menjawab apa yang Anda sebutkan di akhir pertanyaan yang membuat Anda rancu, yaitu tidak adanya perubahan penjelasan … Perhatian Anda itu pada tempatnya tetapi kami tidak mengubah penjelasan, akan tetapi saya ingin menarik perhatian Anda kepada masalah di dalam hadits masyhur, yaitu bahwa ada orang yang tidak mensifati hadits masyhur bahwa itu termasuk hadits ahad. Mereka mengatakan bahwa hadits masyhur memberi faedah zhan yang mendekati yakin. Maka kami fokuskan pada bahwa dalam semua keadaannya hadits masyhur adalah hadits ahad. Masalah itu ada kalanya zhan dan ada kalanya yakin, dan tidak ada yang ketiga. Jadi tidak ada sesuatu antara zhan dan yakin. Dan tidak ada sesuatu yang mendekati ini dan menjauhi ini. Karena itu ucapan ini (zhan mendekati yakin) tidak ada maknanya. Hadits masyhur memberi faedah zhan … Dan hingga seandainya tawatur pada masa at-tabi’un dan tabi’u at-tabi’in seperti yang didefinisikan oleh sebagian dari mereka, maka tidak menjadi mutawatir. Hal itu karena yang menjadi patokan at-tawatur adalah tawaturnya dari Rasul saw dan bukan hanya tawaturnya pada masa at-tabi’un dan tabi’u at-tabi’in. Masalah ini jelas di dalam penjelasan. Meski demikian, kami akan melihat apa yang akan terjdi dari sisi perubahan penjelasan (syarh) atau tetap seperti yang ada jika tidak berpengaruh pada masalah yang disebutkan.

Untuk diketahui bahwa persoalan dalam definisi yang tidak tegas untuk hadits masyhur itu muncul dari konotasi kata masyhur. Kemasyhuran hadits itu bergantung pada orang yang menilai kemasyhuran itu. Mungkin orang merasa tenteram kepada keterkenalan hadits dengan jumlah tertentu yang berbeda dengan jumlah yang diambil oleh orang lain dalam hal standar keterkenalan hadits. Hadits masyhur itu merupakan istilah di kalangan para mujtahid dan ahli hadits. Di dalamnya ada perbedaan beberapa hal seperti yang kami katakan sebelumnya dari sisi ketenangan kepada konotasi kemasyhuran hadits. Akan tetapi dalam semua kondisi itu maka hadits masyhur tetap masuk dalam hadits ahad meski hadits masyhur bisa memberikan ketenteraman lebih karena kemasyhurannya dan bertambah banyaknya jumlah orang yang menukilkannya.

Penting untuk disebutkan bahwa kemasyhuran dalam hadits adalah kemasyhurannya pada masa at-tabi’un dan tabi’ut at-tabi’in. Seandainya masyhur setelah dua masa itu maka tidak ada nilainya. Dan tidak disebut hadits masyhur jika terkenal di tengah orang setelah dua masa tersebut. Diantara hadits-hadits masyhur adalah sabda Rasul saw:

«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّـيَّاتِ» أخرجه البخاري ومسلم

“Perbuatam itu tidak lain sesuai dengan niyatnya” (HR al-Bukhari dan Muslim)

 

  1. Dan penutup, meskipun pertanyaan Anda punya satu sisi dari kebenaran (ash-shihah), meski demikian Anda katakan di dalam pertanyaan pertama: “lalu apa pendapat Anda, semoga Allah memberi balasan yang lebih baik kepada Anda.” Dan Anda katakan di pertanyaan kedua, “dan yang membuat rancu saya di sini adalah penjelasan kelanjutannya…” … Sungguh menakjubkan saya, adab Anda dalam bertanya, kedalaman pemikiran dan kebaikan penelaahan terhadap apa yang ada di buku-buku kami. Maka semoga Allah memberikan berkah kepada Anda dan dengan Anda atas apa yang Allah telah memuliakan Anda berupa akal yang lurus dan ciptaan yang mulia. Semoga Allah senantiasa bersama Anda. (www.konsultasi.wordpress.com)

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

 

Saudaramu

 

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

19 Dzulqa’dah 1436 H

03 September 2015 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_50757

Catatan :

Di soal-jawab aslinya ada dua pertanyaan. Kami sedikit edit dengan memisahkannya agar memudahkan pencarian berdasarkan tema pertanyaan.

 


Filed under: Hadis Tagged: Hadits Masyhur

Soal Jawab Seputar Qurban

$
0
0

Rekaman Pengajian
Hukum-hukum Seputar Qurban
oleh KH. M. Shiddiq Al Jawi

Soal Jawab :
1. Hukum menyembelih hewan qurban satu hari sebelum ‘Idul Adha?
2. Hukum arisan qurban?
3. Hukum menjual kulit qurban?
4. Bolehkah sohibul qurban memesan bagian tertentu dari qurbannya?
5. Hukum qurban secara online untuk tempat yang jauh?
6. Bolehkah patungan qurban sapi 7 orang, tetapi nominal patungannya berbeda masing-masing orang?
7. Bagaimana istinbat hukum pendapat yang menyatakan bahwa ‘Idul Adha mengikuti ru’yatul hilal amir Makkah?

Rekaman ini berisi kajian terhadap isi makalah, juga jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul tersebut.

Tulisan Terkait :

SOAL – JAWAB SEPUTAR PUASA AROFAH, SHOLAT IDUL ADHA, DAN QURBAN

  1. Puasa Arafah Berbeda dengan Waktu Wukuf di Arafah, Bolehkah?

https://konsultasi.wordpress.com/2014/10/02/puasa-arafah-berbeda-dengan-waktu-wukuf-di-arafah-bolehkah/

  1. Metode Penentuan Idul Adha.

https://konsultasi.wordpress.com/2010/11/02/metode-penentuan-idul-adha/

  1. Penentuan Idul Adha Wajib Berdasarkan Rukyatul Hilal Penduduk Makkah.

https://konsultasi.wordpress.com/2014/09/26/penentuan-idul-adha-wajib-berdasarkan-rukyatul-hilal-penduduk-makkah/

  1. Khutbah Ied, Satu Kali atau Dua Kali?

https://konsultasi.wordpress.com/2011/11/19/khutbah-ied-satu-kali-atau-dua-kali/

  1. Hukum-Hukum Qurban

https://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/hukum-hukum-qurban/

  1. Soal-Jawab Hukum-hukum Kurban

https://konsultasi.wordpress.com/2008/12/06/soal-jawab-hukum-hukum-kurban/

  1. Daging Kurban Dibuat Kornet, Bolehkah?

https://konsultasi.wordpress.com/2008/12/03/daging-kurban-dibuat-kornet-bolehkah/

  1. Sembelihan Ahmadiyah Haram Dimakan.

https://konsultasi.wordpress.com/2008/01/08/sembelihan-ahmadiyah-haram-dimakan/

  1. Barang Siapa Menjual Kulit Kurban, Tidak Ada Pahala Kurban Baginya.

https://konsultasi.wordpress.com/2008/12/03/barang-siapa-menjual-kulit-kurban-tidak-ada-pahala-kurban-baginya/

10.Hukum Qurban dengan Cara Iuran.

https://konsultasi.wordpress.com/2011/11/02/hukum-qurban-dengan-cara-iuran/

  1. Hukum Berqurban untuk Orang yang Sudah Meninggal.

https://konsultasi.wordpress.com/2009/11/16/hukum-berqurban-untuk-orang-yang-sudah-meninggal/

  1. Larangan Memotong Kuku Dan Rambut Bagi Yang Hendak Berkurban

https://konsultasi.wordpress.com/2007/01/22/larangan-memotong-kuku-dan-rambut-bagi-yang-hendak-berkurban/


Filed under: Ibadah Tagged: kurban, qurban

Apakah Wanita Haidh Boleh Membaca al-Quran Melalui Internet dan Ponsel?

$
0
0

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu… Saya ingin minta penjelasan tentang hukum syara’ untuk saya pilih… Apakah boleh wanita haidh membaca al-Quran melalui internet dan ponsel? Saya berharap mendapat jawaban… wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus dijelaskan tiga perkara, yaitu:

Membaca al-Quran secara lisan dari hafalan yakni bukan dari mushaf, menyentuh mushaf dan membaca dari mushaf, membawa tablet atau ponsel yang di dalamnya ada program al-Quran al-Karim dan membaca darinya:

Adapun wanita haidh membaca al-Quran secara lisan dari hafalan maka itu merupakan masalah yang para fukaha berbeda pendapat tentangnya. Diantara mereka ada yang mengharamkannya dan diantara mereka ada yang membolehkannya… Yang rajih menurut saya dalam masalah tersebut adalah bahwa membaca al-Quran untuk wanita haidh di mana ia melafazhkannya adalah tidak boleh. Al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak dari Sulaiman bin Harb dan Hafshin bin Amru bin Murrah dari Abdullah bin Salamah, ia berkata: kami menemui Ali ra, saya dan dua orang laki-laki… lalu Ali ra berkata:

«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي الْحَاجَةَ، وَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ، وَيَأْكُلُ اللَّحْمَ، وَلَمْ يَكُنْ يَحْجُبُهُ عَنْ قِرَاءَتِهِ شَيْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةُ.»

“Rasulullah saw membuang hajat, membaca al-Quran, dan beliau memakan daging. Tidak ada yang menghalangi beliau dari membaca al-Quran sesuatu pun selain janabah.”

Al-Hakim berkata: “ini hadits shahihu al-isnad”. Dan adz-Dzahabi menshahihkannya. Jelas dari hadits tersebut bawha Rasul saw membaca al-Quran secara lisan dari hafalan kecuali jika beliau sedang junub. Artinya tidak boleh bagi orang yang sedang junub membaca al-Quran. Apa yang berlaku bagi orang yang sedang junub juga berlaku bagi wanita yang sedang haidh dari sisi membaca al-Quran.

Karena itu yang rajih menurut saya adalah bahwa wanita haidh tidak boleh membaca al-Quran.

Adapun orang yang sedang junub dan wanita haidh menyentuh al-Quran maka tidak boleh. Hal itu adalah haram sesuai firman Allah SWT:

﴿لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ﴾

“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (TQS al-Waqi’ah [56]: 79)

Dan karena hadits mulia yang dikeluarkan oleh imam Malik di al-Muwatha’ dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazmin, bahwa di dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah saw untuk Amru bin Hazmin terdapat:

«أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ»

“Tidak menyentuh al-Quran kecuali orang yang suci.”

Dan dalam riwayat yang lain oleh imam Mallik di al-Muwatha’ secara lengkap nama Abdullah sebagai berikut: “dari Abdullah bin Abiy Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazmin … Ath-Thabarani telah mengeluarkan di Mu’jam al-Kabîr dan Mu’jam ash-Shaghîr dari Salim bin Abdullah bin Umar dengan lafazh: “Dari Sulaiman bin Musa, aku mendengar Salim bin Abdullah bin Umar menceritakan hadits dari bapaknya, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«لَا يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ»

“Tidak menyentuh al-Quran kecuali orang yang suci.”

Karena itu yang rajih menurut saya adalah haram bagi wanita haidh menyentuh mushaf al-Quran dan membaca darinya.

Sedangkan membawa tablet atau ponsel yang memuat program al-Quran al-Karim, para fukaha telah membahas masalah tersebut. Saya ingin memulai dengannya. Yaitu membawa mushaf jika berada di dalam kotak atau tas… Masalah ini para fukaha berbeda pendapat tentangnya:

(Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak apa-apa orang yang sedang junub dan berhadats membawa mushaf dengan gantungan, atau dengan penghalang yang tidak menyatu dengan mushaf, sebab itu bukan menyentuh mushaf sehingga tidak terlarang dari orang itu sebagaimana seandainya ia membawa mushaf di tangannya. Sebab larangan yang ada tidak lain dari menyentuh, sedangkan di sini tidak ada sentuhan. Hanafiyah berkata, “Seandainya ia membawa mushaf dengan penutup yang tidak melingkupi mushaf atau di dalam tas atau semacam itu maka tidak dibenci (lâ yukrahu)… Malikiyah dan Syafi’iyah, dan dalam satu riwayat dari Ahmad, berpendapat bahwa hal itu tidak boleh. Malikiyah berkata, “Orang yang tidak suci tidak boleh membawa mushaf meskipun di atas bantal atau semacamnya seperti kursi mushaf atau di dalam penutup atau dengan gantungan.” Syafi’iyah berkata dalam riwayat yang lebih shahih menurut mereka, “Tidak boleh membawa dan menyentuh rajutan atau kotak yang di dalamnya ada mushaf, yakni jika memang disiapkan untuk membawa mushaf itu. Tidak dilarang menyentuh atau membawa kotak yang disiapkan untuk barang-barang dan di dalamnya ada mushaf.”)

Jelas bahwa masalah ini di dalamnya ada perbedaan pendapat secara fikih. Yang saya rajihkan adalah boleh membawa ponsel tanpa suci meskipun ponsel itu memuat program al-Quran al-Karim sebab itu tidak mengambil hukum mushaf. Fakta tersimpannya program al-Quran al-Karim di memori ponsel bukan seperti tulisan. Sebagaimana ponsel itu juga memuat program-program lain selain program al-Quran al-Karim dan digunakan dalam urusan-urusan lain selain membaca al-Quran sehingga tidak mengambil hukum mushaf. Dan dikecualikan dari hal itu dua keadaan:

Pertama, ketika program al-Quran itu dijalankan dan teks al-Quran muncul di layar:

Dalam keadaan ini maka teks yang tertulis itu mengambil hukum mushaf sebab hal itu termasuk tulisan teks. Haram menyentuh layar yang di situ tertulis teks al-Quran kecuali orang yang suci sebab itu posisinya seperti tulisan di atas kertas, lembaran, dan kulit yang di atasnya tertulis mushaf. Atas dasar itu maka jika orang yang membawa ponsel itu ingin membaca al-Quran yang ada di dalam memori ponselnya dengan membuka layar, maka ia tidak boleh melakukan itu kecuali ia sedang suci. Demikian juga jika layar ponsel itu terbuka di atasnya ada teks al-Quran maka tidak boleh dibawa kecuali oleh orang yang suci.

Adapun jika ponsel itu tidak terbuka teks al-Quran di layarnya:

Dalam keadaan ini boleh dibawa oleh orang yang sedang junub hingga meskipun di dalam program yang tersimpan di memori ponsel itu ada program al-Quran al-Karim. Sebab tahqiq manath ponsel itu jika tidak ada teks al-Quran yang tampak di layarnya, maka manath ini berbeda dari manath mushaf.

Kedua, ponsel itu hanya memuat program al-Quran al-Karim dimana program itu dibuka di layar untuk dibaca. Dengan ungkapan lain, ponsel itu tidak digunakan kecuali untuk membaca al-Quran saja dan di dalamnya tidak ada program lainnya. Dalam keadaan ini maka ponsel itu tidak boleh dibawa oleh orang yang sedang junub.

Ini yang saya rajihkan dalam masalah ini. Wallâh a’lam wa ahkam. (www.konsultasi.wordpress.com)

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

17 Dzulhijjah 1436 H

01 Oktober 2015 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_51715

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan Para Pengikut di Laman Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:
Apakah Wanita Haidh Boleh Membaca al-Quran Melalui Internet dan Ponsel?
Kepada Raheeq Em Yousif

Tulisan terkait :

  1. Seputar Masalah Wanita Haidh Membaca al-Quran.

  2. Hukum Alquran Seluler


Filed under: Teknologi Tagged: software al quran

Soal Jawab Seputar Qurban

$
0
0

Rekaman Pengajian
Hukum-hukum Seputar Qurban
oleh KH. M. Shiddiq Al Jawi

Soal Jawab :
1. Hukum menyembelih hewan qurban satu hari sebelum ‘Idul Adha?
2. Hukum arisan qurban?
3. Hukum menjual kulit qurban?
4. Bolehkah sohibul qurban memesan bagian tertentu dari qurbannya?
5. Hukum qurban secara online untuk tempat yang jauh?
6. Bolehkah patungan qurban sapi 7 orang, tetapi nominal patungannya berbeda masing-masing orang?
7. Bagaimana istinbat hukum pendapat yang menyatakan bahwa ‘Idul Adha mengikuti ru’yatul hilal amir Makkah?

Rekaman ini berisi kajian terhadap isi makalah, juga jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul tersebut.

Tulisan Terkait :

SOAL – JAWAB SEPUTAR PUASA AROFAH, SHOLAT IDUL ADHA, DAN QURBAN

  1. Puasa Arafah Berbeda dengan Waktu Wukuf di Arafah, Bolehkah?

https://konsultasi.wordpress.com/2014/10/02/puasa-arafah-berbeda-dengan-waktu-wukuf-di-arafah-bolehkah/

  1. Metode Penentuan Idul Adha.

https://konsultasi.wordpress.com/2010/11/02/metode-penentuan-idul-adha/

  1. Penentuan Idul Adha Wajib Berdasarkan Rukyatul Hilal Penduduk Makkah.

https://konsultasi.wordpress.com/2014/09/26/penentuan-idul-adha-wajib-berdasarkan-rukyatul-hilal-penduduk-makkah/

  1. Khutbah Ied, Satu Kali atau Dua Kali?

https://konsultasi.wordpress.com/2011/11/19/khutbah-ied-satu-kali-atau-dua-kali/

  1. Hukum-Hukum Qurban

https://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/hukum-hukum-qurban/

  1. Soal-Jawab Hukum-hukum Kurban

https://konsultasi.wordpress.com/2008/12/06/soal-jawab-hukum-hukum-kurban/

  1. Daging Kurban Dibuat Kornet, Bolehkah?

https://konsultasi.wordpress.com/2008/12/03/daging-kurban-dibuat-kornet-bolehkah/

  1. Sembelihan Ahmadiyah Haram Dimakan.

https://konsultasi.wordpress.com/2008/01/08/sembelihan-ahmadiyah-haram-dimakan/

  1. Barang Siapa Menjual Kulit Kurban, Tidak Ada Pahala Kurban Baginya.

https://konsultasi.wordpress.com/2008/12/03/barang-siapa-menjual-kulit-kurban-tidak-ada-pahala-kurban-baginya/

10.Hukum Qurban dengan Cara Iuran.

https://konsultasi.wordpress.com/2011/11/02/hukum-qurban-dengan-cara-iuran/

  1. Hukum Berqurban untuk Orang yang Sudah Meninggal.

https://konsultasi.wordpress.com/2009/11/16/hukum-berqurban-untuk-orang-yang-sudah-meninggal/

  1. Larangan Memotong Kuku Dan Rambut Bagi Yang Hendak Berkurban

https://konsultasi.wordpress.com/2007/01/22/larangan-memotong-kuku-dan-rambut-bagi-yang-hendak-berkurban/


Filed under: Ibadah Tagged: kurban, qurban

Apakah Wanita Haidh Boleh Membaca al-Quran Melalui Internet dan Ponsel?

$
0
0

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu… Saya ingin minta penjelasan tentang hukum syara’ untuk saya pilih… Apakah boleh wanita haidh membaca al-Quran melalui internet dan ponsel? Saya berharap mendapat jawaban… wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus dijelaskan tiga perkara, yaitu:

Membaca al-Quran secara lisan dari hafalan yakni bukan dari mushaf, menyentuh mushaf dan membaca dari mushaf, membawa tablet atau ponsel yang di dalamnya ada program al-Quran al-Karim dan membaca darinya:

Adapun wanita haidh membaca al-Quran secara lisan dari hafalan maka itu merupakan masalah yang para fukaha berbeda pendapat tentangnya. Diantara mereka ada yang mengharamkannya dan diantara mereka ada yang membolehkannya… Yang rajih menurut saya dalam masalah tersebut adalah bahwa membaca al-Quran untuk wanita haidh di mana ia melafazhkannya adalah tidak boleh. Al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak dari Sulaiman bin Harb dan Hafshin bin Amru bin Murrah dari Abdullah bin Salamah, ia berkata: kami menemui Ali ra, saya dan dua orang laki-laki… lalu Ali ra berkata:

«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي الْحَاجَةَ، وَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ، وَيَأْكُلُ اللَّحْمَ، وَلَمْ يَكُنْ يَحْجُبُهُ عَنْ قِرَاءَتِهِ شَيْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةُ.»

“Rasulullah saw membuang hajat, membaca al-Quran, dan beliau memakan daging. Tidak ada yang menghalangi beliau dari membaca al-Quran sesuatu pun selain janabah.”

Al-Hakim berkata: “ini hadits shahihu al-isnad”. Dan adz-Dzahabi menshahihkannya. Jelas dari hadits tersebut bawha Rasul saw membaca al-Quran secara lisan dari hafalan kecuali jika beliau sedang junub. Artinya tidak boleh bagi orang yang sedang junub membaca al-Quran. Apa yang berlaku bagi orang yang sedang junub juga berlaku bagi wanita yang sedang haidh dari sisi membaca al-Quran.

Karena itu yang rajih menurut saya adalah bahwa wanita haidh tidak boleh membaca al-Quran.

Adapun orang yang sedang junub dan wanita haidh menyentuh al-Quran maka tidak boleh. Hal itu adalah haram sesuai firman Allah SWT:

﴿لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ﴾

“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (TQS al-Waqi’ah [56]: 79)

Dan karena hadits mulia yang dikeluarkan oleh imam Malik di al-Muwatha’ dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazmin, bahwa di dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah saw untuk Amru bin Hazmin terdapat:

«أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ»

“Tidak menyentuh al-Quran kecuali orang yang suci.”

Dan dalam riwayat yang lain oleh imam Mallik di al-Muwatha’ secara lengkap nama Abdullah sebagai berikut: “dari Abdullah bin Abiy Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazmin … Ath-Thabarani telah mengeluarkan di Mu’jam al-Kabîr dan Mu’jam ash-Shaghîr dari Salim bin Abdullah bin Umar dengan lafazh: “Dari Sulaiman bin Musa, aku mendengar Salim bin Abdullah bin Umar menceritakan hadits dari bapaknya, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«لَا يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ»

“Tidak menyentuh al-Quran kecuali orang yang suci.”

Karena itu yang rajih menurut saya adalah haram bagi wanita haidh menyentuh mushaf al-Quran dan membaca darinya.

Sedangkan membawa tablet atau ponsel yang memuat program al-Quran al-Karim, para fukaha telah membahas masalah tersebut. Saya ingin memulai dengannya. Yaitu membawa mushaf jika berada di dalam kotak atau tas… Masalah ini para fukaha berbeda pendapat tentangnya:

(Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak apa-apa orang yang sedang junub dan berhadats membawa mushaf dengan gantungan, atau dengan penghalang yang tidak menyatu dengan mushaf, sebab itu bukan menyentuh mushaf sehingga tidak terlarang dari orang itu sebagaimana seandainya ia membawa mushaf di tangannya. Sebab larangan yang ada tidak lain dari menyentuh, sedangkan di sini tidak ada sentuhan. Hanafiyah berkata, “Seandainya ia membawa mushaf dengan penutup yang tidak melingkupi mushaf atau di dalam tas atau semacam itu maka tidak dibenci (lâ yukrahu)… Malikiyah dan Syafi’iyah, dan dalam satu riwayat dari Ahmad, berpendapat bahwa hal itu tidak boleh. Malikiyah berkata, “Orang yang tidak suci tidak boleh membawa mushaf meskipun di atas bantal atau semacamnya seperti kursi mushaf atau di dalam penutup atau dengan gantungan.” Syafi’iyah berkata dalam riwayat yang lebih shahih menurut mereka, “Tidak boleh membawa dan menyentuh rajutan atau kotak yang di dalamnya ada mushaf, yakni jika memang disiapkan untuk membawa mushaf itu. Tidak dilarang menyentuh atau membawa kotak yang disiapkan untuk barang-barang dan di dalamnya ada mushaf.”)

Jelas bahwa masalah ini di dalamnya ada perbedaan pendapat secara fikih. Yang saya rajihkan adalah boleh membawa ponsel tanpa suci meskipun ponsel itu memuat program al-Quran al-Karim sebab itu tidak mengambil hukum mushaf. Fakta tersimpannya program al-Quran al-Karim di memori ponsel bukan seperti tulisan. Sebagaimana ponsel itu juga memuat program-program lain selain program al-Quran al-Karim dan digunakan dalam urusan-urusan lain selain membaca al-Quran sehingga tidak mengambil hukum mushaf. Dan dikecualikan dari hal itu dua keadaan:

Pertama, ketika program al-Quran itu dijalankan dan teks al-Quran muncul di layar:

Dalam keadaan ini maka teks yang tertulis itu mengambil hukum mushaf sebab hal itu termasuk tulisan teks. Haram menyentuh layar yang di situ tertulis teks al-Quran kecuali orang yang suci sebab itu posisinya seperti tulisan di atas kertas, lembaran, dan kulit yang di atasnya tertulis mushaf. Atas dasar itu maka jika orang yang membawa ponsel itu ingin membaca al-Quran yang ada di dalam memori ponselnya dengan membuka layar, maka ia tidak boleh melakukan itu kecuali ia sedang suci. Demikian juga jika layar ponsel itu terbuka di atasnya ada teks al-Quran maka tidak boleh dibawa kecuali oleh orang yang suci.

Adapun jika ponsel itu tidak terbuka teks al-Quran di layarnya:

Dalam keadaan ini boleh dibawa oleh orang yang sedang junub hingga meskipun di dalam program yang tersimpan di memori ponsel itu ada program al-Quran al-Karim. Sebab tahqiq manath ponsel itu jika tidak ada teks al-Quran yang tampak di layarnya, maka manath ini berbeda dari manath mushaf.

Kedua, ponsel itu hanya memuat program al-Quran al-Karim dimana program itu dibuka di layar untuk dibaca. Dengan ungkapan lain, ponsel itu tidak digunakan kecuali untuk membaca al-Quran saja dan di dalamnya tidak ada program lainnya. Dalam keadaan ini maka ponsel itu tidak boleh dibawa oleh orang yang sedang junub.

Ini yang saya rajihkan dalam masalah ini. Wallâh a’lam wa ahkam. (www.konsultasi.wordpress.com)

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

17 Dzulhijjah 1436 H

01 Oktober 2015 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_51715

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan Para Pengikut di Laman Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:
Apakah Wanita Haidh Boleh Membaca al-Quran Melalui Internet dan Ponsel?
Kepada Raheeq Em Yousif

Tulisan terkait :

  1. Seputar Masalah Wanita Haidh Membaca al-Quran.

  2. Hukum Alquran Seluler


Filed under: Teknologi Tagged: software al quran

Bagaimana Membuktikan Keaslian al-Quran?

$
0
0

Soal:

Baru-baru ini telah ditemukan naskah al-Quran tertua, bahkan diklaim lebih dulu ketimbang zaman Nabi saw. Pertanyaannya, benarkah klaim ini? Jika benar, bisakah bukti fisik seperti ini dijadikan alat untuk membuktikan keaslian al-Quran?

Jawab:

Pertama: Al-Quran telah didefinisikan oleh para ulama dengan:

كَلاَمُ اللهِ المُعْجِزُ المُنَزَّلُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَاسِطَةِ جِبْرِيْل عَلَيْهِ السَّلاَمُ، وَنُقِلَ إِلَيْنَا نَقْلاً مُتَوَاتِرًا بَيْنَ دَفَتَي المُصْحَفِ.

Kalam Allah yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada junjungan kita, Muhammad saw., melalui Malaikat Jibril as., dan dinukil kepada kita secara mutawatir di antara dua ujung Mushaf (al-Fatihah sampai an-Nas).” 1

Proses transmisi al-Quran kepada kita berbeda dengan hadis. Jika hadis sampai kepada kita melalui riwayat, maka al-Quran sampai kepada kita melalui penukilan. Menukil itu artinya memindahkan apa adanya, baik makna, huruf maupun bacaannya. Berbeda dengan meriwayatkan. Meriwayatkan itu artinya menyampaikan makna, bisa dengan redaksi yang sama sehingga dikenal riwâyat bi al-lafzhi; bisa dengan redaksi yang berbeda, atau disebut riwâyat bi al-ma’na.

Karena itu di dalam al-Quran tidak dikenal istilah riwâyat bi al-ma’na karena al-Quran memang tidak disampaikan melalui periwayatan. Sebaliknya, di dalam hadis dikenal istilah riwayat bi al-ma’na karena proses transmisi seperti ini terjadi di dalamnya.

Kedua: Pembukuan al-Quran dilakukan begitu al-Quran diturunkan kepada Nabi saw. Saat al-Quran turun, Nabi saw. pun memanggil pencatat wahyu untuk menuliskan ayat atau surat yang diturunkan kepada beliau. Di Makkah, ‘Abdullah bin Saad bin Abi Sarh dan Khalid bin Said bin al-‘Ash adalah nama-nama pencatat wahyu, ketika masih di Makkah, sebelum hijrah.2

Khalid bin Said bin al-‘Ash berkata, “Akulah orang yang pertama kali menulis “BismilLahirrahmanirrahim (Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).”3

Dokumen penulisan al-Quran ini juga bisa ditemukan dalam riwayat Ibn Hisyam. Sebagaimana diketahui, Umar bin al-Khaththab pernah mendatangi rumah adiknya, Fatimah dan Said bin Zaid, yang sedang mempelajari al-Quran yang disampaikan oleh Khubab bin al-Art. QS Thaha yang diajarkan itu ditulis pada selembar kulit disembunyikan oleh Fatimah agar tidak diketahui oleh Umar.4

Dalam riwayat lain, al-Kattani, dalam kitabnya At-Tarâtib al-Idâriyyah, menuturkan riwayat, “Sewaktu Rafi’ bin Malik al-Anshari menghadiri Baiat ‘Aqabah, Nabi Muhammad saw. menyerahkan semua ayat yang diturunkan pada dasawarsa sebelumnya. Ketika kembali ke Madinah, Rafi’ mengumpulkan semua anggota sukunya dan membacakan di depan mereka.” 5

Setelah di Madinah, jumlah para penulis wahyu Nabi saw. pun bertambah banyak, tak kurang dari 65 Sahabat.6

Ketiga: Al-Quran yang dibukukan di zaman Nabi saw. itu didiktekan langsung oleh beliau di hadapannya. Nabi saw. mengetahui huruf dan tulisannya. Setelah ditulis, penulis wahyu itu pun membacakan ulang apa yang dia tulis kepada Nabi saw. untuk memastikan tulisan, bacaan dan maknanya. Ini sebagaimana yang dituturkan oleh Zaid bin Tsabit.7

Karena itu al-Quran telah ditulis dan direkam dengan baik pada zaman Nabi saw. Zaid bin Tsabit menuturkan, “Kami mengumpulkan al-Quran di depan Nabi Muhammad saw.” 8

Nabi saw. kemudian memerintahkan, “Letakkan ayat-ayat tersebut ke dalam Surat—sebagaimana yang Baginda saw. sebutkan.”9

Dalam kesempatan lain, Zaid bin Tsabit menyatakan, “Rasulullah saw. telah wafat, sementara al-Quran belum terkumpulkan sedikitpun.”10

Ini tidak berarti, bahwa al-Quran belum ditulis dan dibukukan. Namun, yang benar, al-Quran sudah ditulis dan dibukukan, meski masih berserakan, dan belum terhimpun dalam satu mushaf.

Keempat: Setelah Rasulullah saw. wafat dan Abu Bakar ra. menjabat sebagai khalifah, Umar bin al-Khaththab mengusulkan kepada beliau agar al-Quran dikumpulkan menjadi satu mushaf. Namun, usulan ini ditolak meski kemudian pada akhirnya diterima oleh Abu Bakar. Beliau lalu menunjuk Zaid bin Tsabit,“Carilah semua al-Quran (yang berserakan) agar dapat dikumpulkan seluruhnya.”

Meski awalnya merasa berat, Zaid bin Tsabit akhirnya menerima tugas ini, dibantu oleh Umar ra.11

Dalam pelaksanaannya, khalifah Abu Bakar mensyaratkan beberapa hal. Abu Bakar tidak memberikan wewenang kepada dia agar menulis (menyalin), kecuali apa yang telah tersedia dalam bentuk tulisan berupa kertas (kulit). Itulah alasannya, mengapa Zaid tidak mau memasukkan ayat terakhir QS al-Bara’ah sebelum sampai dengan membawa bukti suatu ayat yang telah tertulis (dalam bentuk tulisan) kendati ia mempunyai banyak Sahabat yang dengan mudah untuk mengingatnya kembali secara tepat dari hapalan mereka. 12

Zaid bin Tsabit menuturkan, bagaimana tugas tersebut dia lakukan, “Al-Quran saya kumpulkan dari berbagai bentuk kertas, kulit, potongan tulang dan dari dada-dada para penghapalnya.” 13

Dalam riwayat lain, Zaid menuturkan, “Saya mendapati dua ayat terakhir QS al-Bara’ah hapalannya ada pada Abu Khuzaimah al-Anshari.” 14

Karena itu, sebenarnya al-Quran yang dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit di zaman Abu Bakar ini sebenarnya bukanlah al-Quran yang baru, namun materi yang sama yang telah ditulis dan dibukukan di zaman Nabi saw. Setelah seluruh materi ini terkumpul, maka arsipnya pun disimpan di arsip kenegaraan di bawah pengawasan Abu Bakar as-Shiddiq ra.

Kelima: Sepeninggal Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, kompilasi al-Quran tersebut dipindahkan ke rumah Hafshah binti Umar hingga ‘Umar wafat dan digantikan oleh Utsman bin ‘Affan. Pada zamankhalifah Utsman inilah, kompilasi al-Quran ini digandakan setelah mendengar nasihat ‘Ali bin Abi Thalib,“Saya tahu, kita ingin menyatukan manusia (umat islam) dengan satu mushaf. Dengan itu tidak ada lagi perbedaan dan perselisihan. Saya berpendapat, sebagaimana pendapat Anda.”15

khalifah Utsman pun mengirimkan surat kepada Hafshah ra, “Kirimkanlah Suhuf kepada kami agar kami dapat membuat naskah yang sempurna. Kemudian Suhuf itu akan kami kembalikan kepada Anda.”

Hafshah pun mengirimkan Suhuf itu kepada khalifah Utsman. Beliau kemudian memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Zubair, Said bin al-‘Ash dan ‘Abdurrahman bin Harits bin Hisyam agar memperbanyak salinan naskah tersebut. Setelah selesai, Suhuf ini pun dikembalikan kepada Hafshah.16 Mushaf inilah yang dikemudian dikenal dengan Mushaf dan Rasm ‘Utsmânî. Dengan demikian mushaf ini merupakan mushaf mutawâtir.

Keenam: Mushaf Mutawâtir inilah yang dinyatakan oleh Imam as-Syafii sebagai al-Quran. Adapun mushafahad, seperti Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf Ubay bin Kaab, dan lain-lain tidak diakui sebagai al-Quran, dan tidak bisa digunakan sebagai hujjah atas nama al-Quran. Alasannya, karena Nabi saw. telah diberi tugas untuk menyampaikan al-Quran yang diturunkan kepada beliau, kepada sekelompok orang, yang perkataan mereka bisa menjadi hujjah yang qath’i. Orang yang perkataannya bisa menjadi hujjah yangqath’i tak terbayang setuju untuk tidak menukil apa yang mereka dengarkan dari Nabi saw.17

Dengan cara seperti itulah, al-Quran sampai kepada kita. Dengan cara yang sama, al-Quran pun terjaga keasliannya. Begitulah. Pendek kata, al-Quran yang telah sampai kepada kita itu adalah al-Quran yang telah dinukil secara mutawatir, baik makna, tulisan maupun bacaannya. Allah SWT sendiri berjanji memastikan al-Quran terpelihara:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْر وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran ini dan sesungguhnya Kamilah yang akan menjaga-Nya(QS al-Hijr [15]: 9).

Ketujuh: Mengenai fakta bahwa telah terjadi penambahan pada titik, harakat dan tanda baca pada mushaf yang baru dilakukan pada zaman Muawiyah (w. 60 H/679 M), ketika Muawiyah menugaskan Abu al-Aswad ad-Du’ali (w. 69 H/688 M), yang di zaman khalifah Umar bin al-Khaththab telah beliau minta menulis risalah tentang tata bahasa Arab, dan telah merintis tanda baca dalam huruf Arab.18 Semua ini tidak mengurangi keaslian al-Quran. Justru semuanya ini dilakukan untuk menjaga keotentikannya agar tulisan, bacaan dan maknanya tetap terjaga.

Adapun temuan naskah yang diklaim ada sebelum Nabi saw., dan klaim itu didasarkan pada hasil pengujian yang teliti, maka klaim ini sesungguhnya tidak bisa menggugurkan keaslian naskah al-Quran yang ada di tangan kita. Pertama: Temuan ini hanya membuktikan “adanya” naskah, yang diklaim sebagai naskah al-Quran. Kedua: “Adanya” naskah ini tidak bisa digunakan untuk membuktikan hakikatnya, termasuk umurnya, kapan dibuat, dan seterusnya. Jika pun bisa, hasilnya hanya bersifat spekulasi, yaitu “diperkirakan berumur”, “diperkirakan dibuat pada tahun sekian”, dan seterusnya.

Karena itu jika “adanya” naskah ini hanya bisa menghasilkan kesimpulan spekulatif tentang umur al-Quran dan kapan dibuat, maka kesimpulan seperti ini tidak bisa meruntuhkan fakta yang qath’i bahwa al-Quran yang ada di tangan kita ini asli.

Dengan demikian, klaim temuan naskah tersebut hanyalah cara lain—setelah berbagai cara yang dilakukan oleh kaum kafir gagal—untuk meragukan keaslian al-Quran. Untuk pengayaan dalam masalah ini, silakan baca buku Prof. Dr. M.M. Al-A’dhami, The History of The Qur’anic Text: From Revelation to Compilation. (www.konsultasi.wordpress.com)

WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

Catatan kaki:

1         Lihat, Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/161.

2         Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, IX/22; As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr Tafsîr al-Qur’ân bi al-Ma’tsûr, I/11.

3         Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, IX/22.

4         Lihat: Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, I/343-346.

5         Al-Kattani, At-Tarâtib al-Idâriyyah: an-Nuzhum al-Hukmiyyah, I/44.

6         Prof. Dr. M. Musthafa A’dhami, Kutâb an-Nabi.

7         As-Suli, Adab al-Kutab, hlm. 165; al-Hatsami, Majma’ az-Zawâ’id wa Manba’ al-Fawâ’id, I/52.

8         At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hlm. 141; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, V/185; al-Hakim, Al-Mustadrak, II/229.

9         At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hadis no. 3086; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, I/69; al-Hakim, Al-Mustadrak, I/221.

10        Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX/12.

11        Abi Dawud, Al-Mashahif, hlm. 6.

12        Ibn Hajar, Fath al-Bârî, IV/13.

13        Az-Zarkhasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, I/238-239.

14        Ibn Hajar, Fath al-Bârî, IV/13.

15        Abu Dawud, Al-Mashahif, hlm. 22.

16        Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX/ii; Abu Dawud, Al-Mashahif, hlm. 19-20; Abu ‘Ubaid, Fadhâ’il, hlm. 282.

17        Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/160.

18        Ad-Dani, Al-Muhkam, hlm. 4-5; Ibn an-Nadim, al-Fihrist, hlm. 46.


Filed under: Aqidah Tagged: keaslian al quran

Hukum Jalan Sehat Berhadiah

$
0
0

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya jalan sehat berhadiah? Para peserta membayar uang pendaftaran, hadiah bagi pemenang berasal dari uang pendaftaran, dan pemenang ditentukan dengan cara diundi. (Mochamad Mufti, Yogyakarta).

Jawab :

Jalan sehat berhadiah tersebut dan aktivitas-aktivitas lain yang semisal itu, hukumnya haram karena termasuk judi (al maisir, al qimaar). Padahal islam telah tegas mengharamkan judi, sesuai firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

 ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar (minuman keras), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah kotor (rijsun) termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maaidah [5] : 90).

Berdasarkan ayat tersebut, para fuqoha sepakat bahwa judi hukumnya haram. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 39/405). Keharaman judi ditunjukkan oleh beberapa indikasi (qarinah) yang menunjukkan larangan yang bersifat tegas (jazim), antara lain ; pertama, menggunakan taukid (kata penegas) “innama” (sesungguhnya). Kedua, judi disebut rijsun (najis). Ketiga, judi disebut perbuatan syaitan. Keempat, ada perintah untuk menjauhinya. Kelima, ada harapan keberuntungan bagi yang menjauhi judi. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat).

Adapun pengertian judi (al maisir, al qimaar), ada banyak versi pendapat ulama. Definisi yang paling rajih(kuat) menurut kami adalah :

كل لعب يشترط فيه أن يأخذ الغالب من المغلوب شيئا

 “Judi adalah setiap-tiap permainan yang mensyaratkan pihak pemenang mengambil sesuatu (harta) dari pihak yang kalah.” (kullu la’bin yasytarithu fiihi an ya`khudza al ghaalibu minal maghluubi syai`an). (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha`, hlm. 281; Imam Al Jurjani, At Ta’rifaat, hlm. 179; M. Ali Ash Shabuni,Tafsir Ayat Al Ahkam, 1/279; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 39/404; Sulaiman Ahmad Al Malham, Al Qimar Haqiiqatuhu wa Ahkamuhu, hlm. 74).

Dari definisi judi tersebut, terdapat 3 (tiga) kriteria pokok untuk aktivitas yang dikategorikan judi;pertama, ada taruhan (muraahanah) berupa harta (uang dsb) dari pihak yang berjudi, bisa satu pihak, atau lebih. Yang dimaksud “pihak” bisa jadi orang yang konkret (al syakhsh al haqiiqi), atau suatu alat (mesin judi) atau game (on line) yang dianggap mewakili orang yang konkret. Kedua, ada permainan (la’bun) yang fungsinya untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang menang. Misalnya dadu (an nard), catur, domino, kartu, dsb. Disamakan dengan permainan, adalah segala macam perlombaan (musabaqah), seperti sepakbola, pacuan kuda, balapan lari, dsb. Ketiga, adanya pihak yang memang dan yang kalah, yakni pihak yang menang mengambil harta dari pihak yang kalah. (Sulaiman Ahmad Al Malham, Al Qimar Haqiiqatuhu wa Ahkamuhu, hlm. 74-75; Syukri ‘Ali Abdurrahman Al Thawiil, Al Qimar wa Anwaa’uhu fi Dhau` Al Syari’ah Al Islamiyyah, hlm. 21-22).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka aktivitas “jalan sehat berhadiah” dan yang semisalnya hukumnya secara syar’i adalah haram. Pasalnya, definisi judi dapat diberlakukan untuk aktivitas tersebut. Buktinya adalah sbb, pertama, ada uang pendaftaran yang dapat dianggap sebagai harta taruhan dari masing-masing peserta. Kedua, ada permainan yang digunakan untuk menentukan pihak pemenang, yaitu undian. Ketiga, ada pihak yang menang dan yang kalah. Pihak pemenang adalah yang mengambil hadiah (seperti sepeda motor, kulkas, dsb) yang dibeli dari kumpulan uang pendaftaran para peserta. Sementara pihak yang kalah adalah para peserta yang sudah membayar uang pendaftaran tapi tidak mendapat hadiah.

Kesimpulannya, jalan sehat berhadiah seperti yang ditanyakan hukumnya adalah haram. Solusi agar kegiatan seperti itu terhindar dari keharaman adalah tidak mengambil uang pendaftaran dari peserta, dan/atau hadiah yang diberikan tidak berasal dari uang pendaftaran peserta melainkan dari pihak ketiga (sponsor dsb). Wallahu a’lam bish shawab.[www.konsultasi.wordpress.com] M Shiddiq al Jawi

Tulisan terkait :

  1. Hadiah dan Undian di dalam Produk.

  2. Hukum Menerima Hadiah dari Bank.

  3. Mentraktir yang Menang dalam Sepak Bola.

  4. Hukum Doorprize.


Filed under: Ekonomi Tagged: hukum undian

Pro-Kontra Hukuman Kebiri dalam Perspektif Syariah Islam

$
0
0

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi*

Pendahuluan

Pro-kontra hukuman kebiri muncul setelah pemerintah berencana menerapkan hukuman kebiri kepada pelaku pedofilia. Pihak yang pro berargumen hukuman kebiri diperlukan karena kasus kekerasan seksual sudah dalam tahap darurat. Kasus yang dialami Putri Nur Fauziah (9 tahun) yang tewas akibat kekerasan seksual di Kalideres, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu dijadikan contoh kondisi darurat tersebut. Data Lembaga Perlindungan Anak menunjukkan, hingga kini terdapat 21.689.797 kasus pelanggaran hak terhadap anak, dan 58% di antaranya merupakan kejahatan seksual. Sementara itu data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan ada 22 juta anak yang mengalami kekerasan sepanjang 2010-2014, dan 42% di antaranya merupakan kasus kejahatan seksual. (Koran Tempo, 23/10/2015).

Ide hukuman kebiri ini diusulkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pendidikan Nasional kepada Presiden Jokowi hari Selasa (20/10/2015). Presiden Jokowi memberi sinyal setuju lalu membahas hal tersebut bersama sejumlah pejabat seperti Jaksa Agung M. Prasetyo. Usulan tersebut sudah ditindaklanjuti dengan penyusunan draf Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perpu) bagi pelaku kejahatan anak. Dalam rancangan Perpu tersebut, pelaku dihukum kebiri secara hormonal. (Koran Tempo, 23/10/2015).

Sementara pihak yang kontra menolak hukuman kebiri berdasarkan beberapa argumen. Ada yang menolak karena mempertanyakan efektivitasnya dalam menimbulkan efek jera. Sosiolog Imam B. Prasodjo, misalnya, menganggap hukuman kebiri tak memberikan efek jera. Menurut Imam, solusi paling efektif adalah membangun kesigapan sosial di mana masyarakat harus waspada mengawasi gejala-gejala yang muncul. Argumen lainnya dari pihak yang kontra adalah karena hukuman kebiri dianggap berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), seperti pendapat Desmond J. Mahesa dari Fraksi Gerindra DPR RI.

Pihak lainnya yang kontra adalah dari tokoh ormas Islam dan kalangan pesantren. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar, tidak sepakat dengan hukuman kebiri jika mengubah fisik manusia. Ketua Asosiasi Pondok Pesantren Jawa Timur, Gus Reza Ahmad Zahid, menyatakan tak selayaknya pemerintah menerapkan hukuman kebiri. Alasannya, konsep Islam tidak mengenal kebiri. (Koran Tempo, 23/10/2015).

 

Fakta Kebiri 

Kebiri (al ikhsha`, castration) artinya adalah pemotongan dua buah dzakar (al khushyatain, testis), yang dapat dibarengi dengan pemotongan penis (dzakar). Jadi kebiri dapat berupa pemotongan testis saja, dan inilah pengertian dasar dari kebiri. Namun adakalanya kebiri berupa pemotongan testis dan penis sekaligus. Kebiri bertujuan menghilangkan syahwat dan sekaligus menjadikan mandul. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha, hlm. 150; Al Mu’jamul Wasith, 1/269; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119; ‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahawaat, hlm. 88).

Metode kebiri secara garis besar ada dua macam, yaitu metode fisik dan metode hormonal (injeksi). Metode fisik dilakukan dengan cara memotong organ yang memproduksi testosteron, yaitu testis. Setelah testis dipotong dan dibuang melalui operasi, sisanya diikat dan kemudian dijahit. Dengan pemotongan testis tersebut, berarti sudah dihilangkan testosteron sebagai hormon pembangkit gairah seks. Akibatnya laki-laki akan kehilangan gairah seks dan sekaligus menjadi mandul permanen. (Jawa Pos, 22/10/2015).

Adapun metode kebiri hormonal, dilakukan bukan dengan memotong testis atau penis, tapi  dengan cara injeksi (suntikan) hormon kepada orang yang dikebiri. Ada dua metode injeksi. Pertama, diinjeksikan obat yang menekan produksi hormon testosteron. Injeksi dilakukan berulang-ulang sehingga hormon testosteron seolah-olah hilang. Kedua, diinjeksikan hormon estrogen kepada orang yang dikebiri, sehingga ia memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan. Hormon testosteron akan menurun dan gairah seksual juga akan ikut menurun. Bila suntik hormon testosteron ini dihentikan, keadaan orang yang dikebiri akan pulih seperti semula. (Jawa Pos, 22/10/2015).

 

Pandangan Syariah Islam

Menjatuhkan hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia hukumnya haram, berdasarkan 3 (tiga) alasan sebagai berikut;

Pertama, syariah Islam dengan tegas telah mengharamkan kebiri pada manusia, tanpa ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan fuqaha. Tiadanya khilafiyah ini diriwayatkan misalnya oleh Imam Ibnu Abdil Barr (Al Istidzkar, 8/433), Imam Ibnu Hajar Al Asqalani (Fathul Bari, 9/111), Imam Badruddin Al ‘Aini (‘Umdatul Qari, 20/72), Imam Al Qurthubi (Al Jami’ li Ahkam Al Qur`an, 5/334), dan Imam Shan’ani, (Subulus Salam, 3/110). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119-120; ‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, hlm. 88; Kamaluddin Jumu’ah Bakar, Masa`il wa Ahkam Yamussu Jasadal Insan, hlm. 90).

Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah dikutip pernyataan tentang tidak adanya khilafiyah ulama mengenai haramnya kebiri sebagai berikut :

“Imam Ibnu Hajar Al Asqalani berkata,’(Hadits yang melarang kebiri) adalah larangan pengharaman tanpa perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu kebiri pada manusia.’ (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/121).

Dalam kitab Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, Syekh ‘Adil Mathrudi berkata :

“Para ulama telah sepakat bahwa kebiri pada manusia itu diharamkan dan tidak boleh.” (‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, hlm. 88).

Dalil haramnya kebiri pada manusia adalah hadits-hadits sahih yang dengan jelas menunjukkan larangan Rasulullah SAW terhadap kebiri. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash RA, dia berkata :

”Rasulullah SAW telah menolak Utsman bin Mazh’un RA untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi demi ibadah semata). Kalau sekiranya Rasulullah SAW mengizinkan Utsman bin Mazh’un untuk melakukan tabattul, niscaya kami sudah melakukan pengebirian.” (HR Bukhari no 5073; Muslim no 3390).

Dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata ;

”Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi SAW sedang kami tidak bersama isteri-isteri. Lalu kami berkata (kepada Nabi SAW),’Bolehkah kami melakukan pengebirian?’ Maka Nabi SAW melarang yang demikian itu.” (HR Bukhari no 4615; Muslim no 1404; Ahmad no 3650; Ibnu Hibban no 4141). (Taqiyuddin An Nabhani, An NizhamAl Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 164; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119)

Kedua, syariah Islam telah menetapkan hukuman untuk pelaku pedofilia sesuai rincian fakta perbuatannya, sehingga tidak boleh (haram) melaksanakan jenis hukuman di luar ketentuan Syariah Islam itu. Dalil haramnya melaksanakan hukum-hukum non syariah adalah firman Allah SWT :

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS Al Ahzab [33]: 36).

Ayat tersebut dengan jelas melarang muslim untuk membuat suatu ketentuan baru apabila sudah ada ketentuan hukum yang tertentu dari Syariah Islam. Maka dari itu haram hukumnya menerapkan hukum kebiri untuk pelaku pedofilia, karena Syariah Islam sudah menetapkan rincian hukuman tertentu bagi pelaku pedofilia.

Adapun rincian hukuman untuk pelaku pedofilia sbb; (1) jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina (had az zina), yaitu dirajam jika sudah muhshan (menikah) atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan; (2) jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain; (3) jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya ta’zir. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 93).

Memang benar, hukuman untuk pelaku pedofilia yang hanya melakukan pelecehan seksual (at taharusy al jinsi), adalah hukuman ta’zir, yang dapat ditentukan sendiri jenis dan kadarnya oleh hakim (qadhi). Misalnya dicambuk 5 kali cambukan, dipenjara selama 4 tahun, dsb. Pertanyaannya, bolehkah hakim menjadikan kebiri sebagai hukuman ta’zir?

Jawabannya, tidak boleh (haram). Sebab meski hukuman ta’zir dapat dipilih jenis dan kadarnya oleh hakim, tetapi disyaratkan hukuman ta’zir itu telah disahkan dan tidak dilarang oleh nash-nash syariah, baik Al Qur`an maupun As Sunnah. Jika dilarang oleh nash syariah, haram dilaksanakan. Misalnya, hukuman membakar dengan api. Ini haram hukumnya, karena terdapat hadits sahih yang melarangnya (HR Bukhari) (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 81). Maka demikian pula, menjatuhkan ta’zir berupa kebiri hukumnya haram, karena telah terdapat hadits-hadits sahih yang melarang kebiri.

Ketiga, dalam hal metode kebiri yang digunakan adalah metode injeksi kedua, yakni yang diinjeksikan adalah hormon estrogen, hukumnya juga haram dari sisi lain, karena mengakibatkan laki-laki yang dikebiri memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan. Padahal Islam telah mengharamkan laki-laki menyerupai perempuan atau sebaliknya perempuan menyerupai laki-laki. Dalil keharamannya adalah hadis riwayat Ibnu Abbas RA bahwa :

Rasulullah SAW telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR Bukhari, no 5546).

Hadis ini mengharamkan perbuatan laki-laki menyerupai wanita atau perbuatan wanita menyerupai laki-laki. Maka, metode kebiri dengan cara injeksi hormon estrogen kepada laki-laki pelaku pedofilia haram hukummya, karena menjadi perantaraan (wasilah) bagi laki-laki itu untuk menyerupai lawan jenisnya (perempuan). Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan:

”Al-Wasilah ila al-haram muharromah.” (Segala perantaraan menuju yang haram hukumnya haram juga).

Berdasarkan 3 (tiga) alasan di atas, menjatuhkan hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia hukumnya adalah haram.

 

Penutup

            Upaya pemerintah untuk menerapkan hukum kebiri bagi laki-laki pedofilia adalah suatu kesesatan dan dosa besar yang sama sekali tidak boleh didukung oleh umat Islam. Siapapun yang terlibat di dalam upaya penerapan hukum kebiri itu, baik itu ahli hukum yang menyusun draft Perpu, Presiden yang menandatangi Perpu, para menteri pengusulnya, hakim dan jaksa yang mengadili pelaku pedofilia, termasuk para dokter atau staf medis yang melaksanakan kebiri di rumah sakit atas perintah pengadilan, semuanya turut memikul dosa besar di hadapan Allah. Mereka harus mempertanggung jawabkan perbuatannya itu hadapan Allah SWT pada Hari Kiamat andaikata Allah bertanya mengapa mereka menjalankan hukuman yang tidak diizinkan Allah dan malah membuat-buat hukuman yang tidak disyariatkan-Nya? Tidakkah mereka ingat firman Allah SWT :

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al Isra` [17] : 36).

 

Upaya penerapan hukum kebiri tersebut di samping menunjukkan kebodohan terhadap Syariah Islam, juga menunjukkan kegagalan yang total dalam penanggulangan kejahatan seksual terhadap anak. Sesungguhnya penanggulangan kejahatan seksual terhadap anak, bahkan penanggulangan semua penyakit sosial yang ada dalam sistem sekuler-kapitalis saat ini, wajib dikembalikan kepada Syariah Islam yang diterapkan secara kaaffah (menyeluruh) dalam negara Khilafah. Dengan tiga pilar pelaksanaan Syariah Islam, yaitu ketakwaan individu, kontrol sosial, dan penegakan hukum oleh negara, insya Allah semua penyakit dan kejahatan sosial akan dapat dikurangi atau bahkan dilenyapkan dari muka bumi dengan seizin Allah. Firman Allah SWT :

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar Ruum [30] : 41). Wallahu a’lam.

 

= = =

*Syabab (aktivis) DPC HTI Kraton, Yogyakarta. Dosen STEI Hamfara Yogyakarta.

 

Raih pahala dengan menyebarluaskan artikel ini :
Facebook.com/SyariahPublications
www.konsultasi.wordpress.com


Filed under: Sanksi dan Hukum Tagged: kebiri

Soal Jawab Seputar Qurban

$
0
0

Rekaman Pengajian
Hukum-hukum Seputar Qurban
oleh KH. M. Shiddiq Al Jawi

Soal Jawab :
1. Hukum menyembelih hewan qurban satu hari sebelum ‘Idul Adha?
2. Hukum arisan qurban?
3. Hukum menjual kulit qurban?
4. Bolehkah sohibul qurban memesan bagian tertentu dari qurbannya?
5. Hukum qurban secara online untuk tempat yang jauh?
6. Bolehkah patungan qurban sapi 7 orang, tetapi nominal patungannya berbeda masing-masing orang?
7. Bagaimana istinbat hukum pendapat yang menyatakan bahwa ‘Idul Adha mengikuti ru’yatul hilal amir Makkah?

Rekaman ini berisi kajian terhadap isi makalah, juga jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul tersebut.

Tulisan Terkait :

SOAL – JAWAB SEPUTAR PUASA AROFAH, SHOLAT IDUL ADHA, DAN QURBAN

  1. Puasa Arafah Berbeda dengan Waktu Wukuf di Arafah, Bolehkah?

https://konsultasi.wordpress.com/2014/10/02/puasa-arafah-berbeda-dengan-waktu-wukuf-di-arafah-bolehkah/

  1. Metode Penentuan Idul Adha.

https://konsultasi.wordpress.com/2010/11/02/metode-penentuan-idul-adha/

  1. Penentuan Idul Adha Wajib Berdasarkan Rukyatul Hilal Penduduk Makkah.

https://konsultasi.wordpress.com/2014/09/26/penentuan-idul-adha-wajib-berdasarkan-rukyatul-hilal-penduduk-makkah/

  1. Khutbah Ied, Satu Kali atau Dua Kali?

https://konsultasi.wordpress.com/2011/11/19/khutbah-ied-satu-kali-atau-dua-kali/

  1. Hukum-Hukum Qurban

https://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/hukum-hukum-qurban/

  1. Soal-Jawab Hukum-hukum Kurban

https://konsultasi.wordpress.com/2008/12/06/soal-jawab-hukum-hukum-kurban/

  1. Daging Kurban Dibuat Kornet, Bolehkah?

https://konsultasi.wordpress.com/2008/12/03/daging-kurban-dibuat-kornet-bolehkah/

  1. Sembelihan Ahmadiyah Haram Dimakan.

https://konsultasi.wordpress.com/2008/01/08/sembelihan-ahmadiyah-haram-dimakan/

  1. Barang Siapa Menjual Kulit Kurban, Tidak Ada Pahala Kurban Baginya.

https://konsultasi.wordpress.com/2008/12/03/barang-siapa-menjual-kulit-kurban-tidak-ada-pahala-kurban-baginya/

10.Hukum Qurban dengan Cara Iuran.

https://konsultasi.wordpress.com/2011/11/02/hukum-qurban-dengan-cara-iuran/

  1. Hukum Berqurban untuk Orang yang Sudah Meninggal.

https://konsultasi.wordpress.com/2009/11/16/hukum-berqurban-untuk-orang-yang-sudah-meninggal/

  1. Larangan Memotong Kuku Dan Rambut Bagi Yang Hendak Berkurban

https://konsultasi.wordpress.com/2007/01/22/larangan-memotong-kuku-dan-rambut-bagi-yang-hendak-berkurban/


Filed under: Ibadah Tagged: kurban, qurban

Apakah Wanita Haidh Boleh Membaca al-Quran Melalui Internet dan Ponsel?

$
0
0

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu… Saya ingin minta penjelasan tentang hukum syara’ untuk saya pilih… Apakah boleh wanita haidh membaca al-Quran melalui internet dan ponsel? Saya berharap mendapat jawaban… wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus dijelaskan tiga perkara, yaitu:

Membaca al-Quran secara lisan dari hafalan yakni bukan dari mushaf, menyentuh mushaf dan membaca dari mushaf, membawa tablet atau ponsel yang di dalamnya ada program al-Quran al-Karim dan membaca darinya:

Adapun wanita haidh membaca al-Quran secara lisan dari hafalan maka itu merupakan masalah yang para fukaha berbeda pendapat tentangnya. Diantara mereka ada yang mengharamkannya dan diantara mereka ada yang membolehkannya… Yang rajih menurut saya dalam masalah tersebut adalah bahwa membaca al-Quran untuk wanita haidh di mana ia melafazhkannya adalah tidak boleh. Al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak dari Sulaiman bin Harb dan Hafshin bin Amru bin Murrah dari Abdullah bin Salamah, ia berkata: kami menemui Ali ra, saya dan dua orang laki-laki… lalu Ali ra berkata:

«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي الْحَاجَةَ، وَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ، وَيَأْكُلُ اللَّحْمَ، وَلَمْ يَكُنْ يَحْجُبُهُ عَنْ قِرَاءَتِهِ شَيْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةُ.»

“Rasulullah saw membuang hajat, membaca al-Quran, dan beliau memakan daging. Tidak ada yang menghalangi beliau dari membaca al-Quran sesuatu pun selain janabah.”

Al-Hakim berkata: “ini hadits shahihu al-isnad”. Dan adz-Dzahabi menshahihkannya. Jelas dari hadits tersebut bawha Rasul saw membaca al-Quran secara lisan dari hafalan kecuali jika beliau sedang junub. Artinya tidak boleh bagi orang yang sedang junub membaca al-Quran. Apa yang berlaku bagi orang yang sedang junub juga berlaku bagi wanita yang sedang haidh dari sisi membaca al-Quran.

Karena itu yang rajih menurut saya adalah bahwa wanita haidh tidak boleh membaca al-Quran.

Adapun orang yang sedang junub dan wanita haidh menyentuh al-Quran maka tidak boleh. Hal itu adalah haram sesuai firman Allah SWT:

﴿لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ﴾

“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (TQS al-Waqi’ah [56]: 79)

Dan karena hadits mulia yang dikeluarkan oleh imam Malik di al-Muwatha’ dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazmin, bahwa di dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah saw untuk Amru bin Hazmin terdapat:

«أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ»

“Tidak menyentuh al-Quran kecuali orang yang suci.”

Dan dalam riwayat yang lain oleh imam Mallik di al-Muwatha’ secara lengkap nama Abdullah sebagai berikut: “dari Abdullah bin Abiy Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazmin … Ath-Thabarani telah mengeluarkan di Mu’jam al-Kabîr dan Mu’jam ash-Shaghîr dari Salim bin Abdullah bin Umar dengan lafazh: “Dari Sulaiman bin Musa, aku mendengar Salim bin Abdullah bin Umar menceritakan hadits dari bapaknya, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«لَا يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ»

“Tidak menyentuh al-Quran kecuali orang yang suci.”

Karena itu yang rajih menurut saya adalah haram bagi wanita haidh menyentuh mushaf al-Quran dan membaca darinya.

Sedangkan membawa tablet atau ponsel yang memuat program al-Quran al-Karim, para fukaha telah membahas masalah tersebut. Saya ingin memulai dengannya. Yaitu membawa mushaf jika berada di dalam kotak atau tas… Masalah ini para fukaha berbeda pendapat tentangnya:

(Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak apa-apa orang yang sedang junub dan berhadats membawa mushaf dengan gantungan, atau dengan penghalang yang tidak menyatu dengan mushaf, sebab itu bukan menyentuh mushaf sehingga tidak terlarang dari orang itu sebagaimana seandainya ia membawa mushaf di tangannya. Sebab larangan yang ada tidak lain dari menyentuh, sedangkan di sini tidak ada sentuhan. Hanafiyah berkata, “Seandainya ia membawa mushaf dengan penutup yang tidak melingkupi mushaf atau di dalam tas atau semacam itu maka tidak dibenci (lâ yukrahu)… Malikiyah dan Syafi’iyah, dan dalam satu riwayat dari Ahmad, berpendapat bahwa hal itu tidak boleh. Malikiyah berkata, “Orang yang tidak suci tidak boleh membawa mushaf meskipun di atas bantal atau semacamnya seperti kursi mushaf atau di dalam penutup atau dengan gantungan.” Syafi’iyah berkata dalam riwayat yang lebih shahih menurut mereka, “Tidak boleh membawa dan menyentuh rajutan atau kotak yang di dalamnya ada mushaf, yakni jika memang disiapkan untuk membawa mushaf itu. Tidak dilarang menyentuh atau membawa kotak yang disiapkan untuk barang-barang dan di dalamnya ada mushaf.”)

Jelas bahwa masalah ini di dalamnya ada perbedaan pendapat secara fikih. Yang saya rajihkan adalah boleh membawa ponsel tanpa suci meskipun ponsel itu memuat program al-Quran al-Karim sebab itu tidak mengambil hukum mushaf. Fakta tersimpannya program al-Quran al-Karim di memori ponsel bukan seperti tulisan. Sebagaimana ponsel itu juga memuat program-program lain selain program al-Quran al-Karim dan digunakan dalam urusan-urusan lain selain membaca al-Quran sehingga tidak mengambil hukum mushaf. Dan dikecualikan dari hal itu dua keadaan:

Pertama, ketika program al-Quran itu dijalankan dan teks al-Quran muncul di layar:

Dalam keadaan ini maka teks yang tertulis itu mengambil hukum mushaf sebab hal itu termasuk tulisan teks. Haram menyentuh layar yang di situ tertulis teks al-Quran kecuali orang yang suci sebab itu posisinya seperti tulisan di atas kertas, lembaran, dan kulit yang di atasnya tertulis mushaf. Atas dasar itu maka jika orang yang membawa ponsel itu ingin membaca al-Quran yang ada di dalam memori ponselnya dengan membuka layar, maka ia tidak boleh melakukan itu kecuali ia sedang suci. Demikian juga jika layar ponsel itu terbuka di atasnya ada teks al-Quran maka tidak boleh dibawa kecuali oleh orang yang suci.

Adapun jika ponsel itu tidak terbuka teks al-Quran di layarnya:

Dalam keadaan ini boleh dibawa oleh orang yang sedang junub hingga meskipun di dalam program yang tersimpan di memori ponsel itu ada program al-Quran al-Karim. Sebab tahqiq manath ponsel itu jika tidak ada teks al-Quran yang tampak di layarnya, maka manath ini berbeda dari manath mushaf.

Kedua, ponsel itu hanya memuat program al-Quran al-Karim dimana program itu dibuka di layar untuk dibaca. Dengan ungkapan lain, ponsel itu tidak digunakan kecuali untuk membaca al-Quran saja dan di dalamnya tidak ada program lainnya. Dalam keadaan ini maka ponsel itu tidak boleh dibawa oleh orang yang sedang junub.

Ini yang saya rajihkan dalam masalah ini. Wallâh a’lam wa ahkam. (www.konsultasi.wordpress.com)

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

17 Dzulhijjah 1436 H

01 Oktober 2015 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_51715

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan Para Pengikut di Laman Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:
Apakah Wanita Haidh Boleh Membaca al-Quran Melalui Internet dan Ponsel?
Kepada Raheeq Em Yousif

Tulisan terkait :

  1. Seputar Masalah Wanita Haidh Membaca al-Quran.

  2. Hukum Alquran Seluler


Filed under: Teknologi Tagged: software al quran

Bagaimana Membuktikan Keaslian al-Quran?

$
0
0

Soal:

Baru-baru ini telah ditemukan naskah al-Quran tertua, bahkan diklaim lebih dulu ketimbang zaman Nabi saw. Pertanyaannya, benarkah klaim ini? Jika benar, bisakah bukti fisik seperti ini dijadikan alat untuk membuktikan keaslian al-Quran?

Jawab:

Pertama: Al-Quran telah didefinisikan oleh para ulama dengan:

كَلاَمُ اللهِ المُعْجِزُ المُنَزَّلُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَاسِطَةِ جِبْرِيْل عَلَيْهِ السَّلاَمُ، وَنُقِلَ إِلَيْنَا نَقْلاً مُتَوَاتِرًا بَيْنَ دَفَتَي المُصْحَفِ.

Kalam Allah yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada junjungan kita, Muhammad saw., melalui Malaikat Jibril as., dan dinukil kepada kita secara mutawatir di antara dua ujung Mushaf (al-Fatihah sampai an-Nas).” 1

Proses transmisi al-Quran kepada kita berbeda dengan hadis. Jika hadis sampai kepada kita melalui riwayat, maka al-Quran sampai kepada kita melalui penukilan. Menukil itu artinya memindahkan apa adanya, baik makna, huruf maupun bacaannya. Berbeda dengan meriwayatkan. Meriwayatkan itu artinya menyampaikan makna, bisa dengan redaksi yang sama sehingga dikenal riwâyat bi al-lafzhi; bisa dengan redaksi yang berbeda, atau disebut riwâyat bi al-ma’na.

Karena itu di dalam al-Quran tidak dikenal istilah riwâyat bi al-ma’na karena al-Quran memang tidak disampaikan melalui periwayatan. Sebaliknya, di dalam hadis dikenal istilah riwayat bi al-ma’na karena proses transmisi seperti ini terjadi di dalamnya.

Kedua: Pembukuan al-Quran dilakukan begitu al-Quran diturunkan kepada Nabi saw. Saat al-Quran turun, Nabi saw. pun memanggil pencatat wahyu untuk menuliskan ayat atau surat yang diturunkan kepada beliau. Di Makkah, ‘Abdullah bin Saad bin Abi Sarh dan Khalid bin Said bin al-‘Ash adalah nama-nama pencatat wahyu, ketika masih di Makkah, sebelum hijrah.2

Khalid bin Said bin al-‘Ash berkata, “Akulah orang yang pertama kali menulis “BismilLahirrahmanirrahim (Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).”3

Dokumen penulisan al-Quran ini juga bisa ditemukan dalam riwayat Ibn Hisyam. Sebagaimana diketahui, Umar bin al-Khaththab pernah mendatangi rumah adiknya, Fatimah dan Said bin Zaid, yang sedang mempelajari al-Quran yang disampaikan oleh Khubab bin al-Art. QS Thaha yang diajarkan itu ditulis pada selembar kulit disembunyikan oleh Fatimah agar tidak diketahui oleh Umar.4

Dalam riwayat lain, al-Kattani, dalam kitabnya At-Tarâtib al-Idâriyyah, menuturkan riwayat, “Sewaktu Rafi’ bin Malik al-Anshari menghadiri Baiat ‘Aqabah, Nabi Muhammad saw. menyerahkan semua ayat yang diturunkan pada dasawarsa sebelumnya. Ketika kembali ke Madinah, Rafi’ mengumpulkan semua anggota sukunya dan membacakan di depan mereka.” 5

Setelah di Madinah, jumlah para penulis wahyu Nabi saw. pun bertambah banyak, tak kurang dari 65 Sahabat.6

Ketiga: Al-Quran yang dibukukan di zaman Nabi saw. itu didiktekan langsung oleh beliau di hadapannya. Nabi saw. mengetahui huruf dan tulisannya. Setelah ditulis, penulis wahyu itu pun membacakan ulang apa yang dia tulis kepada Nabi saw. untuk memastikan tulisan, bacaan dan maknanya. Ini sebagaimana yang dituturkan oleh Zaid bin Tsabit.7

Karena itu al-Quran telah ditulis dan direkam dengan baik pada zaman Nabi saw. Zaid bin Tsabit menuturkan, “Kami mengumpulkan al-Quran di depan Nabi Muhammad saw.” 8

Nabi saw. kemudian memerintahkan, “Letakkan ayat-ayat tersebut ke dalam Surat—sebagaimana yang Baginda saw. sebutkan.”9

Dalam kesempatan lain, Zaid bin Tsabit menyatakan, “Rasulullah saw. telah wafat, sementara al-Quran belum terkumpulkan sedikitpun.”10

Ini tidak berarti, bahwa al-Quran belum ditulis dan dibukukan. Namun, yang benar, al-Quran sudah ditulis dan dibukukan, meski masih berserakan, dan belum terhimpun dalam satu mushaf.

Keempat: Setelah Rasulullah saw. wafat dan Abu Bakar ra. menjabat sebagai khalifah, Umar bin al-Khaththab mengusulkan kepada beliau agar al-Quran dikumpulkan menjadi satu mushaf. Namun, usulan ini ditolak meski kemudian pada akhirnya diterima oleh Abu Bakar. Beliau lalu menunjuk Zaid bin Tsabit,“Carilah semua al-Quran (yang berserakan) agar dapat dikumpulkan seluruhnya.”

Meski awalnya merasa berat, Zaid bin Tsabit akhirnya menerima tugas ini, dibantu oleh Umar ra.11

Dalam pelaksanaannya, khalifah Abu Bakar mensyaratkan beberapa hal. Abu Bakar tidak memberikan wewenang kepada dia agar menulis (menyalin), kecuali apa yang telah tersedia dalam bentuk tulisan berupa kertas (kulit). Itulah alasannya, mengapa Zaid tidak mau memasukkan ayat terakhir QS al-Bara’ah sebelum sampai dengan membawa bukti suatu ayat yang telah tertulis (dalam bentuk tulisan) kendati ia mempunyai banyak Sahabat yang dengan mudah untuk mengingatnya kembali secara tepat dari hapalan mereka. 12

Zaid bin Tsabit menuturkan, bagaimana tugas tersebut dia lakukan, “Al-Quran saya kumpulkan dari berbagai bentuk kertas, kulit, potongan tulang dan dari dada-dada para penghapalnya.” 13

Dalam riwayat lain, Zaid menuturkan, “Saya mendapati dua ayat terakhir QS al-Bara’ah hapalannya ada pada Abu Khuzaimah al-Anshari.” 14

Karena itu, sebenarnya al-Quran yang dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit di zaman Abu Bakar ini sebenarnya bukanlah al-Quran yang baru, namun materi yang sama yang telah ditulis dan dibukukan di zaman Nabi saw. Setelah seluruh materi ini terkumpul, maka arsipnya pun disimpan di arsip kenegaraan di bawah pengawasan Abu Bakar as-Shiddiq ra.

Kelima: Sepeninggal Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, kompilasi al-Quran tersebut dipindahkan ke rumah Hafshah binti Umar hingga ‘Umar wafat dan digantikan oleh Utsman bin ‘Affan. Pada zamankhalifah Utsman inilah, kompilasi al-Quran ini digandakan setelah mendengar nasihat ‘Ali bin Abi Thalib,“Saya tahu, kita ingin menyatukan manusia (umat islam) dengan satu mushaf. Dengan itu tidak ada lagi perbedaan dan perselisihan. Saya berpendapat, sebagaimana pendapat Anda.”15

khalifah Utsman pun mengirimkan surat kepada Hafshah ra, “Kirimkanlah Suhuf kepada kami agar kami dapat membuat naskah yang sempurna. Kemudian Suhuf itu akan kami kembalikan kepada Anda.”

Hafshah pun mengirimkan Suhuf itu kepada khalifah Utsman. Beliau kemudian memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Zubair, Said bin al-‘Ash dan ‘Abdurrahman bin Harits bin Hisyam agar memperbanyak salinan naskah tersebut. Setelah selesai, Suhuf ini pun dikembalikan kepada Hafshah.16 Mushaf inilah yang dikemudian dikenal dengan Mushaf dan Rasm ‘Utsmânî. Dengan demikian mushaf ini merupakan mushaf mutawâtir.

Keenam: Mushaf Mutawâtir inilah yang dinyatakan oleh Imam as-Syafii sebagai al-Quran. Adapun mushafahad, seperti Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf Ubay bin Kaab, dan lain-lain tidak diakui sebagai al-Quran, dan tidak bisa digunakan sebagai hujjah atas nama al-Quran. Alasannya, karena Nabi saw. telah diberi tugas untuk menyampaikan al-Quran yang diturunkan kepada beliau, kepada sekelompok orang, yang perkataan mereka bisa menjadi hujjah yang qath’i. Orang yang perkataannya bisa menjadi hujjah yangqath’i tak terbayang setuju untuk tidak menukil apa yang mereka dengarkan dari Nabi saw.17

Dengan cara seperti itulah, al-Quran sampai kepada kita. Dengan cara yang sama, al-Quran pun terjaga keasliannya. Begitulah. Pendek kata, al-Quran yang telah sampai kepada kita itu adalah al-Quran yang telah dinukil secara mutawatir, baik makna, tulisan maupun bacaannya. Allah SWT sendiri berjanji memastikan al-Quran terpelihara:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْر وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran ini dan sesungguhnya Kamilah yang akan menjaga-Nya(QS al-Hijr [15]: 9).

Ketujuh: Mengenai fakta bahwa telah terjadi penambahan pada titik, harakat dan tanda baca pada mushaf yang baru dilakukan pada zaman Muawiyah (w. 60 H/679 M), ketika Muawiyah menugaskan Abu al-Aswad ad-Du’ali (w. 69 H/688 M), yang di zaman khalifah Umar bin al-Khaththab telah beliau minta menulis risalah tentang tata bahasa Arab, dan telah merintis tanda baca dalam huruf Arab.18 Semua ini tidak mengurangi keaslian al-Quran. Justru semuanya ini dilakukan untuk menjaga keotentikannya agar tulisan, bacaan dan maknanya tetap terjaga.

Adapun temuan naskah yang diklaim ada sebelum Nabi saw., dan klaim itu didasarkan pada hasil pengujian yang teliti, maka klaim ini sesungguhnya tidak bisa menggugurkan keaslian naskah al-Quran yang ada di tangan kita. Pertama: Temuan ini hanya membuktikan “adanya” naskah, yang diklaim sebagai naskah al-Quran. Kedua: “Adanya” naskah ini tidak bisa digunakan untuk membuktikan hakikatnya, termasuk umurnya, kapan dibuat, dan seterusnya. Jika pun bisa, hasilnya hanya bersifat spekulasi, yaitu “diperkirakan berumur”, “diperkirakan dibuat pada tahun sekian”, dan seterusnya.

Karena itu jika “adanya” naskah ini hanya bisa menghasilkan kesimpulan spekulatif tentang umur al-Quran dan kapan dibuat, maka kesimpulan seperti ini tidak bisa meruntuhkan fakta yang qath’i bahwa al-Quran yang ada di tangan kita ini asli.

Dengan demikian, klaim temuan naskah tersebut hanyalah cara lain—setelah berbagai cara yang dilakukan oleh kaum kafir gagal—untuk meragukan keaslian al-Quran. Untuk pengayaan dalam masalah ini, silakan baca buku Prof. Dr. M.M. Al-A’dhami, The History of The Qur’anic Text: From Revelation to Compilation. (www.konsultasi.wordpress.com)

WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

Catatan kaki:

1         Lihat, Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/161.

2         Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, IX/22; As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr Tafsîr al-Qur’ân bi al-Ma’tsûr, I/11.

3         Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, IX/22.

4         Lihat: Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, I/343-346.

5         Al-Kattani, At-Tarâtib al-Idâriyyah: an-Nuzhum al-Hukmiyyah, I/44.

6         Prof. Dr. M. Musthafa A’dhami, Kutâb an-Nabi.

7         As-Suli, Adab al-Kutab, hlm. 165; al-Hatsami, Majma’ az-Zawâ’id wa Manba’ al-Fawâ’id, I/52.

8         At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hlm. 141; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, V/185; al-Hakim, Al-Mustadrak, II/229.

9         At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hadis no. 3086; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, I/69; al-Hakim, Al-Mustadrak, I/221.

10        Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX/12.

11        Abi Dawud, Al-Mashahif, hlm. 6.

12        Ibn Hajar, Fath al-Bârî, IV/13.

13        Az-Zarkhasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, I/238-239.

14        Ibn Hajar, Fath al-Bârî, IV/13.

15        Abu Dawud, Al-Mashahif, hlm. 22.

16        Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX/ii; Abu Dawud, Al-Mashahif, hlm. 19-20; Abu ‘Ubaid, Fadhâ’il, hlm. 282.

17        Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/160.

18        Ad-Dani, Al-Muhkam, hlm. 4-5; Ibn an-Nadim, al-Fihrist, hlm. 46.


Filed under: Aqidah Tagged: keaslian al quran

Hukum Jalan Sehat Berhadiah

$
0
0

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya jalan sehat berhadiah? Para peserta membayar uang pendaftaran, hadiah bagi pemenang berasal dari uang pendaftaran, dan pemenang ditentukan dengan cara diundi. (Mochamad Mufti, Yogyakarta).

Jawab :

Jalan sehat berhadiah tersebut dan aktivitas-aktivitas lain yang semisal itu, hukumnya haram karena termasuk judi (al maisir, al qimaar). Padahal islam telah tegas mengharamkan judi, sesuai firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

 ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar (minuman keras), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah kotor (rijsun) termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maaidah [5] : 90).

Berdasarkan ayat tersebut, para fuqoha sepakat bahwa judi hukumnya haram. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 39/405). Keharaman judi ditunjukkan oleh beberapa indikasi (qarinah) yang menunjukkan larangan yang bersifat tegas (jazim), antara lain ; pertama, menggunakan taukid (kata penegas) “innama” (sesungguhnya). Kedua, judi disebut rijsun (najis). Ketiga, judi disebut perbuatan syaitan. Keempat, ada perintah untuk menjauhinya. Kelima, ada harapan keberuntungan bagi yang menjauhi judi. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat).

Adapun pengertian judi (al maisir, al qimaar), ada banyak versi pendapat ulama. Definisi yang paling rajih(kuat) menurut kami adalah :

كل لعب يشترط فيه أن يأخذ الغالب من المغلوب شيئا

 “Judi adalah setiap-tiap permainan yang mensyaratkan pihak pemenang mengambil sesuatu (harta) dari pihak yang kalah.” (kullu la’bin yasytarithu fiihi an ya`khudza al ghaalibu minal maghluubi syai`an). (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha`, hlm. 281; Imam Al Jurjani, At Ta’rifaat, hlm. 179; M. Ali Ash Shabuni,Tafsir Ayat Al Ahkam, 1/279; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 39/404; Sulaiman Ahmad Al Malham, Al Qimar Haqiiqatuhu wa Ahkamuhu, hlm. 74).

Dari definisi judi tersebut, terdapat 3 (tiga) kriteria pokok untuk aktivitas yang dikategorikan judi;pertama, ada taruhan (muraahanah) berupa harta (uang dsb) dari pihak yang berjudi, bisa satu pihak, atau lebih. Yang dimaksud “pihak” bisa jadi orang yang konkret (al syakhsh al haqiiqi), atau suatu alat (mesin judi) atau game (on line) yang dianggap mewakili orang yang konkret. Kedua, ada permainan (la’bun) yang fungsinya untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang menang. Misalnya dadu (an nard), catur, domino, kartu, dsb. Disamakan dengan permainan, adalah segala macam perlombaan (musabaqah), seperti sepakbola, pacuan kuda, balapan lari, dsb. Ketiga, adanya pihak yang memang dan yang kalah, yakni pihak yang menang mengambil harta dari pihak yang kalah. (Sulaiman Ahmad Al Malham, Al Qimar Haqiiqatuhu wa Ahkamuhu, hlm. 74-75; Syukri ‘Ali Abdurrahman Al Thawiil, Al Qimar wa Anwaa’uhu fi Dhau` Al Syari’ah Al Islamiyyah, hlm. 21-22).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka aktivitas “jalan sehat berhadiah” dan yang semisalnya hukumnya secara syar’i adalah haram. Pasalnya, definisi judi dapat diberlakukan untuk aktivitas tersebut. Buktinya adalah sbb, pertama, ada uang pendaftaran yang dapat dianggap sebagai harta taruhan dari masing-masing peserta. Kedua, ada permainan yang digunakan untuk menentukan pihak pemenang, yaitu undian. Ketiga, ada pihak yang menang dan yang kalah. Pihak pemenang adalah yang mengambil hadiah (seperti sepeda motor, kulkas, dsb) yang dibeli dari kumpulan uang pendaftaran para peserta. Sementara pihak yang kalah adalah para peserta yang sudah membayar uang pendaftaran tapi tidak mendapat hadiah.

Kesimpulannya, jalan sehat berhadiah seperti yang ditanyakan hukumnya adalah haram. Solusi agar kegiatan seperti itu terhindar dari keharaman adalah tidak mengambil uang pendaftaran dari peserta, dan/atau hadiah yang diberikan tidak berasal dari uang pendaftaran peserta melainkan dari pihak ketiga (sponsor dsb). Wallahu a’lam bish shawab.[www.konsultasi.wordpress.com] M Shiddiq al Jawi

Tulisan terkait :

  1. Hadiah dan Undian di dalam Produk.

  2. Hukum Menerima Hadiah dari Bank.

  3. Mentraktir yang Menang dalam Sepak Bola.

  4. Hukum Doorprize.


Filed under: Ekonomi Tagged: hukum undian

Pro-Kontra Hukuman Kebiri dalam Perspektif Syariah Islam

$
0
0

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi*

Pendahuluan

Pro-kontra hukuman kebiri muncul setelah pemerintah berencana menerapkan hukuman kebiri kepada pelaku pedofilia. Pihak yang pro berargumen hukuman kebiri diperlukan karena kasus kekerasan seksual sudah dalam tahap darurat. Kasus yang dialami Putri Nur Fauziah (9 tahun) yang tewas akibat kekerasan seksual di Kalideres, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu dijadikan contoh kondisi darurat tersebut. Data Lembaga Perlindungan Anak menunjukkan, hingga kini terdapat 21.689.797 kasus pelanggaran hak terhadap anak, dan 58% di antaranya merupakan kejahatan seksual. Sementara itu data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan ada 22 juta anak yang mengalami kekerasan sepanjang 2010-2014, dan 42% di antaranya merupakan kasus kejahatan seksual. (Koran Tempo, 23/10/2015).

Ide hukuman kebiri ini diusulkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pendidikan Nasional kepada Presiden Jokowi hari Selasa (20/10/2015). Presiden Jokowi memberi sinyal setuju lalu membahas hal tersebut bersama sejumlah pejabat seperti Jaksa Agung M. Prasetyo. Usulan tersebut sudah ditindaklanjuti dengan penyusunan draf Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perpu) bagi pelaku kejahatan anak. Dalam rancangan Perpu tersebut, pelaku dihukum kebiri secara hormonal. (Koran Tempo, 23/10/2015).

Sementara pihak yang kontra menolak hukuman kebiri berdasarkan beberapa argumen. Ada yang menolak karena mempertanyakan efektivitasnya dalam menimbulkan efek jera. Sosiolog Imam B. Prasodjo, misalnya, menganggap hukuman kebiri tak memberikan efek jera. Menurut Imam, solusi paling efektif adalah membangun kesigapan sosial di mana masyarakat harus waspada mengawasi gejala-gejala yang muncul. Argumen lainnya dari pihak yang kontra adalah karena hukuman kebiri dianggap berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), seperti pendapat Desmond J. Mahesa dari Fraksi Gerindra DPR RI.

Pihak lainnya yang kontra adalah dari tokoh ormas Islam dan kalangan pesantren. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar, tidak sepakat dengan hukuman kebiri jika mengubah fisik manusia. Ketua Asosiasi Pondok Pesantren Jawa Timur, Gus Reza Ahmad Zahid, menyatakan tak selayaknya pemerintah menerapkan hukuman kebiri. Alasannya, konsep Islam tidak mengenal kebiri. (Koran Tempo, 23/10/2015).

 

Fakta Kebiri 

Kebiri (al ikhsha`, castration) artinya adalah pemotongan dua buah dzakar (al khushyatain, testis), yang dapat dibarengi dengan pemotongan penis (dzakar). Jadi kebiri dapat berupa pemotongan testis saja, dan inilah pengertian dasar dari kebiri. Namun adakalanya kebiri berupa pemotongan testis dan penis sekaligus. Kebiri bertujuan menghilangkan syahwat dan sekaligus menjadikan mandul. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha, hlm. 150; Al Mu’jamul Wasith, 1/269; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119; ‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahawaat, hlm. 88).

Metode kebiri secara garis besar ada dua macam, yaitu metode fisik dan metode hormonal (injeksi). Metode fisik dilakukan dengan cara memotong organ yang memproduksi testosteron, yaitu testis. Setelah testis dipotong dan dibuang melalui operasi, sisanya diikat dan kemudian dijahit. Dengan pemotongan testis tersebut, berarti sudah dihilangkan testosteron sebagai hormon pembangkit gairah seks. Akibatnya laki-laki akan kehilangan gairah seks dan sekaligus menjadi mandul permanen. (Jawa Pos, 22/10/2015).

Adapun metode kebiri hormonal, dilakukan bukan dengan memotong testis atau penis, tapi  dengan cara injeksi (suntikan) hormon kepada orang yang dikebiri. Ada dua metode injeksi. Pertama, diinjeksikan obat yang menekan produksi hormon testosteron. Injeksi dilakukan berulang-ulang sehingga hormon testosteron seolah-olah hilang. Kedua, diinjeksikan hormon estrogen kepada orang yang dikebiri, sehingga ia memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan. Hormon testosteron akan menurun dan gairah seksual juga akan ikut menurun. Bila suntik hormon testosteron ini dihentikan, keadaan orang yang dikebiri akan pulih seperti semula. (Jawa Pos, 22/10/2015).

 

Pandangan Syariah Islam

Menjatuhkan hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia hukumnya haram, berdasarkan 3 (tiga) alasan sebagai berikut;

Pertama, syariah Islam dengan tegas telah mengharamkan kebiri pada manusia, tanpa ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan fuqaha. Tiadanya khilafiyah ini diriwayatkan misalnya oleh Imam Ibnu Abdil Barr (Al Istidzkar, 8/433), Imam Ibnu Hajar Al Asqalani (Fathul Bari, 9/111), Imam Badruddin Al ‘Aini (‘Umdatul Qari, 20/72), Imam Al Qurthubi (Al Jami’ li Ahkam Al Qur`an, 5/334), dan Imam Shan’ani, (Subulus Salam, 3/110). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119-120; ‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, hlm. 88; Kamaluddin Jumu’ah Bakar, Masa`il wa Ahkam Yamussu Jasadal Insan, hlm. 90).

Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah dikutip pernyataan tentang tidak adanya khilafiyah ulama mengenai haramnya kebiri sebagai berikut :

“Imam Ibnu Hajar Al Asqalani berkata,’(Hadits yang melarang kebiri) adalah larangan pengharaman tanpa perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu kebiri pada manusia.’ (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/121).

Dalam kitab Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, Syekh ‘Adil Mathrudi berkata :

“Para ulama telah sepakat bahwa kebiri pada manusia itu diharamkan dan tidak boleh.” (‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, hlm. 88).

Dalil haramnya kebiri pada manusia adalah hadits-hadits sahih yang dengan jelas menunjukkan larangan Rasulullah SAW terhadap kebiri. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash RA, dia berkata :

”Rasulullah SAW telah menolak Utsman bin Mazh’un RA untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi demi ibadah semata). Kalau sekiranya Rasulullah SAW mengizinkan Utsman bin Mazh’un untuk melakukan tabattul, niscaya kami sudah melakukan pengebirian.” (HR Bukhari no 5073; Muslim no 3390).

Dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata ;

”Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi SAW sedang kami tidak bersama isteri-isteri. Lalu kami berkata (kepada Nabi SAW),’Bolehkah kami melakukan pengebirian?’ Maka Nabi SAW melarang yang demikian itu.” (HR Bukhari no 4615; Muslim no 1404; Ahmad no 3650; Ibnu Hibban no 4141). (Taqiyuddin An Nabhani, An NizhamAl Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 164; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119)

Kedua, syariah Islam telah menetapkan hukuman untuk pelaku pedofilia sesuai rincian fakta perbuatannya, sehingga tidak boleh (haram) melaksanakan jenis hukuman di luar ketentuan Syariah Islam itu. Dalil haramnya melaksanakan hukum-hukum non syariah adalah firman Allah SWT :

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS Al Ahzab [33]: 36).

Ayat tersebut dengan jelas melarang muslim untuk membuat suatu ketentuan baru apabila sudah ada ketentuan hukum yang tertentu dari Syariah Islam. Maka dari itu haram hukumnya menerapkan hukum kebiri untuk pelaku pedofilia, karena Syariah Islam sudah menetapkan rincian hukuman tertentu bagi pelaku pedofilia.

Adapun rincian hukuman untuk pelaku pedofilia sbb; (1) jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina (had az zina), yaitu dirajam jika sudah muhshan (menikah) atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan; (2) jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain; (3) jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya ta’zir. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 93).

Memang benar, hukuman untuk pelaku pedofilia yang hanya melakukan pelecehan seksual (at taharusy al jinsi), adalah hukuman ta’zir, yang dapat ditentukan sendiri jenis dan kadarnya oleh hakim (qadhi). Misalnya dicambuk 5 kali cambukan, dipenjara selama 4 tahun, dsb. Pertanyaannya, bolehkah hakim menjadikan kebiri sebagai hukuman ta’zir?

Jawabannya, tidak boleh (haram). Sebab meski hukuman ta’zir dapat dipilih jenis dan kadarnya oleh hakim, tetapi disyaratkan hukuman ta’zir itu telah disahkan dan tidak dilarang oleh nash-nash syariah, baik Al Qur`an maupun As Sunnah. Jika dilarang oleh nash syariah, haram dilaksanakan. Misalnya, hukuman membakar dengan api. Ini haram hukumnya, karena terdapat hadits sahih yang melarangnya (HR Bukhari) (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 81). Maka demikian pula, menjatuhkan ta’zir berupa kebiri hukumnya haram, karena telah terdapat hadits-hadits sahih yang melarang kebiri.

Ketiga, dalam hal metode kebiri yang digunakan adalah metode injeksi kedua, yakni yang diinjeksikan adalah hormon estrogen, hukumnya juga haram dari sisi lain, karena mengakibatkan laki-laki yang dikebiri memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan. Padahal Islam telah mengharamkan laki-laki menyerupai perempuan atau sebaliknya perempuan menyerupai laki-laki. Dalil keharamannya adalah hadis riwayat Ibnu Abbas RA bahwa :

Rasulullah SAW telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR Bukhari, no 5546).

Hadis ini mengharamkan perbuatan laki-laki menyerupai wanita atau perbuatan wanita menyerupai laki-laki. Maka, metode kebiri dengan cara injeksi hormon estrogen kepada laki-laki pelaku pedofilia haram hukummya, karena menjadi perantaraan (wasilah) bagi laki-laki itu untuk menyerupai lawan jenisnya (perempuan). Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan:

”Al-Wasilah ila al-haram muharromah.” (Segala perantaraan menuju yang haram hukumnya haram juga).

Berdasarkan 3 (tiga) alasan di atas, menjatuhkan hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia hukumnya adalah haram.

 

Penutup

            Upaya pemerintah untuk menerapkan hukum kebiri bagi laki-laki pedofilia adalah suatu kesesatan dan dosa besar yang sama sekali tidak boleh didukung oleh umat Islam. Siapapun yang terlibat di dalam upaya penerapan hukum kebiri itu, baik itu ahli hukum yang menyusun draft Perpu, Presiden yang menandatangi Perpu, para menteri pengusulnya, hakim dan jaksa yang mengadili pelaku pedofilia, termasuk para dokter atau staf medis yang melaksanakan kebiri di rumah sakit atas perintah pengadilan, semuanya turut memikul dosa besar di hadapan Allah. Mereka harus mempertanggung jawabkan perbuatannya itu hadapan Allah SWT pada Hari Kiamat andaikata Allah bertanya mengapa mereka menjalankan hukuman yang tidak diizinkan Allah dan malah membuat-buat hukuman yang tidak disyariatkan-Nya? Tidakkah mereka ingat firman Allah SWT :

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al Isra` [17] : 36).

 

Upaya penerapan hukum kebiri tersebut di samping menunjukkan kebodohan terhadap Syariah Islam, juga menunjukkan kegagalan yang total dalam penanggulangan kejahatan seksual terhadap anak. Sesungguhnya penanggulangan kejahatan seksual terhadap anak, bahkan penanggulangan semua penyakit sosial yang ada dalam sistem sekuler-kapitalis saat ini, wajib dikembalikan kepada Syariah Islam yang diterapkan secara kaaffah (menyeluruh) dalam negara Khilafah. Dengan tiga pilar pelaksanaan Syariah Islam, yaitu ketakwaan individu, kontrol sosial, dan penegakan hukum oleh negara, insya Allah semua penyakit dan kejahatan sosial akan dapat dikurangi atau bahkan dilenyapkan dari muka bumi dengan seizin Allah. Firman Allah SWT :

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar Ruum [30] : 41). Wallahu a’lam.

 

= = =

*Syabab (aktivis) DPC HTI Kraton, Yogyakarta. Dosen STEI Hamfara Yogyakarta.

 

Raih pahala dengan menyebarluaskan artikel ini :
Facebook.com/SyariahPublications
www.konsultasi.wordpress.com


Filed under: Sanksi dan Hukum Tagged: kebiri

Enam Jenis Harta Ribawi

$
0
0

Pertanyaan:

Pertanyaan Ayn Alhak:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Syaikhuna yang dimuliakan, semoga Allah mensuport Anda dengan pertolongan dari sisi-Nya dan memberikan kemenangan gemilang kepada Anda, Hizb, dan umat…

Saya punya pertanyaan seputar jual beli kurma dimana kurma adalah termasuk tujuh jenis yang disebutkan di dalam hadits pertukaran. Apakah boleh menjual kurma dengan dirham dengan tempo (secara kredit). Yakni dengan makna saya membeli satu kilogram kurma dan saya bayarkan harganya belakangan? Berilah kami pengetahuan. Di mana sekarang adalah musim kurma. Semoga Allah memberi balasan yang lebih baik kepada Anda.

 

Pertanyaan Zakaria Karimeh:

Semoga Allah memberkahi Anda. Bagaimana tentang tempo penyerahan (angsuran)? Apakah boleh jika itu adalah menjual emas dengan uang kertas?

 

Pertanyaan Ayman Alfajjary:

Apa perbedaan antara menjual emas secara utang (dan kenapa haram) dengan qardhun (utang) yang hukumnya boleh sesuai yang ada di akhir paragraf tentang topik riba dan sharf di an-Nizham al-Iqtishadiy?

 

Pertanyaan Hisham Is’efan:

Assalamu ‘alaikum, syaikhuna dan amiruna.. tahiyah thayyibah wa ba’du… Di kitab an-Nizhâm al-Iqtishâdî pada bab ar-Ribâ wa ash-Sharf halaman 259 dinyatakan hadits:

«اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ…»

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut (barley) dengan jewawut (barley), kurma dengan kurma dan garam dengan garam, harus semisal …”

Pertanyaan saya adalah: … apakah boleh empat makanan yang dinyatakan secara gamblang di dalam hadits tersebut diperlakukan seperti dua mata uang emas dan perak dalam jual beli? Misal, apakah saya boleh mengambil utang (dayn) sekarung tepung dan dicatatkan terhadap saya harganya, ataukah ada perbedaan dalam bertransaksi antara dua uang dengan jenis-jenis makanan yang disebutkan di dalam hadits itu? Apakah produk olahan berbeda dengan bahan mentahnya?… Saya mohon maaf atas panjangnya pertanyaan. Semoga Allah memberkahi Anda. Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Jawab:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Pertanyaan-pertanyaan Anda berempat saling berdekatan, karenanya kami jawab sekaligus. Seraya harus diperhatikan bahwa harta-harta ribawi ada enam yaitu: emas, perak, gandum, jewawut (barley), kurma dan garam. Jadi bukan tujuh seperti yang ada di pertanyaan.

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas adalah sebagai berikut:

1. Rasul saw bersabda:

«اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَداً بِيَدٍ. فَإِذَا اِخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَداً بِيَدٍ »

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut (barley) dengan jewawut (barley), kurma dengan kurma dan garam dengan garam, harus semisal, sama dan serah terima tunai. Dan jika berbeda jenis-jenis ini maka juallah sesuka kamu jika serah terima tunai.” (HR al-Bukhari, muslim dari jalur Ubadah bin ash-Shamit ra)

Nash tersebut jelas, ketika berbeda jenis-jenis ribawi ini, bahwa jual belinya adalah sesuka kamu. Artinya, semisal tidak menjadi syarat, akan tetapi yang menjadi syaratnya adalah serah terima tunai. Lafazh “al-ashnâf –jenis-jenis-“ dinyatakan secara umum pada semua jenis ribawi, yakni enam jenis itu dan tidak dikecualikan dari itu kecuali dengan nash. Dan karena tidak ada nash, maka hukumnya adalah bolehnya gandum dengan jewawut atau gandum dengan emas, atau jewawut dengan perak, atau kurma dengan garam, atau kurma dengan emas, atau garam dengan perak … bagaimanapun berbeda nilai pertukaran dan harganya, akan tetapi harus serah terima tunai dan bukan dalam bentuk utang. Dan apa yang berlaku atas emas dan perak juga berlaku atas kertas uang dengan penghimpun berupa ‘illat an-naqdiyah(moneterisme –sifat moneter-), yakni penggunaannya sebagai harga dan upah.

 

2. Dinyatakan pengecualian dari (wajibnya serah terima pada jual beli jenis-jenis ribawi) dalam kondisi agunan ketika jual beli empat jenis ribawi “gandum, jewawut, garam dan kurma” dengan uang. Hal itu karena hadits muslim dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw:

«اِشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا لَهُ مِنْ حَدِيدٍ»

“Rasul saw membeli dari orang Yahudi makanan sampai tempo tertentu dan beliau mengagunkan baju besi beliau.”

Artinya, Rasul saw membeli makanan secara utang (kredit) akan tetapi disertai agunan. Dan makanan mereka kala itu adalah dari empat jenis tersebut. Hal itu sebagaimana di dalam hadits:

«اَلطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلاً بِمِثْلِ وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الشَّعِيْرُ»

“Makanan dengan makanan harus semisal dan makanan kami kala itu adalah jewawut.” (HR Ahmad danmuslim dari jalur Mu’ammar bin Abdullah)

Atas dasar itu, boleh Anda membeli empat jenis ribawi tersebut secara utang jika diagunkan sesuatu pada penjual sampai waktu pembayaran harganya.

 

3. Jika kreditur dan debitur saling percaya satu sama lain maka tidak perlu agunan. Dalil hal itu adalah firman Allah SWT:<

﴿وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ﴾

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.” (TQS al-Baqarah [2]: 283)

Ayat yang mulia ini memberi pengertian bahwa agunan dalam utang (dayn) di dalam perjalanan tidak diperlukan jika kreditur dan debitur saling percaya satu sama lain. Dan hal itu bisa diterapkan terhadap agunan pada jual beli secara kredit untuk empat jenis ribawi “gandum, jewawut, garam dan kurma.” Artinya seperti firman Allah SWT:

﴿ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ﴾

“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).” (TQS al-Baqarah [2]: 283)

Konotasinya jelas bahwa agunan pada kondisi ini bisa tidak perlu ada.

 

4. Atas dasar itu, maka boleh menjual empat jenis ribawi “gandum, jewawut, kurma dan garam” denganuang secara kredit dengan disertai agunan untuk pembayaran utang tersebut atau tanpa agunan jika penjual dan pembeli saling percaya satu sama lain… Pada dua kondisi ini, jual beli jenis-jenis ini secarakredit adalah boleh. Artinya, garam yang Anda tanyakan penjualannya secara kredit adalah boleh jika memenuhi ayat yang mulia tersebut.

﴿ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ﴾

“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain.” (TQS al-Baqarah [2]: 283)

Ini yang saya rajihkan dalam masalah tersebut. Wallah a’lam wa ahkam.

 

5. Untuk diketahui, dinyatakan di Syarh Shahîh al-Bukhârî karya Ibnu Bathal pada bab syirâ` ath-tha’âm ilâ ajalin jual beli makanan sampai tempo tertentu- : “tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlu al-‘ilmi bahwa boleh menjual makanan dengan harga yang jelas sampai tempo yang jelas.”

Dinyatakan di kitab al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah oleh al-Jazairi tentang jual beli jenis-jenis ribawi: “adapun jika satunya berupa uang dan yang lain berupa makanan maka boleh ada penundaan.”

Dinyataan di al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, dan beliau sedang membicarakan pengharaman jual beliempat jenis ribawi satu sama lain secara kredit… beliau berkata: “berbeda jika dijual dengan dirham atau yang lain berupa barang-barang yang ditimbang maka keperluan menuntut hal itu.”

Ringkasnya:

  1. Boleh menjual kurma, gandum, jewawut dan garam dengan uang secara kredit disertai agunan untuk pembayaran utang itu, atau tanpa agunan jika penjual dan pembeli saling percaya satu sama lain … dan dalam selain kedua kondisi ini maka tidak boleh.
  2. Penjualan emas dengan uang secara kredit tidak boleh sama sekali baik uang itu berupa emas atauuang kertas, dan baik utang itu seluruhnya ditangguhkan ataukah dengan angsuran, dimana sebagian dibayar tunai dan sisanya diangsur… Dan dalam kondisi terakhir ini yakni angsuran dengan sebagian dari harga dibayarkan di depan maka yang sah dari jual beli emas itu adalah apa yang dibayar harganya secara tunai yakni angsuran pertama yang dibayar saat transaksi. Adapun harganya yang dibayar pada semua angsuran sisanya maka jual belinya tidak sah… Adapun jika angsuran-angsuran semuanya ditangguhkan yakni tidak ada bagian dari harga yang dibayar tunai maka jual beli itu semuanya tidak sah karena kesesuaian dalil-dalil pertukaran harta-harta ribawi berlaku terhadapnya.
  3. Adapun berutang (qardhun) emas, perak, uang dan semua harta ribawi maka qardhun itu boleh dengan syarat tidak menarik manfaat. Sebab itu berbeda dari jual beli dan sharf meskipun potretnya serupa. jual beli dan sharf, keduanya merupakan pertukaran harta dengan harta dari jenis yang sama dan jenis yang berbeda. Adapun qardhun maka itu adalah memberikan harta kepada pihak lain untuk diminta kembali darinya seperti harta itu juga. Qardhun itu atas jalan kelemahlembutan (al-irfâq). Dalil-dalilnya berbeda dengan jual beli dan terhadapnya tidak berlaku dalil-dalil jual beli ribawi sehingga menjadi haram seperti jual beli emas secara kredit (dengan tempo)… Akan tetapi, dalil-dlil menyatakan kebolehannya. Imam muslim telah meriwayatkan dari Abu Rafi’:
    «أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ اِسْتَسْلَفَ مِنْ رَجُلٍ بَكْراً، فَقُدِمَتْ عَلَيْهِ إِبِلٌ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إِلَيْهِ أَبُوْ رَافِعٍ فَقَالَ: لَمْ أَجِدْ فِيْهَا إِلاَّ خِيَاراً رُبَاعِياً، فَقَالَ: أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً»“Rasulullah saw berutang dari seorang laki-laki seekor anak unta (bakran). Lalu kepada beliau didatangkan unta shadaqah. Maka Rasul saw memerintahkan Abu Rafi’ agar membayar laki-laki itu anakuntanya. Lalu Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata: “saya tidak menemukan di unta shadaqah kecuali unta pilihan, rubâ’iy (unta umur enam masuk usia ketujuh).” Rasul pun bersabda: “berikan kepadanya, sesungguhnya sebaik-baik orang adalah yang paling baik pembayarannya.” Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda:

    «مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِماً قَرْضاً مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَةٍ مَرَّةٍ»

    “Tidaklah seorang muslim mengutangi seorang muslim dua kali kecuali seperti shadaqah satu kali.”

     

    Dan Nabi saw juga pernah berutang.

 

Saudaramu

 

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

21 Muharram 1437 H

03 November 2015 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_52797

 

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”
Jawaban Pertanyaan Seputar :
Enam Jenis Harta Ribawi
Kepada Ayn Alhak, Zakaria Karimeh, Ayman Alfjjary dan Hisham Is’efan

 

Tulisan terkait :

  1. Riba : Pengertian, Jenis, dan Contohnya.

  2. Penukaran Uang Receh Tak Senilai Adalah Riba.

  3. Riba: Definisi, Hukum, dan Macamnya.


Filed under: Ekonomi Tagged: harta riba
Viewing all 374 articles
Browse latest View live